Jamaah Islamiyah dan Cerita Batalnya Manchester United ke Indonesia

Jamaah Islamiyah dan Cerita Batalnya Manchester United ke Indonesia (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarata – Klub sepakbola asal Inggris, Manchester United (MU) tahun 2022 ini kembali menjalani lawatan pra-musim ke Asia Tenggara.
Kali ini negara yang beruntung menjadi tempat persinggahan skuad Erik Ten Hag adalah negeri gajah putih, Thailand.
Di Asia Tenggara, Thailand menjadi negara kesekian yang pernah didatangi oleh Manchester United. Sebelum ke Thailand, MU pernah ke Malaysia dan Singapura.
Indonesia belum pernah sama sekali dikunjungi oleh Manchester United. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara dengan basis pendukung MU terbesar di dunia.
Sebenarnya dulu pada tahun 2009 Indonesia pernah masuk radar untuk dikunjungi MU.
Kala itu, Manchester United dijadwalkan akan bertanding melawan Indonesia all stars di Gelora Bung Karno (GBK) pada 19 Juli 2009.
Panitia pelaksana telah menjual tiket kurang lebih sebanyak 77.600 lembar. Dengan jumlah tiket sebesar itu, diprediksi GBK akan penuh sesak oleh penonton apabila MU memang benar-benar hadir di sana.
Namun, pada tanggal 17 Juli 2009 atau dua hari sebelum kedatangan pasukan Sir Alex Ferguson (Fergie) ke Jakarta, Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton yang merupakan tempat menginap skuad MU selama di Indonesia di bom oleh para teroris.
Sembilan orang dilaporkan tewas dengan enam di antaranya adalah turis asing dan 50 orang dilaporkan luka-luka.
Akibat peristiwa tersebut, tanpa perlu pikir panjang MU langsung membatalkan kunjungannya ke Indonesia dengan alasan keamanan.
Meskipun telah dilobi oleh berbagai pihak agar mereka tetap datang ke Indonesia, Fergie tetap bersikukuh untuk membatalkan lawatannya ke Indonesia.
Setelah tragedi Marriott dan Ritz Carlton, praktis Indonesia hampir tidak pernah masuk dalam agenda resmi MU apabila tur Asia.
Jika ke Asia Tenggara, negara yang dikunjungi umumnya hanya Malaysia, Singapura, dan Thailand. Indonesia seperti masuk blacklist dari radar MU hingga hari ini.
Pelaku bom Marriot dan Ritz Carlton sendiri adalah Dani Dwi Permana asal Bogor dan Nana Ikhwan Maulana asal Pandeglang.
Keduanya merupakan bagian dari jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI) yang didirikan oleh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Ketika Marriott dan Ritz Carlton dibom, tampuk kepemimpinan JI diambil oleh Noordin M. Top.
Noordin bersama ahli perakit bom Dr. Azhari ialah dua teroris berkebangsaan Malaysia yang menjadi dalang dalam berbagai tindakan teror di Asia Tenggara. Kedua orang ini menjadi buronan berbagai negara akibat aktivitas terornya.
Noordin M. Top dan Dr. Azhari sama-sama telah tewas. Dr. Azhari tewas pada 9 November 2005 di Malang. Sedangkan Noordin tewas pada 17 September 2009 di Solo setelah terlibat baku tembak dengan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Anti Teror Mabes Polri.
Setelah Noordin dilumpuhkan, pengaruh JI melemah dan berdampak pada terpecah belahnya gerakan JI ke dalam beberapa kelompok.
Sekilas Tentang JI dan Jaringan Terorisme di Indonesia
JI berdiri di awal tahun 1990-an. Awal mula berdirinya JI tidak bisa dilepaskan dari konteks munculnya friksi di tubuh Darul Islam (DI) warisan S.M Kartosuwiryo.
Sungkar dan Baasyir pada mulanya merupakan aktivis DI. Namun karena gesekan terkait visi perjuangan di internal DI, keduanya memutuskan keluar dan membentuk JI sebagai alat perjuangan baru.
Dalam sejarah terorisme di Indonesia, JI terbilang kelompok senior dan memainkan peran yang cukup signifikan.
Hampir seluruh peristiwa teror yang terjadi di awal tahun 2000-an tidak ada yang tidak berkaitan dengan JI. Dari bom Natal 2000, bom Bali 2002 dan bom JW Marriot 2003 adalah sebagian bukti bagaimana sepak terjang JI di Indonesia.
JI di masa jayanya adalah organisasi teror mematikan di Asia Tenggara. Daya jangkaunya tidak hanya di Indonesia, tapi meluas hingga Philipina dan Thailand.
JI bersama Al-Qaeda menjadi duet kelompok teror menakutkan di dunia. Berbagai peristiwa teror yang terjadi di berbagai belahan dunia selama periode 2000-an menjadi wujud bagaimana brutalnya tindakan kedua kelompok ini.
JI dan Al-Qaeda tidak memiliki hubungan struktural. Keduanya terpisah satu sama lain. Keduanya dihubungkan dengan visi dan model perjuangan yang sama-sama menggunakan kekerasan, entah berupa kontak tembak atau bom.
Keduanya juga sama-sama bercita-cita untuk menghancurkan supremasi negara-negara barat yang selama ini dianggap sering menindas umat Islam.
Itulah sebabnya target kedua kelompok ini sama-sama simbol-simbol negara barat beserta orang-orang di dalamnya.
Selain itu, JI dan Al-Qaeda menurut Salahudin dalam NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (2011) sama-sama berideologi salafy jihadi.
Ideologi ini dibangun dari ajaran salafi yang berkiblat pada Muhammad bin Abdul Wahab dan Sayyid Qutb.
Ajaran Abdul Wahab mengenai puritanisme ajaran Islam dari berbagai bentuk TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat) bertemu dengan gagasan jihad ala Sayyid Qutb yang nantinya melahirkan ideologi salafi jihadi yang dikenal kaku, tekstual, dan pro kekerasan terhadap siapapun yang berbeda pandangan dengan mereka.
Kesamaan visi, ideologi, dan model perjuangan inilah yang nantinya membuat kedua kelompok ini dalam titik tertentu seringkali saling membantu sama lain.
Salahudin menjelaskan bahwa di awal-awal pendiriannya, Sungkar dan Baasyir seringkali berkonsultasi dengan Osama bin Laden selaku pimpinan Al-Qaeda.
Sungkar juga sering meminta bantuan kepada bin Laden terkait operasional JI, entah yang bentuknya finansial, logistik, hingga persenjataan atau militer.
Menurut Salahudin, hubungan baik yang tercipta antara pimpinan JI dengan Osama kalau dilacak sebenernya telah terjalin jauh sebelum JI terbentuk.
Pada tahun 1985, ketika Sungkar dan Baasyir masih aktif di DI, keduanya pernah mengirim anak-anak muda dari berbagai pelosok tanah air untuk ikut kamp mujahidin milik Osama di Afghanistan.
Tujuan pengiriman ini sendiri adalah guna membantu para mujahidin Afghanistan melawan dan mengusir Uni Sovyet.
Amrozi dan Imam Samudera yang merupakan pelaku utama bom Bali 2002 ialah contoh anak muda yang dikirim berlatih di kamp militer milik Osama.
Bekal militer yang didapat selama di Afghanistan inilah yang nantinya menjadi bekal aktifitas teror mereka di Indonesia.
Hubungan yang telah terjalin ketika di DI itulah yang menjadi pondasi keterkaitan antara JI dengan Al-Qaeda di masa mendatang.
Meski keduanya terpisah secara geografis, tapi saling bahu membahu dalam mewujudkan agenda masing-masing.
Setelah Noordin M. Top tewas, aktivitas teror JI terhitung meredup di tanah air. Selain karena faktor pengawasan aparat keamanan yang semakin kuat, faktor tiadanya pemimpin yang bisa diterima semua aktivis JI menjadi penyebab mengapa sepak terjang JI perlahan-lahan melemah.
Lima tahun terakhir, nama JI relatif tidak banyak disinggung apabila terjadi tindakan teror. Yang disebut dan dikaitkan justru kelompok lain macam Jamaah Anshorut Tauhid dan Jamaah Anshorut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS tiap kali ada peristiwa teror.
Hal itu menjadi bukti bagaimana pengaruh JI yang semakin mengecil di kalangan para teroris di Indonesia.
Meski pengaruhnya melemah, pada kenyataannya JI tetap ada dan beraktivitas seperti biasa. Hal itu dibuktikan dengan penangkapan Wijayanto yang tak lain adalah pemimpin JI oleh Densus 88 pada 2019.
Diciduknya Wijayanto menjadi tanda bahwa JI masih eksis sebagai gerakan teror. Pengaruh JI memang melemah, tapi sewaktu-waktu mereka bisa kembali muncul dan melakukan tindakan teror seperti dulu.
Untuk itulah, semua pihak harus waspada dan bersiap apabila tiba-tiba terjadi tindakan teror di sekeliling kita. Para teroris masih ada dan masih mengancam kehidupan kita.
Walaupun tingkat ancamannya tidak seperti 15 tahun lalu ketika para teroris sedang ada di masa kejayaan.
Terorisme dengan segala bentuknya ditolak dari kehidupan keseharian. Selain karena menciderai nilai-nilai kemanusiaan, terorisme pada titik lain berdampak pada segala sendi kehidupan.
Dugaan di-blacklistnya Indonesia dari agenda resmi Manchester United selama ini menjadi contoh bagaimana terorisme bahkan juga berefek pada dunia sepakbola.
Hal semacam ini sudah lebih dari cukup untuk menolak segala bentuk terorisme di Indonesia.