Jihad Ekologi Pesantren Misykat Al-Anwar
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Gap antara pesantren sebagai instansi yang mengajarkan ilmu agama dan wawasan di luar agama seperti persoalan ekologi dan lingkungan, dapat kita lihat pada periode awal perkembangannya.
Semula, pesantren sangat sedikit—untuk tidak mengatakan tidak pernah—menyentuh hal-hal yang di luar agama itu sendiri.
Pengajaran yang diberikan di dalam pesantren masih terkait erat dengan aspek dotrinal dalam agama.
Itu sebabnya orientasi pesantren alih-alih melihat problem sosial, justru melangit.
Namun belakangan, pesantren sudah mulai turun tangan dan lebih banyak terlibat dalam gerakan nyata.
Hal ini semakin mendapat seruan suportif dari rias pesantren yang mulai melentur.
Kita lihat belakangan pesantren sudah mulai mengadopsi hal-hal di luar dirinya.
Itu dapat dilihat secara simplistis dari imbuhan kata lain di belakang lema pesantren. Semisal ‘pesantren ekologi’ dan lain semacamnya.
Realitas tersebut mengindikasikan penerimaan pesantren dan campur tangannya terkait problematika yang lebih konkret.
Musabab sejak awal tulisan ini bermaksud membahas pesantren ekologi, maka akan dilihat proyek besar bernama pesantren ekologi tersebut.
Di Indonesia, tidak banyak pesantren yang dengan berani memberi imbuhan lain di belakang namanya.
Imbuhan ‘ekologi’ misal hanya dipakai di beberapa pesantren yang memang sejak awal berdiri diproyeksikan untuk itu.
Dibanding pesantren konvensional, pesantren gaya baru ini tentu relatif lebih sedikit.
Salah satu pesantren yang saya kenal sendiri konsisten dengan isu ekologis adalah pesantren Misykat al-Anwar.
Pesantren yang diasuh Roy Murtadho (lazim dikenal Gus Roy) ini secara pradigmatik memang sangat lekat dengan isu ekologi.
Kurikulum Integratif
Kurikulum integratif, saya menyebutnya demikian, musabab pengajaran di pesantren ini tidak hanya hal pokok agama.
Bahkan hal-hal yang mungkin selama ini diklaim kontras dengan ilmu-ilmu agama nyatanya dapat ditemukan di sini.
Jika Amin Abdullah mengusulkan integrasi-interkoneksi Islam dan sains, maka saya menemukan itu di pesantren ekologi ini.
Disebabkan perhatiannya terkait persoalan ekologis, maka menjadi sangat urgen untuk menyuntikkan wawasan di luar agama.
Wawasan lingkungan, sosiologis, filsafat dapat ditemukan dan diramu dengan sangat baik di sini.
Menariknya, santri yang ada di sana masih relatif sedikit. Ini sangat memungkinkan bagi pembelajaran yang efektif.
Di beberapa kasus, pesantren yang secara kuantitatif membengkak justru melempem secara kualitatif.
Atas kesadaran ini, pesantren ekologi Misykat al-Anwar tidak membutuhan kuantitas santri.
Ia lebih menekankan sejauh mana kemampuan para santri dapat diakomodir dengan baik dan diperhatikan.
Ini poin menarik di tengah-tengah banyak pesantren yang aktif mempromosikan diri demi menarik sebanyak mungkin peserta didik.
Selain itu, upaya yang dilakukan pesantren Misykat al-Anwar dalam hemat saya sedikit banyak menyentil pesantren konvensional.
Seminimnya, Misykat al-Anwar memberikan sebuah preseden dan prototipe bagaimana idealnya pesantren saat ini.
Alpanya banyak pesantren terkait isu erotis seperti kerusakan lingkungan, krisis iklim, harus segera mungkin mendapat teguran.
Itu bisa dimulai dengan menerapkan lelaku keseharian santri yang ramah terhadap lingkungan.
Tentu ini adalah sebuah gambaran kecil untuk kemudian bisa dielaborasi lebih lanjut.
Jihad Era Baru
Jika selama ini makna jihad hanya eksklusif dan asosiasinya mengarah pada ‘perang’ sudah saatnya mengucap selamat tinggal untuk perspektif tersebut.
Persoalan yang dihadapi dunia sangat kompleks dan tidak semuanya dapat selesai dengan mengangkat senjata.
Persoalan kerusakan lingkungan sebagai contoh, di mana mengangkat senjata bukan solusi di dalam problem itu.
Untuk itulah butuh pemecah masalah yang lebih ideal dan lebih efektif. Kecerdikan strategi dan taktik dalam memecahkan masalah ini dibutuhkan.
Akhirnya, lema jihad pun juga harus dipahami secara luas, tidak eksklusif terkait perang.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Misyakat al-Anwar ini bisa saya kategorikan sebagai jihad.
Menyelamatkan bumi, atau jika itu terlalu utopis bisa diganti dengan istilah memperlambat kerusakan, adalah jihad yang tidak kalah besar dibanding perang.
Terkait frasa ‘memperlambat kerusakan’ ini sebagai kontranarasi orang-orang yang menganggap bahwa kerusakan tidak bisa ditolak.
Menurut mereka, itulah mengapa kita tidak perlu menggebu-gebu memelihara bumi. Saya percaya bumi memang berproses menuju kerusakan hanya saja tenggat waktu yang menjadi pembahasan penting di sini.
Jika dengan jihad lingkungan kita bisa memperpanjang umur bumi selama sepuluh tahun, lalu atas dasar apa seseorang bahkan juga instansi enggan untuk atau bahkan biasa saja melihat bumi lebih cepat hancur?
Ini pertanyaan yang tidak pernah butuh jawaban. Sejatinya pertanyaan ini diketengahkan untuk menguji kembali sebaik apa kita telah menjadi khalifah di Bumi.
Di tengah itu, Misykat al-Anwar hadir sebagai upaya untuk berjihad melawan kerusakan lingkungan. []