Jejak Intelektual Suhrawardi, Filosof yang Ironi
HIDAYATUNA.COM – Kalau kita mengulas kembali pemikiran para ulama’ maupun filosof yang lahir dari tradisi Timur Tengah. Terlebih pada masa kedinastian Islam, tidak bisa dikatakan berjalan mulus.
Dalam konteks sosial, dinamika kehidupannya terus dicambik oleh api kebencian, yang didasari oleh selisih paham antar intelektual. Dari selisih paham tersebut, bermuara menjadi saling menyalahkan, mengkafirkan bahkan sampai terjadi pembunuhan.
Hal itu dirasakan oleh salah satu ulama sekaligus filosof iluminasi yang bernama Suhrawardi. Perjalanan intelektualnya cukup terjal karena orientasi pemikirannya yang kontroversial sehingga para intelektual yang tidak sependapat dengannya, menentangnya cukup keras.
Suhrawardi berjalan dengan pemikiranya yang tidak hanya berkiblat kepada tradisi pemikiran Arab. Ia juga bersandar dengan pemikiran filsafat Pythagoreanisme dan Platonisme, yang berpengaruh besar dengan paradigma filsafatnya.
Jejak Keilmuan Suhrawardi
Syihab Al-Din Yahya ibn Habasy Ibn Amirak Abu aL-Futuh Suhrawardi adalah nama lengkapnya. Para pengikut Suhrawardi menyebutnya dengan julukan Syaikh aL-Isyraq atau guru Iluminasi.
Suhrawardi lahir di Persia barat laut pada 549 H/1154M, di Desa Suhraward, maka orang-orang familiar dengan sebutan Suhrawardi. Suhrawardi dalam awal pendidikanya, dididik oleh Majduddin al-Jili, di Kota Maraghah. Daerah yang menjadi terkenal di seluruh dunia dengan observatoriumnya.
Setelah selesai pendidikannya di Maraghah, ia melanjutkan studinya di Isfahan yang kala itu menjadi pusat belajar terkemuka di Persia. Ia juga bersahabat dengan teman sekelasnya yaitu Fakhrudin ar-Razi, yang notabene bertolak belakang dengan pemikirannya.
Setelah menyelesaikan studi formalnya, Suhrawardi mulai berkelana ke penjuru Persia. Dalam perjalanan spiritualnya ia menemui berbagai guru sufi.
Memasuki Jalan Sufi dan Berkelana
Dalam fase perkelanaannya tersebut ia memasuki jalan sufi dan menghabiskan waktunya dalam pengasingan spiritual (Khalwat), serta menghanyutkan diri dalam zikir dan meditasi. Suhrawardi lalu melakukan pengembaraan ke penjuru daerah, konon setibanya di Antonia dan kemudian di Syiria, pandanganya terkesima oleh kota tersebut.
Dalam perjalanan ini, Suhrawardi berangkat dari Damaskus ke Aleppo. Di sana lah kemudian ia bertemu dengan Sultan Malik azh-Zhahir putra Salahuddin al-Ayyubi.
Sultan Malik azh-Zhahir adalah pemimpin yang memiliki kecintaan khusus terhadap para sarjana dan kaum sufi. Akhirnya sang Sultan tertarik dengan ahli hikmah muda ini, dan mengundangnya untuk tinggal di istananya di Aleppo.
Pemikiran Suhrawardi yang Menggemparkan Istana
Dengan tawaran Sultan Malik azh-Zhahir Suhrawardi menerima dengan senang hati, mengingat ia sudah membangun kecintaan terhadap kota Aleppo. Dengan disediakannya ruang yang luas oleh pihak istana. Suhrawardi dalam perjalanannya sebagai seorang filosof mulai mengeksplorasi pemikiranya, dengan sangat vokal di kalangan istana.
Dasar paradigma Suhrawardi mengenai doktrin Isyraqi adalah dicatat oleh Suhrawardi dalam maha karyanya yang berjudul Hikmat aL-Isyraq. Buku tersebut ditulis pada 532H atau 1186M. Karya Suhrawardi disajikan dengan bentuk sastra yang estetik, mengenai asal usul alam semesta, ditulisnya dengan cepat dan spontan.
Suhrawardi dalam karyanya tersebut mengkritik tentang paradigma madzhab paripatetik filsafat Aristotelian yang diikuti oleh Ibnu Sina. Suhrawardi tidak menerima keseluruhan tentang kerangka berfikir madzhab paripatetik, yang menganggap bahwa dalam segala sesuatu yang ada, eksistensi merupakan prinsip dan realitas esensi tergantung eksistensi.
Suhrawardi dalam bukunya Hikmat aL-Irsaq tidak sependapat tentang terminologi tersebut. Ia mempunyai pandangan bahwa esensi sesuatu itulah yang memiliki realitas dan menjadi prinsip utama. Sedangkan eksistensi memainkan peran sampingan terhadap aksiden yang ditambahkan pada esensi.
Hal itulah yang mendasari paradigma mazhab Isyraqi Suhrawardi. Dengan pemikiran tersebut ia mengungkap doktrin-doktrin esoterik di hadapan seluruh jenis audiens dan mampu mengalahkan lawannya dalam perdebatan.
Sedangkan Suhrawardi dalam menunjang argumennya tidak hanya bertumpu pada dalil naql tetapi menyatupadukan kepada aql. Sehingga sesuatu yang sukar untuk di fahami, bisa di ungkap secara mendalam dengan kerangka berfikirnya.
Terbunuhnya Suhrawardi
Sang filosof Suhrawardi memiliki ruang yang begitu luas di kalangan istana untuk menggaungkan pemikirannya. Akan tetapi banyak dari kalangan ulama, terutama ahli fiqih yang menganggap Suhrawardi memiliki pemikiran yang sesat. Mereka pun melabeli Suhrawardi sebagai ulama yang zindiq, kafir dan keluar dari keimanan.
Lalu mereka menuntut Sultan Malik azh-Zhahir untuk dihukum. Namun sang Sultan menolaknya karena ia sangat menghargai ahli Hikmah tersebut.
Adapun penolakan Sultan Malik azh-Zhahir tidak membuat penuntut yang tidak sepaham dengan Suhrawardi berhenti. Mereka melanjutkan tuntutannya kepada Sultan Salahuddin al-Ayyubi yang memiliki otoritas tertinggi.
Seyyed Hossein Nasr, filosof modern yang paling otoritatif mengkaji tentang filsafat dan mistisme Islam menjelaskan kepemimpinan Salahuddin al-Ayyubi. Dalam bukunya yang berjudul “ Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam,” ia menjelaskan bahwa,kepemimpinan Salahuddin al-Ayyubi sangat membutuhkan ulama’ ahli hukum (ulama faqih) untuk mempertahankan otoritasnya.
Mengingat, pada saat itu Salahuddin aL-Ayyubi baru saja merebut kembali Syiria dalam pertempuran Salib. Sang sultan tidak mampu menolaknya.
Akhirnya sang ahli Hikmah dijebloskan kedalam penjara. Kemudian pada tahun 587 Hijriyah atau 1191 Masehi ia meninggal dunia. Sang ahli Hikmah meninggal pada usia yang relatif muda yaitu pada umur 38 tahun.
Nasib Suhrawardi sama dengan ulama ahli Hikmah sebelumnya yaitu aL-Hallaj yang cukup berpengaruh terhadap pemikirannya.
Bersamaan meninggalnya Suhrawardi sahabat baiknya yaitu Fakhrudin ar-Razi yang notabene berseberangan paham dengannya menangisi kematiannya. Mengingat Suhrawardi merupakan teman sekelas Fakhrudin ar-Razi saat menempuh pendidikannya di Isfahan.
Lantaran kejadian tersebut, maka, pengikut setia Suhrawardi memberi gelar aL-Maqtul (Yang terbunuh).
***
Pada masa itu, para intelektual sangat mudah sekali berselisih paham. Dengan adanya selisih paham tersebut, mereka begitu mudah mengkafirkan. Terlebih lagi di antara pemahaman yang berseberangan tersebut memiliki otoritas politik, dan tak segan-segan menghabisi lawan maupun kawannya.
Menimbang dari kisah tersebut, pada masa kini sangat penting untuk saling memahami dan menghormati apabila ada orang yang berselisih paham dengan kita.
Adapun dari kisah di atas yang paling diwaspadai, pada masa kini yaitu politisasi agama maupun politisasi madzhab yang rentan sekali terjadi nya konflik. Berawal dari konflik tidak menutup kemungkinan antar sesama anak bangsa, bisa saling membunuh.