Jawaban atas Kejahatan dan Penderitaan Negara yang Meresahkan Rakyat

 Jawaban atas Kejahatan dan Penderitaan Negara yang Meresahkan Rakyat

Gus Dur dan polemik teodisi di Negeri (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Di masyarakat, kita kerap menemui ragam kejahatan dan penderitaan. Sekian perbuatan seperti merampok, mencuri, mencaci, sampai menghilangkan nyawa membuat banyak manusia resah.

Di samping itu, kejahatan juga memicu munculnya penderitaan, terutama bagi mereka-mereka yang posisinya sebagai korban. Bagi pelaku mungkin timbul penyesalan usai perbuatan itu dilakukan.

Sekian solusi juga dilakukan guna meredam ragam kejahatan. Sebut saja denda, dimasukkan dalam bui, sampai dihukum mati. Pun begitu untuk mengatasi derita, solusi seperti bantuan untuk yang tidak mampu, pemberian lapangan kerja, pelatihan keterampilan, dan seabrek program lainnya telah diadakan.

Akan tetapi di luar solusi-solusi di atas, saya rasa ada persoalan lain yang juga penting berkaitan dengan itu yakni, di mana diri-Nya berada ketika kejahatan dan penderitaan itu datang? Jika Dia memiliki kasih sayang dan kuasa atas segalanya, lantas kenapa kejahatan dan penderitaan tetap ada, bahkan belakangan malah tumbuh subur?

Pertanyaan itu memantik pemikiran dari sejumlah tokoh dari lintas agama yang memberi penekanan bahwa sekian kejahatan dan penderitaan itu bukan datang dari-Nya, melainkan datang dari manusia itu sendiri. Sedangkan diri-Nya menjadi pusat dari segala kebaikan, keindahan, dan keistimewaan tanpa celah apalagi salah.

Polemik Teodisi dalam Negara

Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) filsuf Jerman yang memberi pembelaan pada Tuhan secara logis, sistematis, dan argumentatif dengan istilah teodisi. Teodisi sendiri berakar dari kata theo yang berarti Allah atau Tuhan, dan dike yang artinya keadilan.

Mengutip dari Franz Magnis Suseno di bukunya berjudul Menalar Tuhan (2013), teodisi didefinisikan sebagai adanya kejahatan dan penderitaan. Semua itu tampak sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Maha tahu, Mahakuasa, dan Maha baik, sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan.

Secara sekilas, kita melihat ada orientasi kebaikan di dalam teodisi itu sendiri. Sebab teodisi baik posisinya sebagai ilmu, pemahaman, atau diejawantahkan dalam gerakan memiliki upaya untuk mengingatkan manusia bahwa diri-Nya memang hamba, yang masih memiliki sekian banyak kekurangan.

Selain itu juga sebagai argumentasi guna melawan mereka yang mulai menegasikan keberadaan Tuhan. Mereka memiliki sekian alasan memilih untuk tidak beragama.

Ada yang karena memiliki pengalaman keberagamaan yang kelam, sehingga menilai agama menjadi semacam momok yang menakutkan. Ada juga yang menilai agama dengan ayat-ayat di dalam kitab sucinya belum mampu menjawab segala ragam tantangan dan problem yang terjadi hari ini. Mereka memilih memedomani dan bersandar pada sains.

Maka kita mungkin banyak menemui diantara mereka yang sebenarnya mengerti seperti apa agama itu sendiri, aturannya, kitabnya, dan seabrek nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Namun mereka memilih untuk tidak beragama berdasarkan dua tadi: pengalaman dan pembelajarannya pada sains.

Teodisi Hanya Alat

Kalau dicermati lebih jauh, teodisi ini juga dapat menjadi semacam alat pengesahan untuk menegakkan kekuasaan Tuhan di muka bumi. Pertanyaan mendasar seperti jika aturan manusia memang cenderung merugikan, lantas kenapa tidak kembali pada aturannya di dalam kitab suci?

Lebih jauh, jika demokrasi dan pancasila dalam konteks ke-Indonesiaan malah membuat banyak masyarakat berbuat jahat, semena-mena hingga memicu penderitaan kepada liyan.

Lebih lagi, mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam secara membabi buta, lantas kenapa tidak memedomani Alquran dan sunnah sebagai aturan hukumnya. Di posisi ini teodisi memiliki peran yang rawan untuk persatuan.

Padahal tafsir dari sila pertama pancasila juga memuat unsur-unsur teodisi. Masyarakat di negeri ini dimestikan beragama dan memilih di antara sekian agama yang ditawarkan. Bebas. Selama pemilihan dan memeluk agama itu berorientasi pada kebaikan.

Lantas bagaimana jika teodisi-teodisi yang diejawantahkan dalam gerakan, institusi, atau lembaga itu saling dan mengalami benturan? Bukankah teodisi itu memiliki orientasi yang baik bagi manusia beragama sebab membela Tuhan agar terhindar dari dugaan dan tuduhan berbuat jahat dan memicu derita?

Pandangan Gus Dur

Gus Dur dalam bukunya berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (2016) memberi jawaban sederhana yang didasarkan pada pertimbangan tasawuf.

Bahwa setiap manusia, baik individu maupun kelompok yang berprasangka baik dan berburuk sangka pada-Nya, tidak lantas berpengaruh pada wujud dan kekuasaan-Nya.

Hanya saja saya memberi pertimbangan tambahan berkaitan dengan konteks di mana teodisi dalam bentuk formalnya itu mau diterapkan.

Jika dalam konteks Indonesia, mengingat memiliki ragam budaya, agama, tradisi, dan seabrek kearifan lokal yang masih diugemi dan tumbuh subur, konsep teodisi yang tertuang dalam pancasila saya rasa sudah proporsional.

Di situ segala kemungkinan dapat masuk tanpa harus menegasikan yang lain, selama prinsip toleransi dijunjung tinggi. Pun begitu sebagai ikhtiar pembelaan Tuhan-jika memang perlu-juga sudah dimuat di dalamnya.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *