Jejak Sejarah di Balik Masjid Sultan Suriansyah

 Jejak Sejarah di Balik Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah adalah masjid bersejarah yang berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatran. Masjid ini dibangun pada 1526 dan menjadi salah satu dari tiga masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini menjadi lokasi wisata religi yang terkenal di Banjarmasin. Di usianya yang menginjak 493 tahun, Masjid Sultan Suriansyah masih berdiri kokoh dengan berbagai keunikan yang menjadi ciri khasnya.

Masjid ini terletak di Jalan Kuin Utara, Kelurahan Kuin Utara. Berletak di kawasan Banjar lama yang merupakan situs ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama. Masjid ini juga biasa disebut Masjid Kuin karena letaknya yang berada di tepi sungai Kuin. Tempat ibadah ini dibangun pertama kali oleh Sultan Suriansyah di kala Islam baru saja menyebar di sana, tempat tersebut juga menjadi saksi bisu penyebaran agama Islam di Tanah Banjar.

Disebutkan dalam hikayat Banjar, saat itu Pangeran Samudera yang bergelar Sultan Suriansyah bersama seluruh masyarakat Banjar masih menganut agama Hindu. Kemudian ia terlibat perang melawan pamannya yang cemburu dengan Pangeran Samudera. Kecemburuan ini bermula saat kakeknya, Maharaja Sukarama lebih menyukai dirinya daripada anaknya sendiri, Pangeran Tumenggung.

Kecemburuan dan kemarahan Pangeran Tumenggung semakin besar saat kakeknya menyerahkan tahtanya kepada keponakannya. Akhirnya, agar tidak dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudera melarikan diri dengan menyamar sebagai nelayan dan berkelana hingga ke daerah Kuin di Bandarmasih (nama lama Banjarmasin). Sementara itu, pangeran Tumenggung naik tahta dan memerintah Tanah Banjar dengan membuat kerajaan baru bernama Kerajaan Negara Dipa.

Naiknya pangeran Tumenggung sebagai raja tidak disetujui oleh seluruh Patih. Beberapa Patih yang menyukai kelembutan dan kesopanan Pangeran Samudera akhirnya bergabung dengannya dan membuat kerajaan tandingan dengan Pangeran Samudera sebagai rajanya. Sejak berdirinya kerajaan ini, Pangeran Samudera dan pamannya selalu terlibat perang saudara dengan kekalahan silih berganti.

Hingga akhirnya, Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Kerajaan Demak untuk memenangkan perang melawan pamannya, dengan syarat Raja Banjar dan seluruh rakyatnya bersedia masuk Islam, baik menang atau kalah. Syarat ini kemudian disanggupi oleh Pangeran Samudera dan ia berserta rakyatnya menyatakan diri masuk Islam. Perang antar saudara pun kemudian berakhir damai. Di saat pangeran Samudera tak sanggup membunuh pamannya sendiri yang kemudian meluluhkan hati pamannya dan menyesali kezhalimannya di hadapan keponakannya sendiri.

Keunikan Arsitekturnya

Tak lama setelah keadaan menjadi damai, dibangunlah Masjid Sultan Suriansyah. Pada saat itu, karena sebelumnya seluruh penduduk beragama Hindu, mereka tak mengerti harus membangun masjid seperti apa. Karena mereka banyak berinteraksi dengan kerajaan Demak dalam syiar Islam, akhirnya arsitektur masjid Sultan Suriansyah meniru masjid Demak.

Masjid ini memiliki bentuk tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Nilai-nilai akidah Islam menyimbolkan tentang sejarah awal kedatangan Islam di Bumi Lambung Mangkurat ini. Kubah masjidnya berbentuk kerucut, di bagian atasnya ada semacam tongkat berukir. Bagian atapnya pun penuh dengan ukiran khas Banjar. Keseluruhan bangunan ini masih berbahan kayu ulin yang sampai saat ini masih terawat dengan  baik.

  • Lawang Agung

Kekunoan masjid ini dapat dilihat dari 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50×50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu yang berbunyi : “Ba’da hijratun Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sunnah 1159 pada tahun wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang Mulia”

Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri “Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnin pada sapuluh hari bulan Sya’ban tatkala itu”. Kedua inskripsi ini menunjukkan pada Senin 10 Sya’ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Damang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidillah.

  • Filosofi Ruang

Pola ruang tengah Masjid Sultan Suriansyah ini diadaptasi dari Masjid Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur masjid Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh ini di tunjukkan oleh tiga aspek dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut.

Tiga aspek tersebut adalah atap meru, ruang keramat, dan tiang guru yang melingkupi ruang keramat. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan yang atas. Bangunan yang dianggap paling penting memiliki atap yang paling tinggi. Dan ciri tersebut tampak pada Masjid Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut.

  • Mihrab

Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi : “Allah Muhammadurrasulullah”, sedangkan pada bagian kanan atas terdapat tulisan “ Krono legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17”, sedangkan pada bagian kiri atas terdapat tulisan : “ Allah subhanahu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri”. Mihrab pada masjid ini juga memiliki atap terpisah dari bangunan lainnya.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *