Jaringan Ulama dan Transformasi Keilmuan Islam di Indonesia
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kemunculan jaringan ulama Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah berkaitan erat dengan perkembangan hubungan antar kedua wilayah tersebut yang secara historis dapat dilacak pada masa awal kehadiran Islam di Melayu-Nusantara.
Sejak masa Sriwijaya, para pedagang dan pengembara muslim dari Timur Tengah telah mengunjungi kota-kota pelabuhan di Nusantara.
Meskipun para pedagang muslim sibuk dalam kegiatan perdagangan, mereka sedikit banyak terlibat dalam usaha mengenalkan Islam kepada penduduk yang mereka temui.
Perkembangan selanjutnya ad.alah abad ke-13, ketika kerajaan Islam mulai muncul dan berkembang di Nusantara, yang berjasa memperkuat intensitas hubungan antara kaum muslim Melayu Nusantara dan Timur Tengah.
Hubungan yang terjalin bukan ha nya dalam bidang ekonomi dan perdagangan, tetapi juga daiam bidang diplomatik, politik, dan keagamaan.
Jaringan ulama pada dasarnya memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan Islam, yang sering disebut rihlah ‘ilmiyyah (perlanan keilmuan).
Hal tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan para penganutnya untuk menuntut ilmu ke bagian dunia mana pun.
Tradisi tersebut secara historis bermula dari perjalanan keilmuan yang dilakukan para sahabat sepeninggal Nabi untuk mengumpulkan dan merekam hadis.
Dalam perkembangan lebih lanjut, perjalanan keilmuan tersebut bukan hanya menghasilkan kumpulan hadis Nabi, tetapi juga mendorong terbentuknya semacam “laringan” sahabat Nabi yang terlibat dalam usaha merekam, menghafal, dan mencatatkan hadis.
Ketika hadis telah terkumpul dan dibuktrkan dalam kumpulan hadis yang otoritatif, rihlah ‘ilmiyah tidak lagi terjadi dalam konteks pengumpulan hadis, tetapi juga dalam upaya menuntut ilmu dan mengembangkan Islam secara keseluruhan.
Peran Penting Jaringan Ulama Nusantara
Para ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya berpusat di Makkah dan Madinah, kemudian sebagian besar dari mereka kembali ke Nusantara.
Di sinilah mereka menjadi sumber yang memainkan peran penting dalam menyiarkan gagasan-gagasan pembaruan, baik melalui pengajaran maupun karya tulis.
Pembaruan Islam di Wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17 berorientasi pada tasawuf serta syariat.
Hal tersebut merupakan perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara karena Islam mistis mendominasi pada abad-abad sebelumnya.
Setelah belajar di timur tengah, para ulama Melayu-Indonesia sejak akhir abad ke-17 melakukan usaha-usaha untuk menyebarkan neo-sufisme di Nusantara.
Pada akhirnya hal tersebut mengakibatkan munculnya upaya-upaya rekontruksi sosio-moral masyarakat-masyarakat muslim.
Pembentuk hubungan jaringan tersebut sebenarnya sangat kompleks dan dapat dikategorikan menjadi dua, pertama, hubungan keilmuan antara ulama yang berfungsi sebagai guru dan murid, syaikh, mursyid ataupun khalifah.
Kedua, hubungan informal seperti hubungan ulama sebagai guru dengan muridnya yang mengalami perjumpaan yang relatif singkat namun guru tersebut memberi suatu keilmuan.
Jaringan ulama itu sendiri mencakup hubungan-hubungan yang rumit di antara para ulama dari berbagai dunia Muslim.
Karena kedudukannya yang utama dalam Islam, Makkah dan Madinah semakin menarik minat para ulama sejak abad kelima belas.
Sumber utama pengetahuan dan keilmuan Islam seperti berada di dua Mesjid Suci, Makkah dan Madinah (haramayn).
Madrasah dan ribath juga tumbuh pesat di kedua kota itu, yang sebagian besar di antaranya berdiri dengan wakaf yang berasal dari para penguasa atau kaum Muslim kaya di bagian-bagian lain dari Dunia Islam.
Madrasah dan ribath ini sangat besar sumbangannya bagi kebangkitan pengetahuan dan keilmuan Islam di Haramayn.
Banyak tokoh yang memainkan peranan penting dalam jaringan ulama yang pada mulanya datang ke Haramayn untuk menjalankan ibadah Haji atau mengajar, atau dua-duanya.
Sebagian menetap di sana dan mencurahkan tenaga mereka mengajar dan menulis. Bersama dengan para murid mereka, yang juga berasal dari banyak tempat yang jauh di dunia Islam, mereka membentuk suatu bentuk komunitas kosmopolitan di Haramayn.
Diantara ulama Indonesia yang masuk ke dalam jaringan ulama seperti ulama pada abad ke17 dan ke-18, seperti Nuruddin Ar-Raniri, Abdurra’uf As-Sinkili, Muhammad Yusuf Al-Maqqassari.
Pemikiran beliau berorientasi dalam bidang tasawuf dan fiqih (syariat), adalah penghayatan agama secara tasawuf dan pendekatan agama secara fiqih yang normatif.
Dalam mencari hubungan yang seimbang antara syariat dan tasawuf para ulama tersebut menyebarkan Neo-Sufisme di Nusantara untuk mendorong upaya-upaya serius kearah rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim.
Dua ciri paling penting dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama adalah telaah hadis dan tarekat. Melalui telaah hadis, para guru dan murid menjadi terikat satu sama lainnya, juga mengambil dari telaah hadis inspirasi dan wawasan mengenai cara memimpin masyarakat muslim menuju rekontruksi sosio-moral.
Hal ini mendorong tokoh dalam jaringan ulama untuk mendapatkan apresiasi yang lebih baik menyangkut hubungan yang seimbang antara syariat dan tasawuf.
Hal ini pada akhirnya mengakibatkan perubahan doktrin dalam tarekat yang kini lebih banyak tekanan pada penyucian pikiran dan perilaku moral melalui kepatuhan penuh kepada syariat dan bukan hanya pada penjelajahan mistik-filosofis.
Dalam dunia Melayu-Nusantara, memahami proses transmisi keilmuan Islam yang terjadi ini menjadi sangat penting karena segala menyangkut dunia Islam.
Akan tetapi wilayah ini dianggap sebagai pinggiran, tidak termasuk ke dalam mainstream sehingga ada kecenderungan para peneliti tentang Islam untuk tidak menyertakan wilayah Melayu-Nusantara dalam berbagai diskusi tentang Isiam, karena tidak memiliki tradisi Islam yang stabil.
Bahkan, Islam di wilayah ini tidak jarang dianggap sebagai ‘tidak asli’, berbeda dengan Islam di Timur Tengah sebagai ‘pusat’nya.
Jaringan ulama yang terbentuk dan berkembang bukan merupakan formal. Jaringan antara mursyid dan murid terjalin melalui tarekat yang bersifat longgar dan informal namun ikatan tersebut menjadi cukup solid dan efektif dalam mencapai tujuan keilmuan Islam khususnya, dan penyebaran Islam umumnya.
Kepaduan jaringan ulama ini semakin bertambah karena di kalangan ulama yang terkait oleh sebuah jaringan terdapat sejumlah pandangan dasar dan kecenderungan intelektual yang sama.
Pandangan dasar yang turut memperkuat kepaduan di antara rnereka berkenaan dengan rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim yang pada gilirannya memunculkan aktivisme pembaharuan IsIam.
Namun, penting ditambahkan bahwa pandangan keagamaan yang berkembang dalam jaringan ulama tidaklah monolitik dan seragam. Perbedaan tertentu terdapat di antara mereka, baik dari segi pemikiran maupun dalam gerakan.
Jaringan ulama umumnya terdapat pada seorang ulama atau lebih yang merupakan tokoh sentral yang memainkan peranan kunci dalam pembentukan dan perkembangan jaringan intelektual yang ada.
Wibawa keilmuan tokoh tersebut merupakan salah satu faktor terpenting bagi terbentuknya sebuah jaringan atau lebih.
Ini bermula dengan kedatangan para murid atau ulama lain yang ingin belajar atau menuntut ilmu kepada tokoh tadi.
Meski melewati sejarah yang amat panjang, namun []