Jual Beli Buah Yang Masih Di Atas Pohon

 Jual Beli Buah Yang Masih Di Atas Pohon

HIDAYATUNA.COM – Praktek jual beli sudah berkembang sedemikian rupa dengan berbagai cara dan motif. Baik itu untuk meningkatkan keuntungan atau mencari kemudahan dan sebagainya. Salah satu bentuk jual beli tersebut adalah membeli buah-buahan yang masih di atas pohon. Praktek demikian marak karena berbagai alasan, misalnya penjual sedang membatuhkan uang, sementara pembeli berharap keuntungan lebih jika membeli buah yang masih dipohon.

Faktor saling membutuhkan menjadi motif jual beli buah-buahan yang masih dipohon. Misalnya seseorang membeli jeruk yang masih di atas pohon dalam waktu satu tahun dengan ketentuan akan mengambilnya 3 kali. Bolehkan yang demikian dilakukan?

Sebenarnya praktek demikian bukanlah hal baru, namun sekarang marak kembali dilakukan. Ketidaktahuan akan hukumnya juga menjadi faktor lain jual beli yang demikian berkembang. Dalam sebuah riwayat dari Jabir disebutkan sebagai berikut:

نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشَقِّحَ. فَقِيلَ مَا تُشَقِّحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا

Artinya: “Nabi saw melarang dari dijualnya buah sampai tusyaqqih. Maka dikatakan, apa tusyaqqih? Beliau bersabda: “memerah atau menghijau dan bisa dimakan”. (HR. Bukhari)

Maksud dari hadits ini adalah ukuran kelayakan buah untuk dikonsumsi atau telah nampak masak dan enak. Tentu saja ukuran layak dikonsumsi masing-masing buah jelas berbeda. Bahkan hampir bisa dipastiakan bahwa tidak mungkin buah dalam satu pohon langsung masak secara menyeluruh.

Lebih lanjut lagi mengenai persoalan ini, dalam riwayat lain Rsulullah SAW menjelaskan demikian:

إِنْ بِعْتَ ِلأَخِيْكَ تَمْرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ تَحِلَّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا لِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ.

Arinya: “Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim), lalu kurma tersebut tertimpa musibah atau wabah, maka tidak halal bagimu untuk mengambil (harga) darinya sedikit pun. Karena engkau tidak dibenarkan mengambil harta saudaramu sendiri.” (HR. Muslim dan Ibu Jabir)

Ibnul Qayyim dalam kitab I’laa-mul Muwaqqi’iin, menjelaskan bahwa maksud dilarangnya jual beli buah-buahan yang belum masak, yaitu agar tidak terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa hak yang dibenarkan, karena buah-buahan tersebut kemungkinan bisa rusak. Allah telah melarangnya dan Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi pembelaan kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah terjadinya jual beli yang dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak dimakan tanpa adanya hak yang dibenarkan.

Sementara itu dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj sebagai berikut:

 ( وَقِيلَ بُدوُ الصَّلاحِ ) فِي الكُلِّ إِنَّ بَيْعَ الثَّمَرِ اَلَّذِي لَمْ يُبْدِ صَلاحَهُ وَإِنْ بَدَا صَلاحُ غَيْرِهِ المُتَّحِدُ مَعَهُ نَوْعًا وَمَحَلًّا ( مُنْفَرِدًا عَنْ الشَّجَرِ ) وَهُوَ عَلَى شَجَرَةٍ ثابِتَةٍ ( لَا يَجُوزُ ) البَيْعُ لِأَنَّ اَلْعاهَةَ تُسْرِعُ إِلَيْهُ حِينَئِذٍ لِضَعْفِهِ فِيفُوتُ بِتَلَفِهِ الثَّمَنَ بِغَيْرِ مُقابِلٍ ( إِلَّا بِشَرْطِ القَطْعِ ) لِلْكُلِّ حَالًا لِلْخَبَرِ المَذْكورِ فَإِنَّهُ يَدُلُّ بِمَنْطُوقِهِ عَلَى المَنْعِ مُطْلَقًا

 “(Dan menjual buah-buahan sebelum ada yang matang) dari keseluruhannya, jika buah yang belum matang tersebut dijual, walaupun buah lain yang sejenis dan setempat sudah matang (tanpa disertai pohonnya), dan buah-buahan tersebut masih di pohon yang hidup, (maka jual beli itu tidak boleh), karena saat belum matang hama –bisa saja- akan menyerangnya, karena lemahnya, maka dengan rusaknya buah, berarti uang pembayaran tersia-sia tanpa imbal balik, (kecuali dengan syarat memetic semuanya) seketika, berdasarkan hadits yang telah disebutkan. Sebab hadits tersebut dengan manthuq (redaksional)nya menunjukkan larangan jual beli seperti itu secara mutlak.”

( وَلَوْ بَيْعَ ثَمَرٍ ) أَوْ زَرْعٍ بَعْدَ بُدوِ الصَّلاحِ وَهُوَ مِمَّا يَنْدُرُ اخْتِلاطَهُ أَوْ يَتَسَاوَى فِيه الأَمْرَانِ أَوْ يَجْهَلُ حالَهُ صَحَّ بِشَرْطِ القَطْعِ والْإِبْقاءِ والْإِطْلاقِ أَوْ مِمَّا ( يَغْلِبُ تُلاحِقُهُ واخْتِلاطٌ حادِثَةٍ بِالْمَوْجُودِ ) بِحَيْثُ لَا يَتَمَيَّزانِ ( كَتينٍ وَقِثّاءٍ ) وَبِطّيخٍ ( لَمْ يَصِحَّ إِلَّا أَنْ يُشْتَرَطَ المُشْتَري ) يُعْنَى أَحَدَ المُتَعاقِديْنَ وَيوافِقُهُ الأُخَرَ ( قَطْعَ ثَمَرِهِ ) أَوْ زَرْعَهُ

“(Seandainya dijual buah-buahan) atau tanaman yang sudah matang, dan termasuk buah-buahan atau tanaman yang jarang tercampur dengan yang lain, atau bisa tercampur dan tidak, atau tidak diketahui keadaannya, maka penjualannya sah dengan syarat dipetik, ditetapkan di pohon atau tanpa syarat apapun, sedangkan buah-buahan atau tanaman yang (biasanya matangnya beriringan, dan yang baru tercampur dengan yang sudah ada), sekira keduanya tidak dapat dibedakan), (seperti buah tir, ketimun), dan semangka, (maka penjualannya tidak sah, kecuali pembeli mensyaratkan) maksudnya salah satu pihak yang bettransaksi dan pihak yang lain setuju (pemetik buah) atau tanamannya.”

Berdasarkan berbagai sumber rujukan di atas maka pembelian tersebut hukumnya tidak sah karena terdapat sebagian buah yang belum masak atau belum layak. Maka dengan demikian sebaiknya kita menjauhi praktek jual beli semacam ini dan melakukan sesuai ketentuan syariat. Wallahu a’lam.

Sumber: Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj pada Hamisy Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani, (Mesir: Musthafa Muhammad, t.th.), Jilid IV, h. 461 dan 469

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *