JUAL BELI SISTEM DROPSHIPPING DALAM ISLAM
Dropshipping kini menjadi model bisnis yang diminati pebisnis online baru dengan modal kecil bahkan tanpa ada modal akan memperoleh keuntungan. Dropshipping adalah suatu usaha penjualan produk tanpa harus memiliki produk apa pun. Dropshipping dapat diartikan juga suatu sistem transaksi jual beli dimana pihak dropshipper menentukan harga barang sendiri, tanpa ada menyetok barang namun setelah mendapat pesanan barang, dropshipper langsung membeli barang dari supplier.
Cara melakukan jual beli online (olshop) ini dengan cara mengupload fotofoto menarik di media social kemudian menuliskan beberapa kata sebagai kalimat promosi dan mencantumkan pin bbm nomor whatsapp supaya pelanggan tersebut mudah menghubungi bila pelanggan tersebut berminat dengan barang yang ada di dalam foto-foto tersebut, dan barang-barang tersebut dipesan ke toko apabila penggan sudah mentransfer uangnya, kami tidak menyetok barang-barang yang kami perjualbelikan di media sosial tersebut hanya bermodalkan foto saja.
Hubungan antara Bai ̒Garar dengan Transaksi Jual Beli Online secara Dropshipping
Bai ̒Garar
Kata Garar dalam Bahasa Arab berarti akibat, bencana, bahaya, resiko dan sebagainya. Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mencukupi, atau mengambil resiko sendiri dari sesuatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekwensinya.
Dalam segala situasi tersebut selalu hadir unsur resiko. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, garar itu dilibatkan apabila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir sesuatu kegiatan bisnis atau jual beli. Menjual barang yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik, tetapi ternyata dibalik itu tedapat unsur-unsur penipuan. Sebagaimana sabda Rasulullah :
لَاتَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي الْمَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ
Artinya: “Janganlah kalian membeli ikan yang masih didalam air, karena itu merupakan penipuan”(H.R Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Bai ̒ Garar yaitu segala bentuk jual beli yang didalamnya terkandung Jahālah (unsur ketidakjelasan), atau di dalamnya terkandung unsur-unsur taruhan atau judi.3 Bai ̒ garar yaitu semua bentuk jual beli yang mengandung unsur ketidaktahuan, spekulasi atau taruhan. Hukum Islam melarang semua bentuk transaksi jual beli seperti tersebut. Imam Nawawi mengatakan, “pelarangan atas jual beli tersebut merupakan salah satu dasar hukum Islam (usbūl syari ‘āh) yang memiliki banyak cabang pembahasan.
Bai ̒ al-Garar adalah jual beli yang mengandung unsur resiko dan akan menjadi beban bagi salah satu pihak dan mendatangkan kerugian finansial. Garar bermakna suatu yang wujudnya belum bisa dipastikan, diantara ada dan tiada, tidak diketahui kualitas dan kuantitas atau sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan. Menurut Imam Nawawi, garar merupakan unsur akad yang dilarang dalam Syari’at Islam. Menurut Imam al-Qarafi mengemukakan Garar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak seperti melakukan jual beli yang masih dalam air (tambak).
Pendapat Imam al-Qarafi diatas sejalan dengan pendapat Imam as-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memandang Garar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa Garar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak, seperti menjual sapi yang sedang lepas.
Dropshipping kini menjadi model bisnis yang diminati pebisnis online baru dengan modal kecil bahkan tanpa ada modal akan memperoleh keuntungan. Dropshipping adalah suatu usaha penjualan produk tanpa harus memiliki produk apa pun. Dropshipping dapat diartikan juga suatu sistem transaksi jual beli dimana pihak dropshipper menentukan harga barang sendiri, tanpa ada menyetok barang namun setelah mendapat pesanan barang, dropshipper langsung membeli barang dari supplier.
Cara melakukan jual beli online (olshop) ini dengan cara mengupload foto-foto menarik di media sosial kemudian menuliskan beberapa kata sebagai kalimat promosi dan mencantumkan pin bbm nomor whatsapp supaya pelanggan tersebut mudah menghubungi bila pelanggan tersebut berminat dengan barang yang ada di dalam foto-foto tersebut, dan barang-barang tersebut dipesan ke toko apabila pelanggan sudah mentransfer uangnya, kami tidak menyetok barang-barang yang kami perjual belikan di media sosial tersebut hanya bermodalkan foto saja.
Dalam transaksi jual beli melalui media seperti ini proses pengiriman barang dilakukan oleh si dropshipper adalah dengan cara menggunakan jasa pengiriman barang seperti JNE, Tiki, Loket, dan lainnya untuk mengirim barang yang dipesan oleh konsumen tersebut, intinya si dropshipper tidak bertemu langsung dengan pembeli dalam jual beli ini hanya terhubung melalui media sosial saja, tidak ada terjadinya khiyār diantara kedua belah pihak di sini.
Resiko yang terdapat di dalam transaksi ini tidaklah ditanggung oleh si dropshipper apabila barang tersebut terdapat kecacatan setelah sampai ketangan pembeli, misalnya baju tersebut tidak sesuai warnanya dengan yang diinginkan pembeli atau tidak sesuai ukuran, disini dropshipper tidak bertanggung jawab dengan hal tersebut, inilah yang menjadi kelemahan dalam transaksi seperti ini pihak konsumen selalu dirugikan apabila terjadi kecacatan terhadap barang, pihak pembeli tidak mempunyai hak memilih atau menukar barangnya apabila barang tersebut rusak.
Hubungan antara ( Bai ̒Garar dan Dropshipping)
Unsur kesamaan antara kedua jenis transaksi ini yang mana dalam Islam disebut Garar dan transaksi yang dilakukan dizaman sekarang ini disebut Dropshipping, dimana dalam kedua transaksi ini mengandung unsur tidakjelasan posisi barang pada saat terjadinya akad transaksi jual beli dilakukan, dalam pandangan Islam transaksi jual beli dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukun seperti adanya si penjual, si pembeli, barang yang diperjualbelikan, ijab kabul dan barang yang diperjualbelikan tersebut adalah milik sendiri bukan milik orang lain.
Didalam transaksi dropshipping barang yang diperjualbelikan tersebut bukanlah milik sendiri karena si dropshipper tidak menyetok barang yang akan diperjualbelikannya hanya saja bermodalkan foto yang dipasang dalam suatu media sosial untuk diperjualbelikan sedangkan barangnya tidak dimiliki oleh si dropshipper,hal ini jelas mengandung unsur ketidakpastian didalam transaksi. Sedangkan di dalam Islam melarang bentuk jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan di dalam transaksinya seperti bai ̒ garar, contohnya seperti menjual anak unta yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang masih di air dan menjual buah yang masih dipohonnya yang belum dipetik (belum matang).
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Transaksi Jual beli online Secara
Dropshipping dalam Islam transaksi jual beli ini telah ditegaskan tentang kebolehan dan hal-hal yang dilarang dalam transaksi tersebut, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dan segala bentuk transaksi jual beli yang mengandung unsur garar (ketidakjelasan barang yang diperjual belikan).
Konsep garar dapat dibagi menjadi dua kelompok :
- Yang pertama adalah unsur resiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan.
- Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain.
Kitab suci Al-Qur’an dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain, hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan, atau memperoleh keuntungan dengan tidak semestinya atau resiko yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya. Seperti yang tercamtumdalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 152:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖوَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖوَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖوَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am : 152)
Hukum Islam melarang transaksi jual beli yang mengandung unsur-unsur garar (penipuan). Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua belah pihak. Maka tidak sah jual beli barang yang belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya. Hal ini berdasarkan Hadits nabi SAW Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi, sebagai berikut: “janganlah engkau menjual barang yang bukan milik mu”.
Itulah prinsip dasar dari hukum Allah, “kalian harus memenuhi takaran dan menggunakan timbangan secara adil”. Allah telah menambahkan, “Kami berikan beban kepadamu, yang kamu mampu melakukannya” untuk menjamin kepada manusia bahwa siapa saja yang mencoba untuk berbuat adil dengan sebaik- baiknya dan benar dalam melakukan penimbangan dan melaksanakan transaksi dagang lainnya akan mutlak menjadi tanggung jawabnya dan tidak ada pertimbangan lagi. Tetapi bagi yang melakukan hubungan dagang dengan semata- mata melakukan kecurangan terhadap orang lain serta merampas maka ia akan diberikan balasan perbuatan yang telah dilakukan itu di hari pengadilan. Kejahatan yang dimaksud disini mencakup pengertian yang luas dan tindak-tindak kecurangan dalam segala tingkat hubungan dagang.
Dan dalil-dalil tentang larangan melakukan transaksi yang mengandung unsur penipuan terdapat dalam Al-Qur’an seperti dibawah ini. Surat: Al Mutaffifin Ayat: 1-5
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
Artinya:“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar.” (QS. Al-Mutaffifin: 1-5)
“Cara-cara yang haram” termasuk segala cara yang keliru yang tidak sesuai dengan hukum-hukum Islam serta ajarannya yang dilakukan dengan salah dan tak bermoral. “Bisnis” mencakup semua transaksi yang bertujuan memperoleh keuntungan, seperti dalam perdagangan, komersial, industri dan sebagainya. “Persetujuan Mutual” yang dimaksud yaitu persetujuan semua pihak dan bukan paksaan atau kecurangan misalnya: meskipun ini termasuk dalam mutual agreement dalam membentuk bunga dan penyuapan, tetapi secara meyakinkan bahwa pihak yang dirugikan dipaksa oleh suatu keadaan untuk menyetujui terhadap transaksi yang dihadapinya.
Dalam perjudian, semua peserta diperdaya oleh harapan-harapan yang menyesatkan akan “kemenangan”. Tak seorangpun menyetujui judi jika mereka tahu bahwa mereka akan diperdaya. Juga hal yang sama pada setiap transaksi yang melibatkan kecurangan. Korban kecurangan menyatakan persetujuan karena ia tidak mengetahui bahwa dalam transaksi itu ada tindak kecurangan. Andai ia mengetahuinya, maka ia akan membatalkan dan tidak mungkin ia akan menyetujuinya. Hal itu memberikan keyakinan bahwa sesuatu yang dikerjakan dengan maksud untuk merugikan pihak lain dalam transaksi bisnis adalah dilarang oleh Rasulullah SAW. Juga ada larangan yang tegas dari Nabi berkaitan dengan kejahatan atau kecurangan (garar) dalam transaksi bisnis.
Ketahuilah bahwa kita tidak boleh memperjual belikan suatu barang sebelum kita terima dengan sah, jika ia berbentuk suatu yang ditakar, atau ditimbang, atau dihitung, atau didepakan menurut kesepakatan para imam. Demikian juga jika bukan selain ini, menurut pendapat yang benar dari dua pendapat para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ یَبْعَهُحَتَّى یُسْتَوْفِيْهِ
Artinya: “Siapa yang membeli makanan, maka ia hendaknya tidak menjualnya sebelum ia benar-benar menerima makanan itu (secara utuh dari pihak yang menjual kepadanya)”(Muttafaq Alaih).
Dalam suatu redaksi, “hingga ia menerimanya”. Dan dalam riwayat Muslim “hingga ia menakarnya”. Ibnu Abbas berkata, “menurut saya, yang lainnya juga begitu”. Maknanya, selain makanan. Bahkan, ada dalil yang syarih (jelas) tentang hal itu. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
إِذَا اشْتَرَ یْتَ شَیْئًا فَلاَ تَبْعَهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
Artinya: “Jika engkau membeli sesuatu ,maka jangan engkau jual dia hingga engkau menerimanya .(Imam Ahmad).”
Abu Dawud meriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang menjual sesuatu barang yang ia beli hingga orang menerima barang itu dari penjualnya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim berkata, “Alasan melarang menjual barang sebelum menerimanya adalah karena orang yang membelinya tidak dapat menerima barang itu darinya, mengingat penjualnya dapat menyerahkan barang itu dan bisa pula tidak. Terutama jika ia melihat bahwa pembelinya telah mendapat untung, tentu ia akan berusaha membatalkan penjualan itu. Caranya dengan mengingkari jual beli itu atau dengan mencari-cari celah untung membatalkannya. Dan hal itu ditegaskan dengan larangan mengambil untung dari barang yang belum terterima dengan utuh.
Untuk hukum seputar jual beli sistem dropshipping, para ulama sepakat membolehkan disebabkan karena barang sudah menjadi milik dari supplier. Sistem jual beli reseller masuk kategori bai’u maushufin fi al-dzimmah, yaitu jual beli barang yang sudah menjadi milik dari pedagang. Akad yang berlaku adalah akad salam, yaitu sistem jual akad pesan. Cirinya adalah:
- Barang sudah berada dalam kuasa pedagang
- Diketahui ra’sul maal-nya (modal pokoknya)
Dropshippingbiasanya dilakukan dengan jalan pihak dropshipper meminta izin kepada supplier untuk ikut menjualkan barangnya. Dengan demikian pedagang berperan selaku orang yang diizinkan atau mendapatkan kuasa menjualkan. Selaku orang yang mendapatkan hak kuasa, maka kedudukannya hampir sama dengan pedagang reseller. Hanya saja, kondisi barang yang dijual belum ada di tangan pedagang.
Selaku orang yang diberi izin menjualkan barang, maka dropshipping sistem kedua ini masuk kategori bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual beli barang yang belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan diperbolehkan sebab pemberian kuasa. Kalangan ulama mazhab Syafi’i ada yang memandang hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat berikut ini:
وَقَوْلُهُ لَمْ تُشَاهِدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ إِذَا شُوْهِدَتْ وَلَكِنَّهَا كَانَتْ وَقْتُ الْعَقْدِ غَائِبَةً أَنَّهُ يَجُوْزُ
Artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.”
Namun kebolehan ini disertai dengan syarat mutlak yaitu apabila contoh barang tersebut pernah disaksikan oleh pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya, sebagaimana pendapat ini tercermin dari pernyataan berikut ini:
إِنْ كَانَتِ الْعَيْنُ مِمَّا لَا تَتَغَيَّرْ غَالِبًا كَالْأَوَانِيْ وَنَحْوُهَا أَوْ كَانَتْ لَا تَتَغَيَّرْ فِي الْمُدَّةِ الْمُتَخَلِّلَةِ بَيْنَ الرُّؤْيَةِ وَالشَّرَاءِ صَحَّ الْعَقْدُ لِحُصُوْلِ الْعِلْمِ الْمَقْصُوْدِ
Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.
Sumber:
- Jurnal Hukum Islam Judul Transaksi Jual Beli Dropshipping Dalam Prespektif Fiqih Muamalah Karya Muflihatul Bariroh
- Fiqh Sunnah Karya Sayyid Sabiq
- Doktrin Ekonomi Silam Karya Afzalur Rahman
- Bulughul Maram dan Dalil-Dalil Hukumnya Karya Ibnu Hajar Al-Asqalani
- Fiqih Ekonomi Syaria’ah Karya Mardani
- Fiqh Sehari-Hari Karya Saleh Al Fauzan
- (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240)