Jejak dan Pandangan Politik Buya Hamka

 Jejak dan Pandangan Politik Buya Hamka

Buya Hamka (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Siapa yang tidak kenal Buya Hamka atau yang bernama panjang Haji Abdul Malik Karim Amrullah seorang ulama, penulis, sastrawan, pengajar sekaligus politisi. Kiprahnya dalam dunia politik telah dimulai sejak tahun 1925 ketika merantau ke Jawa, tepatnya ke kota Yogyakarta dan Pekalongan.

Pengembaraannya di Jawa dan pertemuannya dengan para tokoh bangsa serta tokoh Muhammadiyah membawa pengaruh besar kepada Buya Hamka muda. Ketika itu Buya Hamka baru berusia 17 tahun dan sudah menjadi anggota partai politik Syarikat Islam (SI).

Diantara tokoh yang ditemuinya ialah H.O.S. Tjokroaminoto, darinya pula Buya Hamka banyak berdiskusi serta mempelajari Idiologi Islam dan Sosialisme. Buya Hamka bahkan sempat melontarkan pujian kepada H.O.S. Tjokroaminoto. Juga berkenaan prosesnya menimba ilmu dan politik di Syarikat Islam.

Dia mengatakan ayahnya dan guru-gurunya di Sumatera telah mengajarkan dasar-dasar sebagai orang Islam, tetapi H.O.S. Tjokroaminoto lah yang telah membukakan matanya untuk Islam yang hidup. Katanya, “Jiwa saya diisi oleh ayah, mata saya dibukakan Pak Tjokro.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa H.O.S. Tjokroaminoto memiliki peran besar pada kehidupan Buya Hamka. Tidak hanya dalam kiprah politiknya tetapi juga dalam berjuang dan berdakwah menyebarkan serta menghidupkan nilai-nilai Islam.

Berkiprah sebagai Tokoh Muhammadiyah

Selama di Jawa ia juga bertemu dengan Ki Bagus Hadi Kusuma, yaitu seorang tokoh Muhammadiyah yang ahli tafsir dan ilmu agama. Sebelumnya bertemu mereka, ia telah bertemu pamannya yang merupakan anggota Muhammadiyah, dia adalah Ja’far Amrullah. Dari pamannya inilah ia dipertemukan dengan tokoh-tokoh bangsa dan banyak belajar.

Persinggungan Buya Hamka dengan Muhammadiyah secara intens dia dapat dari Sutan Mansur, kakak iparnya. Sutan Mansur merupakan pemimpin Muhammadiyah Pekalongan, Pekajangan dan Kedung Wuni.

Muhammadiyah memang bukan wadah proses politik bagi Buya Hamka akan tetapi rumah pengabdian. Di mana ia juga menyemai nilai-nilai keislaman yang menjadi pegangan dalam berpolitik.

Bersama Sutan Mansur, Buya Hamka ikut mendirikan beberapa cabang Muhammadiyah di wilayah Sumatera. Sampai kemudian tanpa sepengetahuan ayahnya dia pergi ke Mekah untuk menunaikan haji.

Setelah sekitar tujuh bulan di Makah, ia bertemu dengan Agus Salim yang kemudian memintanya pulang ke Indonesia. Agus Salim mengatakan banyak hal yang bisa dan harus dikerjakan serta diperjuangkan oleh pemuda seperti Buya Hamka, maka dari itu pulang ke Indonesia menjadi keharusan.

Sepulangnya dri Mekah yaitu tahun 1928, Buya Hamka diangkat menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Sekaligus memimpin sekolah Tabligh School Padang Panjang.

Setahun kemudian ia hadir pada Muktamar Solo tahun 1929 karena posisinya sebagai salah seorang pimpinan. Sejak itu tidak pernah absen dalam perhelatan dan berabagai kegiatan Muhammadiyah.

Perjuangan Politik di Masyumi

Senafas dengan pergerakannya di Muhammadiyah, Buya Hamka juga berkiprah di politik dan bergabung dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Masuknya Buya Hamka ke Partai Masyumi ini sejalan dengan apa yang diperjuankan dan segaris dengan pilihan Islam sebagai jalan hidupnya.

Dalam perjalanannya, Buya Hamka sang juru kampanye dan orator andalan Partai Masyumi. Pada tahun 1949 Buya Hamka melangkahkan kakinya ke Ibu kota Jakarta. Jakarta pula yang kemudian membawanya masuk lebih dalam sebagai politikus.

Pada tahun 1955 berlangsung pemilihan umum di Indonesia, dan Hamka terpilih sebagai konstituante dari partai Masyumi mewakili Jawa Tengah dalam kurun waktu 1955-1957. Sesuai dengan kebijakan partai Masyumi, Buya Hamka tampil dengan isu mendirikan Negara Islam yang berdasarkan Al-quran dan Sunnah Nabi.[1]

Sampai suatu ketika, perkembangan politik dan benturan Ideologi di indonesia begitu panas dan sangat keras. Hal itu bertambah buruk dengan penerapan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno.

Ketika itu, Partai Masyumi dibubarkan karena disinyalir mendukung gerakan pemberontakan. Beberapa tokohnya pun terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pertarungan politik ideologi dan pembubaran Masyumi menyeret Buya Hamka turut menjadi sasaran fitnah. Tuduhan serius dialamatkan kepadanya, yaitu bersekongkol akan membunuh Presiden Soekarno.

Akibat tuduhan ini Buya Hamka harus merasakan dinginnya penjara selama dua tahun empar bulan dari tahun 1964 hingga 1966. Demikian pengakuan Buya Hamka, saya meringkuk dalam tahanan sebagai kebiasaan nasib orang-orang yang berpikiran merdeka dalam negara yang totaliter.

Hal yang menarik dan patut diteladani dari Buya Hamka adalah meskipun telah difitnah dan di jebloskan ke penjara oleh Soekarno, tiada dendam dalam hatinya. Hal itu terbukti ketika ia justru siap sedia ketika dimintai menjadi Imam salat jenazah Soekarno.

Permintaan itu sebagaimana diwasiatkan Soekarno selum wafat, agar yang mengimami salat jenazahnya adalah Buya Hamka.

Pandangan Politik Buya Hamka

Pandangan dan gagasan politik Buya Hamka sangatlah otentik. Jika ada yang mengatakan politik itu kotor tidak demikian dengan Buya Hamka. Prinsip politiknya yang mendasrkan pada akhlak, keimanan dan firman Allah sangatlah teguh dalam jalan kebenaran.

Perjuangan politik yang dilakukan bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan demi mencapai kemaslahatan umat. Politik bagi Buya Hamka yaitu menempatkan wahyu ilahi sebagai undang-undang tertinggi dan syura atau musyawarah menjadi pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam.

Maka tidaklah heran ia begitu teguh dalam berjuang. Sebuah amanah baginya adalah tidak melanggar perintah Tuhan, oleh karena Islam meliputi seluruh kegiatan hidup manusia.

Sebagai seorang pemuka agama, pandangan politik Buya Hamka sangatlah terbuka. Ia tidak mempermasalahkan perbedaan gender dalam hal kepemimpinan.

Ia berpandangan bahwa keterpurukan bangsa terjadi ketika banyak orang yang bukan ahlinya memegang tampuk kekuasaan, bukan atas dasar perempuan atau laki-laki.

Buya Hamka tidak mempersoalkan gender bagi kepala negara karena yang terpenting adalah ilmu dan fisik yang memadai.[3] Perempuan (khususnya muslimah) boleh berpartisipasi dalam politik asalkan paham agama dan berilmu, tidak melupakan tugas utamanya sebagai istri dan ibu, kritis, mempunyai semangat juang Islam yang tinggi, dan berani.

Mengenai dasar negara dan kebangsan, Buya Hamka menerima Pancasila sebagai dasar negara karena menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai roh daripada Pancasila itu sendiri. Dengan menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama, Hamka menilai, hal tersebut menunjukkan jika bangsa Indonesia dibangun atas dasar iman atau kepercayaan hanya kepada Allah, Tuhan Yang Esa.[4] Ia juga menerima Nasionalisme, asal Nasionalisme itu tidak menjauhkan kita untuk berfikir Islam.

Sosok Buya Hamka yang teguh berpolitik dengan berpegang nilai-nilai Islam seharusnya dicontoh, khususnya para politisi dewasa ini. Dengan begitu bisa dipastikan bahwa tidak akan da lagi yang namanya politik sebagai sesuatu hal yang kotor.

 

Sumber :

[1] Gagasan Hamka tentang prinsip-prinsip Negara menurut perspektif islam, lihat Hamka, Islam Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984

[2] Hamka, Antara Fakta dan Khayalan Tuanku, bulan bintang, Jakarta, 1974,h 13

[3] Hakim, Ahmad dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politk Hamka, (Yogyakarta: UII Press,2005), hlm 79

[4] Prof. Dr. Hamka. 2015. Dari Hati Ke Hati. Jakarta: Gema Insani.

Dawamun Niam Alfatawi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *