Ja’far bin Abi Thalib Sepupu Rasulullah
HIDAYATUNA.COM – Semalam aku masuk ke dalam surga. Aku melihat Ja’far di dalamnya sedang terbang bersama para malaikat, sabda Nabi saw. Ja’far bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah, saudara kandung Ali bin Abi Thalib ra. Ja’far, sangat mirip dengan Rasulullah dalam hal tingkah laku dan bentuk tubuh. Dia memeluk agama Islam tak lama setelah Ali bin Abi Thalib masuk Islam.
Ketika Rasulullah menampakkan dakwahnya, mulailah cobaan dan tekanan menyelimuti dakwah ini. Orang-orang Quraisy ingin mengubur dakwah Nabi sejak dini. Karena itulah, Nabi mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) pada tahun ke 5 setelah kenabian.
Pada bulan Rajab di tahun itu, berangkatlah rombongan pertama untuk berhijrah, yang saat itu beranggotakan 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita. Ketika siksaan dan cobaan kian hari kian bertambah, Nabi kembali mengizinkan rombongan ke dua untuk berhijrah ke sana.
Kali ini, rombongan itu beranggotakan 83 orang laki- laki dan 18 atau 19 orang wanita, belum termasuk anak-anak mereka yang masih kecil. Di antara para muhajirin tersebut terdapat Ja’far (sang penerbang).
Ketika mereka sampai ke negeri Raja Najasyi dalam keamanan, kesejahteraan dan kedamaian, orang-orang kafir marah. Mereka iri dan dengki melihat kaum muslimin mendapatkan tempat yang aman dan sejahtera.
Maka mereka memilih dua orang juru runding yang paling hebat, yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabijah (sebelum keduanya masuk Islam). Mereka datang dengan membawa bermacam-macam hadiah dan uang sogok untuk Raja Najasyi dan para pembesar- pembesar agama Nasrani di negeri itu.
Setelah mereka sampai untuk menyerahkan hadiah dan uang sogok itu kepada para pembesar agama Nasrani, mereka meminta untuk mengusir kaum muslimin yang ada di negeri itu.
Mereka juga mengatakan bukti-bukti palsu dalam menjelek-jelekan kaum muslimin yang sebenamya mereka sangat takut kalau kaum muslimin dapat berbicara di hadapan Raja Najasyi, karena menurut mereka kata-kata kaum muslimin itu seperti sihir.
Setelah para pembesar agama Nasrani itu setuju dengan permintaan mereka berdua, Amr dan Abdullah baru berani menemui Raja Najasyi dan tak lupa mereka menyampaikan terlebih dahulu hadiah kepadanya.
Lalu mereka berdua berkata “Wahai raja yang agung, ada beberapa orang bodoh yang datang kenegeri engkau, mereka telah keluar dari agama kaum mereka dan mereka juga tidak memeluk agama engkau”.
Akan tetapi, mereka malah membawa agama baru yang mereka buat sendiri, kami sendiri tidak tahu agama apa itu apalagi engkau. Raja Najasyi berkata “Agama apa yang menyebabkan kalian keluar dari agama nenek moyang dan juga tidak memeluk agamaku?
Ja’far bin Abi Thalib yang menjadi juru bicara kaum muslimin berkata, “Wahai Raja Najasyi, kami sebelumnya adalah kaum yang bodoh, kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutuskan silaturahmi, mengganggu tetangga, yang kuat menindas yang lemah, itulah perbuatan kami dahulu.
Sehingga pada suatu ketika Allah mengutus seorang Rasul, kami mengenal nasab keturunannya dan kejujurannya, amanah dan kebaikan akhlaknya. Rasul mengajak kami untuk menyembah Allah dan mengesakan-Nya. Dia mengajak kami untuk meninggalkan segala apa yang disembah oleh nenek moyang kami dari batu dan berhala.
Dia memerintahkan kepada kami untuk melaksanakan salat, membayar zakat dan berpuasa. Kami percaya dan kami membenarkan apa yang dia sampaikan dan kami mengikuti segala apa yang dibawanya dari perkara-perkara agama. Kami menyembah hanya kepada Allah dan karmi tidak pernah menyekutukan-Nya dengan apa pun.
Raja Najasyi berkata “Apakah engkau mau menyampaikan sedikit dari apa yang datang dari Allah itu? Jafar menjawabnya dengan ramah “Tentu, dengan senang hati Raja”. Tolong sampaikanlah kepadaku “kata Raja Najasyi siap untuk menyimak”.
Maka Ja’far membaca awal dari surah Maryam. Ini menunjukkan begitu besarnya pemahaman yang dimiliki oleh Ja’far. Ketika Raja Najasyi mendengar lantunan ayat yang dibacakan oleh Ja’far ra. dia menangis sampai janggutnya basah. Para pembesar agama Nasrani pun ikut menangis sehingga buku-buku yang mereka pegang basah.
Raja Najasyi bertanya kepada para pembesar itu, “Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh Isa adalah sama dan datang dari sumber yang sama pula. Lalu dia berkata kepada Amr dan Abdullah “Pergilah kalian, aku tidak akan menyerahkan kaum muslimin kepada kalian, tidak akan pemah” Amr bin Ash berbisik kepada temannya sebentar lalu keduanya keluar.
Kaum muslimin saat itu kaget dengan pertanyaan itu, namun akhirnya mereka kembali sepakat untuk mengatakan yang benar apa adanya. Ketika mereka sampai di istana Raja Najasyi dan telah berhadapan dengannya, Raja Najasyi langsung bertanya tentang Isa Al-Masih.
Ja’far menjawab “Kami akan katakan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi kami saw. Isa Al-Masih adalah hamba Allah, rasul-Nya, roh yang ditiupkan- Nya dan kalimat-Nya yang telah diberikan Maryam. Tiba-tiba, Raja Najasyi mengambil sebatang ranting di tanah dan berkata “Demi Allah, inilah yang sebenarnya yang tentang Isa bin Maryam, seperti aku mengatakan ini adalah ranting.
Kemudian Raja Najasyi berkata kepada kaum muslimin “Keluarlah kalian, kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, dia akan binasa. Siapa saja yang menyakiti kalian, dia akan celaka dan siapa yang menzalimi kalian, dia juga akan celaka. Aku tidak akan rela dan senang dengan mendapatkan gunung emas, jika salah seorang dari kalian tersakiti”.
Raja Najasyi kembali berkata kepada para pembesar yang ada di sekelilingnya, “Kembalikan semua hadiah yang diberikan oleh kedua orang ini. Aku tidak memerlukan itu semua. Demi Allah, Allah tidak pernah mengambil uang sogokan ketika Dia memberikan kerajaan ini kepadaku. Jika aku mengambil uang sogokan, tidak ada seorang pun dari rakyatku yang patuh kepadaku”.
Ummu Salamah yang mengabarkan cerita ini berkata “Maka kedua orang itu berlalu dari hadapan Raja Najasyi dengan penuh kekalahan dan kehinaan. Dan kami hidup di negeri itu dalam keamanan dan kedamaian, dengan rumah dan tetangga yang baik”.
Ja’far bin Abi Thalib tetap berada di negeri Habasyah (Etiopia) sambil berdakwah dengan kata-kata dan perbuatan nyata, sehingga dia menemui Nabi pada Peperangan Khaibar tahun ketujuh Hijriah.
Pada bulan Jumadil Awal tahun kedelapan Hijriah, Nabi saw. mengirim Ja’far sebagai komandan pasukan kedua setelah Zaid bin Haritsah untuk menyerbu Romawi. Ketika mereka sampai di Takhum Al-Balqa sebuah tempat dekat Mu’tah di negeri Syam, Zaid bin Haritsah mengambil panji kebesaran dan memerintahkan untuk berperang. Saat itu dia terbunuh.
Kemudian, panji itu diambil alih oleh Ja’far yang telah siap untuk mengorbankan jiwa raganya demi Allah. Sambil berperang dia berkata: “Dekatnya surga, harum, sejuk, dan tawar airnya. Romawi seperti penyakit, sudah dekat azabnya. Mereka kafir dan jauh dari kebaikan”.
Ja’far berperang hingga tangan kanannya putus panji kebesaran pun terjatuh. dengan tangan kirinya dia mengambil panji itu, hingga akhirmya tangan itu pun terputus. Panji itu lalu dipeluknya dengan pergelangan tangannya (dekat pundak). hingga akhirmya dia pun tewas.
Ada orang yang mengatakan bahwa seorang tentara Romawi menebaskan pedangnya hingga membelah tubuh Ja’far menjadi dua bagian. Maka Allah menggantikannya dengan dua sayap di dalam surga yang dia dapat terbang ke mana saja.
Karena itulah Ja’far mendapat gelar dengan “Sang Penerbang Rasulullah bersabda: “Aku melihat Ja’far bin Abi Thalib menjadi seperti malaikat yang bisa terbang dengan dua sayap di dalam surga ke mana saja dia mau, bersama para malaikat lainnya.
Sumber: 30 Nama Penghuni Surga, Dr. Musthofa Murad