Karakteristik Metodelogi Tafsir Ibn Katsīr
HIDAYATUNA.COM – Menurut Abdul Mustaqim dalam bukunya Dinamika Sejarah Tafsir Alquran. Apabila di dasarkan dari sudut periodisasi, Tafsir Ibn Katsīr dapat digolongkan ke dalam tafsir era pertengahan atau dalam buku lain yang juga ditulis oleh Abdul Mustaqim diistilahkan dengan era afirmatif dengan nalar ideologis. Karakteristik penafsiran di era tersebut banyak dipengaruhi atau lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, golongan, mazhab, ideologi keilmuan, karena itulah diistilahkan era afirmatif dengan nalar ideologis. Namun menurut hemat penulis karakteristik tiap periode ini agaknya tidak juga bisa digeneralisasikan bahwa semua tafsir di era peretngahan sarat dengan kepentingan-kepentingan politik atau golongan. Tafsir Ibn Katsir misalnya ketika menafsirkan ayat tentang antropomorphisme, Ibnu Katsir menafsirkan kalimat يد الله dalam surat al-fath ayat 10, hal itu tidak sama sebagaimana asy’ariyah menafsirkan kalimat itu, padahal mazhab yang dianut oleh Ibnu Katsir sendiri adalah Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibn Katsīr menafsirkan surat al-fath ayat 10 itu, ia mengatakan:
يد الله فوق أيديهم أي: هو حاضر معهم يسمع أقوالهم ويرى مكانهم، ويعلم ضمائر هم وظواهرهم فهو تعالى هو المبايع بواسطة رسول
Tuhan berada bersama mereka, Allah mendengarkan perkataan mereka, allah mengetahui yang nampak dan tersembunyi. Dialah Allah sebagi tempat berbaiat dengan perantaraan rasulNya.
Dengan melihat penafsiran tersebut, menurut penulis Ibn Katsīr dalam konteks ini tidak berada pada posisi sebagai asy’ariyah dan juga tidak berada dalam posisi mu’tzailah, Ibn Katsīr menafsirkan يد الله tidak berarti kekuasaan seperti yang ditafsirkan oleh kalangan Mu’tazilah dan juga tidak menafsirkan sebagai tangan tuhan yang tidak bisa digambarkan atau didefenisikan seperti prinsip/ ajaran yang dibawa oleh asy’ariyah. Ibn Katsīr mencoba keluar dari kedua pandangan itu dengan mencoba menakwilkan seperti yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, bahwa Tafsir Ibn Katsīr terpengaruh dari kepentingan-kepentingan golongan, hal itu mungkin tidak dalam konteks ini.
Adapun berkaitan dengan metode, dalam penyajian tafsir Ibn Katsīr ini, menggunakan metode analitis (tahlili). Ibn Katsīr dalam tafsirnya menyajikannya secara runtut mulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah sampai al-Nas sesuai dengan mushaf Usmani. Dengan tidak mengabaikan aspek asbāb al-nuzūl dan juga munasabat ayat atau melihat hubungan ayat-ayat Alquran antara satu sama lain. Namun demikian, metode penafsiran kitab ini juga bisa dikatakan semi tematik, karena dalam pembahasannya mengelompokkan ayat- ayat (sesuai urutan ayat) yang dianggap memiliki keterkaitan, kadang dua ayat, kadang tiga ayat dan kadang pula empat ayat. Sebagai contoh surat al-Baqarah ayat 120-121.
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
Kedua ayat tersebut disatukan karena memilki keterkaitan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya.
Di samping itu, salah satu sumber penafsiran pada masa klasik/pertengahan adalah banyak kisah-kisah israiliyat yang disusupkan ke dalam tafsir maupun hadis. Walaupun Ibn Katsīr dikenal sebagai ahli hadis yang sangat selektif memilih riwayat-riwayat yang shahih, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa semua riwayat israiliyat yang dikemukakannya memiliki sanad yang shahih. Akan tetapi, ketika ia mengutip kisah- kisah israiliyat yang dha’if, Ibn katsir juga menjelaskan letak kedho’ifannya, atau ketika riwayatnya shohih ia juga menjelaskan keshahihannya Misalnya ketika Ibn Katsīr menfasirkan surat al-Naziat ayat 30: “Dan bumi sesudah itu dihamparkan”. Ibnu Katsir mengemukakan israiliyat yang disampaikan muslim dan dari Abu hurairah bahwasanya: “Allah telah menciptakan tanah pada hari sabtu, gunung pada hari ahad, pohon-pohon pada hari senin, sesuatu yang dibenci pada hari selasa, cahaya pada hari rabu, binatang pada hari kamis dan Adam pada hai Jum’at antara ashar dan malam.”.
Menurut Ibn Katsīr, kisah ini sanadnya Gharib. Ada juga kisah yang dikemukakan oleh Ibn Katsir, yang riwayatnya bersumber dari Ibnu Abbas, yang berbunyi: di balik bumi ini. Allah menciptakan sebuah lautan yang melingkupinya. Di dasar laut itu, Allah telah menciptakan pula sebuah gunung yang bernama Qaf. Langit dan buni ditegakkan di atasnya. Di bawahnya, Allah menciptakan langit yang mirip seperti bumi ini yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian di langit kedua ini ditegakkan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya : tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit”. Israiliyat ini dikemukakan oleh Ibnu katsir untuk menjelaskan awal Surat Qaf.
Dalam pandanganya sanadnya terputus dan bertentangan dengan riwayat Ibnu Abbas lainnya. Ini berarti bahwa kisah-kisah israiliyat yang dho’if dalam Tafsir Ibn Katsṡr bukan merupakan tafsiran terhadap ayat, melainkan sebatas mengungkapkan bahwa dalam konteks ayat itu terdapat kisah-kisah israiliyat yang tidak boleh diberpegangi. Ibn Katsīr juga memiliki pandanagan tentang israiliyat bahwa karena kisah-kisah israiliyat tidak diketahui kebenaran dan kebohongannya, maka berita itu tidak perlu dibenarkan sebab dimungkinkan mengandung dusta tetapi juga jangan didustakan sebab dimungkinkan masih mengandung kebenaran. Tercatat dalam Tafsir Ibn Katsīr terdapat 48 kisah israiliyat.