Jamasan Gamelan Sekaten Keraton Kasepuhan Cirebon Menjelang Idul Adha
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Islam masuk ke Indonesia dengan mengakomodasi tradisi dan budaya yang berkembang pada zamannya.
Berbagai budaya yang pada mulanya bertentangan dengan ajaran Islam tidak begitu saja dipertentangkan atau bahkan dilarang.
Cerdiknya para pendakwah dulu menjadikan hal tersebut sebagai media menyebarkan Islam, yakni dengan memodifikasi bungkus dan mengubah substansinya.
Hal demikian juga terjadi di Kota Cirebon, sebuah kota yang terletak di ujung timur bagian utara Jawa Barat.
Kota yang terletak di dekat pantai utara ini tentu saja memiliki tradisi dengan kebahariannya.
Dengan empat keraton yang sampai saat ini masih berdiri, berbagai tradisi juga masih terus dilestarikan hingga saat ini.
Berbagai tradisi masih dilestarikan di wilayah keraton-keraton Cirebon, seperti upacara panjang jimat, azan pitu, jamasan benda pusaka, sekatenan, dan sebagainya.
Upacara panjang jimat rutin diselenggarakan setiap tanggal 12 Rabiulawal malam.
Jamasan benda pusaka dilakukan pada waktu-waktu tertentu, azan pitu rutin dikumandangkan setiap hari menjelang salat Jumat, dan sekatenan (gamelan sekaten) digelar setiap menjelang Idulfitri dan Iduladha.
Gamelan sekaten ini disimpan di dua keraton, yakni Kasepuhan dan Kanoman. Lain dengan Keraton Kasepuhan, gamelan sekaten di Keraton Kanoman justru ditabuh pada saat maulid Nabi saw, yakni 12 Rabiulawal.
Tradisi Gamelan Sekaten di Keraton Kasepuhan
Cirebon yang dijuluki sebagai “kota wali” ini tidak lepas dari peradaban Islam di tanah Jawa.
Sebab itu, Cirebon menjadi salah satu destinasi “wisata reliji” yang ada di Indonesia.
Proses islamisasi di Cirebon tidak terlepas dari peranan Sunan Gunung Jati. Ia menyebarkan ajaran Islam dengan luwes.
Salah satu media dakwah yang digunakannya saat itu adalah Gamelan Sekaten yang kini masih disimpan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman.
Walaupun sudah ratusan tahun usianya, namun hingga kini keberadaannya masih diwariskan secara turun temurun di kalangan keluarga maupun kerabat keraton.
Sekaten merupakan istilah yang sudah populer, terutama di kalangan masyarakat Jawa, termasuk dalam hal ini adalah Cirebon.
Gamelan Sekaten biasa digelar di Keraton Kasepuhan menjelang Idulfitri dan Iduladha.
Sulendraningrat dalam karyanya Sejarah Cirebon menyebutkan, istilah sekaten berasal dari kata “sekati” atau “sukahati”, yakni nama dari gamelan sebagai alat dakwah pertama yang dibawa ke Cirebon oleh Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati, istri Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II) sebagai kenang-kenangan setelah suaminya wafat.
Gamelan sekaten ini digunakan oleh Sunan Gunung Jati untuk melakukan dakwah. 600 tahun silam, Sunan Gunung Jati menabuh gamelan tersebut di tengah alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon.
Rupanya, suara gamelan tersebut memberikan daya tarik yang kuat kepada warga sekitar dan orang-orang yang melewati alun-alun tersebut.
Namun, untuk menonton pertunjukan gamelan sekaten ini, orang-orang diwajibkan untuk membayar.
Bukan dengan uang, melainkan dengan kalimat syahadat. Sebab itu, sebagian besar orang mengatakan bahwa sekaten berasal dari syahadatain, yang artinya dua kalimat syahadat.
Jawa, termasuk Cirebon merupakan salah satu di antara kesuksesan para wali dalam melaksanakan syiar Islam dengan media gamelan tersebut.
Gamelan Sekaten yang masih terjaga di Keraton Kasepuhan tersebut akan dicuci langsung oleh keturunan raja keraton, kemudian dijemur di tempat khusus yang disebut Siti Inggil.
Setiap tahun, gamelan tersebut dibersihkan dengan menggunakan abu batu bata dan serabut kelapa.
Penyucian benda pusaka seperti halnya gamelan sekaten ini disebut sebagai jamasan.
Dalam waktu dekat ini, tentu saja gamelan sekaten akan ditabuh pada Hari Raya Iduladha usai pelaksanaan salat Ied. []