Isyarat Pendirian Pondok Pesantren Nurul Jadid

 Isyarat Pendirian Pondok Pesantren Nurul Jadid

HIDAYATUNA.COM – Pondok Pesantren Nurul Jadid Karanganyar Paiton Probolinggo Jatim berdiri ditempat yang sebelumnya bernama Tanjung. Nama ini diambil dari nama sebuah pohon besar yang bernama Tanjung. Bukan hanya itu bunganya yang tumbuh dari pohon itu dinamai bunga Tanjung. Pohon besar tersebut berdiri tegak di tengah-tengah desa itu sejak zaman dulu. Kemudian pula masyarakat setempat menganggap pohon Tanjung mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak heran, nama pohon itu diabadikan sebagai nama desa.

Karanganyar sendiri adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Paiton. Sebuah desa kecil yang berada sekitar 30 km ke arah timur Kota Probolinggo Jawa Timur. Pada mulanya sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Itu karena karena Karanganyar masih merupakan hutan kecil yang banyak dihuni binatang buas.

Sementara kehidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan. Mereka menganut kepercayaan yang lebih mendekati Animisme dan Dinamisme. Hal itu terlihat jelas misalnya dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka.

Pada mulanya sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Itu karena karena Karanganyar masih merupakan hutan kecil yang banyak dihuni binatang buas. Sementara kehidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan. Mereka menganut kepercayaan yang lebih mendekati Animisme dan Dinamisme. Hal itu terlihat jelas misalnya dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka.

Kenyataan lainnya adalah adanya upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan. Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut.

Salah satu ritual itu dilakukakn ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Yaitu beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral.

Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang kepala kerbau. Itu karena Tanjung juga terletak tak jauh dari laut. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Karanganyar sangat terbelakang. Mereka belum mengenal peradaban baru sama sekali. Hal itu terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat Pekerja Seks Komersial (PSK).

KH Zaini Mun’im setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah KH. As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH. Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin.

Daerah yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH. Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Karanganyar.

Disamping itu, isyarat lainnya juga mengarah ke Desa Karanganyar. Pertama, ketika KH Zaini Mun’im mengambil contoh tanah di Desa Karanganyar, tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu sebagai isyarat jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar, maka akan banyak santrinya.

Kedua, isyarat yang datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika beliau mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Karanganyar, beliau berkata kepada kusir dokarnya, “di masa mendatang, jika ada kyai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini (Desa Karanganyar), maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya.

Ketiga,adalah isyarat dari alam itu sendiri, di mana kondisi tanahnya yang bagus dan masalah air tidak menjadi masalah. Di samping itu Desa Karanganyar merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.

Kedatangan KH Zaini Mun’im pada tanggal 10 Muharram 1948 di desa Karanganyar, awalnya tidak bermaksud untuk mendirikan Pondok Pesantren. Tapi beliau mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda, dan beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta untuk bergabung dengan teman-temanya.

Sebenarnya, cita-cita KH Zaini Mun’im dalam menyiarkan agama Islam akan beliau salurkan melalui Departemen Agama (Depag). Namun, niat itu menemui kegagalan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, beliau mendapat titipan (amanat) Allah berupa dua orang santri yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua orang tersebut bernama Syafi’uddin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifuddin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo.

Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itulah beliau menetap bersama kedua santrinya.

Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo, karena waktu itu beliau memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura.

Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena beliau menurut Belanda, mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan mereka (penjajah Belanda).

Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima.

Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di Pondok Pesantren Nurul Jadid sekitar 30 orang di bawah bimbingan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki oleh KH Sufyan, beliau dengan muda membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.

Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH. Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar sampai terlihat seperti sekarang ini.

Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia).

Nama pesantren yang terkenal dengan Pondok Pesantren Nurul Jadid, bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama ‘Nurul Jadid’. Namun pada saat itu pula, KH Zaini Mun’im menerima surat dari Habib Abdullah bin Faqih yang isinya memohon agar pesantrennya diberi nama ‘Nurul Hadis’.

Dengan adanya dua nama yang diajukan oleh KH Baqir dan Habib Abdullah bin Faqih antara ‘Nurul Jadid’ dan ‘Nurul Hadis’, maka KH Zaini Mun’im memilih nama ‘Nurul Jadid’ untuk diabadikan sebagai nama pesantrennya. Ternyata nama itu cukup berarti dalam dinamika perkembangan zaman. Sebab kiprah Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah diakui oleh berbagai pihak. Terutama dalam kepeduliannya ikut menciptakan manusia seutuhnya.

Beliau merupakan pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo Jawa Timur. Dilahirkan sekitar tahun 1906 M di Pamekasan-Madura dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidah. Kalau diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah Saw. melalui Bendoro Sa’ud (pemimpin kerajaaan ke 29). Banyak pesantren yang beliau singgahi. Banyak kyai yang beliau dekati, di antaranya:

  • KH. M. Kholil dan KH. Muntaha di PP Pademangan Bangkalan-Madura
  • KH. Abdul Hamid, dan putranya KH. Abdul Madjid di PP Banyuanyar-Pamekasan,
  • KH. Nawawi di PP Sidogiri-Pasuruan
  • KH. Hasyim Asy’ari, KH. Maksum bin Kuaron dan KH. Wahid Hasyim di PP Tebuireng-Jombang
  • KH. Syamsul Arifin (Abahnya K.H. As’ad Syamsul Arifin) di PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo-Situbondo.
    Terakhir beliau mondok di Mekah (1928) setelah haji. Beliau menetap selama 5 tahun di Mekah dan di Madinah selama 6 bulan. Masyayikhnya sewaktu di sana, di antaranya KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta), Syekh Umar Hamdani AI-Maghribi, Syekh Alwi Al Maliki (Mufti Maliki di Mekah), Syekh Sa’id Al-Yamani (Mufti Syafi’i di Mekah), Syekh Umar Bayunid (Mufti Syafi’i di Mekah), Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As-Singkiti (Mauritania).

Sumber:

  • Perkembangan Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, wiyonggoputih.blogspot.com
  • Pendiri Ponpes Nurul Jadid Paiton, datdut.com
  • Sejarah berdirinya Ponpes Jadid, nuruljadid.net

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *