Istinbat Hukum Maulid Nabi

 Istinbat Hukum Maulid Nabi

Istinbat Hukum Maulid Nabi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Istinbat penggalian hukum islam dari sumber-sumbernya. Ini adalah prosedur standar dalam dunia fikih untuk menyikapi fenomena baru yang terjadi.

Apabila ini dibuang, maka akan ada banyak kekosongan hukum terhadap fenomena yang tidak terjadi di masa Rasul.

Para pakar hukum sejak masa sahabat, masa imam mazhab, hingga kini, selalu memakai istinbat untuk menyikapi persoalan yang dihadapi di masa mereka.

Fenomena baru tidak dapat serta-merta disimpulkan sebagai hal haram sebab namanya tidak dikenal di masa lalu, tapi perlu ditelisik berbagai aspeknya.

Demikian juga yang disebut dalil tidak sebatas apa yang secara literal di sebut dalam Al-Qur’an dan hadis atau secara literal dikenal di masa awal islam, tapi bisa juga berupa dalil umum yang dapat dijadikan cantolan.

Ada pun orang awam dalam fikih, baik itu orang awam yang berbaju biasa mau pun orang awam dalam fikih tapi berbaju ulama, maka cenderung mengabaikan istinbat sehingga hanya tahu hukum sunnah dan hukum bid’ah.

Padahal istilah sunnah dan bid’ah sama sekali bukan salah satu hukum taklifi.

Mengabaikan istinbat sama dengan mengabaikan perkembangan ilmu fikih dan membuat seolah ajaran islam membeku dalam praktek yang ada di masa awal saja.

Dengan istinbat, suatu fenomena baru dapat diketahui status hukum taklifi-nya; apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

Salah satu dari lima status ini harus ada pada setiap kejadian/fenomena.

Status ini bukan ditetapkan dengan suka atau tidak suka atau semata karena tidak tahu dalilnya, tapi harus dengan dalil yang tepat dan parameter yang ketat.

Misalnya untuk memberikan status haram, maka harus ada larangan jelas dari Syari’, ada celaan berat dari Syari’ seperti laknat misalnya.

Ada ancaman dari Syari’ bagi pelakunya baik di dunia mau pun di akhirat, ada unsur pertentangan yang tidak dapat dikompromikan dengan ajaran yang sudah jelas, tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehannya sama sekali pada semua kasus, dan seterusnya yang disebutkan dalam kitab ushul fikih.

Kalau parameter pemberian status haram ini tidak terpenuhi, maka fenomena baru tersebut tidak dapat diberi status haram.

Demikian juga dengan status makruh, mubah, makruh dan haram, punya parameternya tersendiri.

Tentang perayaan maulid misalnya, fenomena ini baru ada belakangan, tapi para ahli fikih menyikapinya dengan istinbat sehingga hukum taklifinya jelas.

Setidaknya ada dua hasil istinbat yang dikenal soal ini, yakni:

1. Mengiaskan maulid dengan puasa sunnah hari senin berdasarkan kesamaan antara keduanya.

Kesamaannya adalah sama-sama sebagai perwujudan rasa syukur atas lahirnya Nabi Muhammad.

Hadis yang menyebutkan tentang kesunnahan puasa Senin dan alasan disyariatkannya adalah hadis sahih.

Persamaan motif antara pelaksanaan puasa senin dengan pelaksanaan maulid sama serta tidak memenuhi semua parameter untuk disebut haram atau makruh sehingga tidak mungkin disebut bid’ah, maka hasil akhirnya adalah status hukum maulid merupakan sunnah.

Ini adalah istinbat yang dilakukan oleh Amirul Mukminin dalam bidang hadis, yakni Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.

Prosedur istinbat ini sudah memenuhi semua syarat sehingga dapat diterima.

Hanya saja langkah qiyas terhadap puasa senin punya satu keterbatasan, yakni waktu pelaksanaannya harus sama.

Sebab puasa senin harus persis di hari senin, maka memperingati tanggal kelahiran Nabi tentu juga harus persis di tanggal 12 Rabiul Awal.

Ini membuat istinbat model pertama ini kurang fleksibel dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Sudah maklum bahwa masyarakat menyelenggarakan maulid tidak selalu di tanggal 12, tapi kebanyakan di tanggal lain bahkan 1-2 bulan setelah Rabiul Awal sebab ini bukan hari raya seperti Idul Fitri atau Idul Adha.

2. Menjadikan maulid sebagai perwujudan rasa syukur dan ungkapan kegembiraan yang memang sunnah dilakukan. Dasarnya adalah ayat berikut:

قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَ ٰ⁠لِكَ فَلۡیَفۡرَحُوا۟ هُوَ خَیۡرࣱ مِّمَّا یَجۡمَعُونَ

Artinya:

“Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Yunus ayat 58)

Ayat tersebut jelas memerintahkan untuk bergembira atas rahmat Allah.

Di dalil-dalil lain disebutkan secara jelas bahwa rahmat terbesar bagi umat Islam, bahkan bagi seluruh alam adalah keberadaan Nabi Muhammad.

Dengan demikian, melakukan sesuatu yang tidak melanggar syariat dalam rangka bergembira atas kelahirannya adalah sesuatu yang disyariatkan, lebih spesifiknya disunnahkan.

Apalagi maulid hanya nama acara, sama sekali bukan sebuah ritual ibadah baru.

Isinya hanya bershalawat bersama, mempelajari sejarah dan teladan Nabi secara bersama, berbagi makanan, dan berdoa.

Tidak ada satu pun dari isi peringatan maulid ini yang tidak disyariatkan secara bebas.

Bebas di sini artinya dapat dilakukan kapan pun di mana pun pada momen apa pun, artinya secara fikih juga bebas dilakukan dalam momen maulid.

Ini semua membuat maulid mustahil disebut bid’ah meskipun baru ada belakangan.

Istinbat model kedua ini adalah istinbat yang dilakukan hampir semua ulama muktabar dalam empat mazhab hingga kita dapati tidak ada satu pun pendapat resmi mazhab fikih yang melarang maulid.

Kalau pun ada, maka itu sekedar catatan khusus bagi perayaan maulid yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan syariat, semisal campur aduk laki-laki perempuan atau pertunjukan yang diharamkan.

Intinya, maulid sendiri tidak diharamkan tetapi unsur yang terlarang itulah yang harus dibuang.

Selain kedua model di atas, ada juga pendapat yang menyendiri dari sebagian tokoh.

Tapi saya secara pribadi ragu apakah itu dapat disebut sebagai istinbat sebab tidak berdasarkan analisis fikih yang standar.

Namun hanya karena memandang faktor kebaruan fenomena maulid itu sendiri lalu secara mudah menyimpulkan bahwa ia bid’ah.

Padahal tidak ada satu pun kriteria bid’ah yang terpenuhi pada esensi maulid.

Pokoknya tiba-tiba memvonis terlarang, tiba-tiba memvonis bahwa maulid adalah tradisi pemalas dan tukang makan dan seterusnya.

Sebagai contoh pendapat aneh ini adalah artikel yang ditulis oleh Syaikh Tajuddin al-Fakihani (734 H) yang berjudul al-Maurid Fi Amal al-Maulid.

Argumennya dimulai dengan pernyataan bahwa penulisnya tidak tahu dalilnya, tidak dinukil dari salaf, lalu tiba-tiba lahir kesimpulan bahwa maulid terlarang.

Dengan segala kealiman beliau, sayangnya beliau jatuh pada apa yang disebut sebagai the jumping conclusion bias atau kesalahan berpikir akibat tiba-tiba melompat pada kesimpulan prematur tanpa analisis data yang memadai.

Satu dua tokoh klasik lain semisal Syaikh Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh al-Fakihani.

Adapun ulama Wahabi-Taimiy di zaman kita, mereka hanya bertaklid pada pada tokoh-tokoh ini.

Beberapa di antaranya malah bukan hanya jatuh dalam the jumping conclusion bias, tapi mengada-ada untuk mengesankan Maulid pasti bertentangan dengan syariat.

Misalnya dengan menuduh meniru natalan, menuduh selalu ada pertunjukan maksiat dan banyak sebagainya.

Beberapa lainnya membuat narasi palsu seolah banyak ulama mazhab yang muktabar mengharamkan maulid sebab pernah kedapatan menyebutnya sebagai bid’ah.

Padahal bila sumber aslinya dibaca tuntas akan tahu bahwa yang dimaksud adalah bid’ah hasanah atau hal baru yang sejatinya bukan bid’ah secara syariat namun hanya disebut bid’ah dari segi bahasa sebab merupakan fenomena baru.

Sebab tidak melakukan prosedur istinbat secara benar, tokoh-tokoh anti maulid tidak mempunyai patokan yang jelas untuk menentukan status hukum taklifi dari fenomena baru yang lain.

Semisal tentang hukum membaca doa khatam al-Qur’an di dalam shalat tarawih setiap tanggal 27 Ramadhan.

Tentang hukum merayakan hari lahir negara dengan rangkaian acara yang termasuk di antaranya adalah berbagi makanan dan berdoa yang disertai rasa syukur.

Tentang hukum merayakan dan memperingati peran besar tokoh tertentu yang dilakukan secara rutin demi mengapresiasi jasanya, dan fenomena baru lainnya.

Seharusnya kalau konsisten hal ini seharusnya diharamkan juga tapi kenyataannya tidak diharamkan dengan alasan-alasan yang lemah.
Semoga bermanfaat. []

 

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *