Jejak-Jejak Islam di Maluku

 Jejak-Jejak Islam di Maluku

Baldatun Thayyibatun: Negeri Aman, Nyaman dan Sejahtera Tanpa Khilafah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita melulu membaca narasi ajaran Islam bersuara nyaring di daerah Sumatera dan Jawa. Dua pulau yang memang diakui, dikaji, dan terlegitimasi dengan berbagai temuannya.

Padahal di daerah lain, semisal Maluku yang masuk bagian wilayah timur negeri ini, pada abad ke-13 sudah ditemukan adanya komunitas muslim yang mukim, membangun peradaban, dan membentuk masyarakat.

Hal ini ditemukan pada catatan Th Van Den End yang bisa dibaca di buku Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon (2012).

Buku ini dipublikasikan dari hasil riset yang dilakukan tim Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI.

Di situ Th Van Den End mencatat bahwa pada 1929, ajaran Islam sudah dianut dan tersebar di daerah pantai Maluku.

Komunitas muslim ini oleh beberapa peneliti disinyalir telah mencapai mufakat dalam hal perdagangan rempah-rempah dengan orang Eropa.

Berarti di masa tersebut, kita bisa menduga ajaran Islam barangkali telah melembaga dalam bentuk kerajaan atau semacamnya dengan seperangkat pemerintahannya.

Data lainnya ditemukan pada catatan Francisco Serrao. Ia merupakan kapten Portugis yang memimpin kapal dalam perjalanannya ke Pulau Maluku pada 11 November 1511.

Dalam catatannya ia mengatakan bahwa, komunitas muslim di Pulau Maluku sudah ada sekira 100-200 tahun lebih awal dari kedatangannya.

Bila dua catatan lawas ini dijadikan pijakan, maka bisa jadi puncak kejayaan Islam di Jawa yang berpusat di Demak, memiliki masa dan capaian yang sama dengan ajaran Islam di Maluku.

Lantas, siapa figur penting yang dinilai sebagai pembabad ajaran Islam di Maluku?

Sketsa Biografi Sultan Isa

Di dalam riset Masuknya Islam di Maluku Tenggara (2016), Ali Fahrudin menemukan figur Sultan Isa sebagai pembawa ajaran Islam pertama kali di wilayah ini.

Ia merupakan saudagar kaya yang bermuasal dari Basrah (sekarang Irak). Sultan Isa mengajak keluarga beserta adik-adiknya meninggalkan Basrah pada 1295.

Kita tahu di banyak literatur keislaman, pada tahun-tahun tersebut Dinasti Abbasiyah sudah berada di ujung tanduk.

Sekian polemik di luar dinasti yang diakumulasikan dengan sengketa politik di internal pemerintahannya, membuat Dinasti Abbasiyah tidak lagi diperhitungkan.

Maka mafhum bila Sultan Isa dan keluarganya memilih pergi dari Basrah, dan mencari tempat lain yang memungkinkan dirinya untuk mendakwahkan Islam.

Sampailah Sultan Isa di Malaka, kemudian Jawa, selanjutnya Bima, dan memutuskan untuk menetap di Maluku, tepatnya di Pulau Luang.

Di daerah yang baru ini, Sultan Isa membangun pemukiman muslim. Ia dikaruniai 7 orang anak yang kelak berpencar, membaur dengan masyarakat setempat, dan menjadi tokoh penting dalam pemajuan Islam di Maluku.

Sultan Isa di masa awal kedatangannya, melakukan dakwah ke wilayah yang belum terjamah ajaran Islam selama 30 tahun lamanya.

Ia pulang ke rumah hanya sekali dalam sepekan. Menurut penuturan lisan dari masyarakat setempat, Sultan Isa memiliki naga yang jadi pelindung dari marabahaya sekaligus kendaraannya untuk pergi berdakwah.

Peninggalan Islam di Maluku; Masjid Al-Mukarromah

Salah satu peninggalan yang masih tersisa dari perjalanan Islam di Maluku pada masa silam, bisa ditemukan pada bangunan Masjid Al-Mukarromah.

Masjid ini didirikan oleh generasi ke-9, Raja Larat Matdoan pada 1536 M. Masjid ini memiliki corak yang sama dengan masjid-masjid generasi awal di Jawa pada masa silam.

Tentu saja, masjid ini juga sarat dengan simbol-simbol keislaman.

Misalnya saja sebelum direnovasi, atap Masjid Al-Mukarromah memiliki atap tumpang dua yang termaknai sebagai dua kalimat syahadat.

Selanjutnya ada lima pintu masjid yang jadi simbol dari rukun Islam. Pun pilar penyangga masjid berjumlah empat, yang diartikan sebagai tingkat keberisalaman yang mesti dilalui umat Islam agar paripurna; syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.

Dari sini saya rasa keberislaman di Maluku pada masa silam menjadi bagian penting dari sejarah islamisasi di nusantara. Hal yang sama juga berlaku pada daerah-daerah lain.

Kendati suarnya tidak seperti pusat Islam di Jawa atau Sumatera, tetapi tetap saja tidak bisa diabaikan, apalagi dilupakan. Begitu. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *