Istilah Singo Mengkok dan Dakwah Sunan Drajat
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sunan Drajat (1470-1522) adalah salah seorang Wali Songo yang dalam dakwahnya memakai pendekatan budaya.
Di antaranya beliau menggunakan gamelan hingga batik sebagai media dakwahnya.
Uniknya, dalam sarana berdakwah, Sunan Drajat mengelaborasi budaya Jawa dan budaya Champa.
Garis keturunan menjadi faktor penting dalam menyatukan dua budaya dalam misi berdakwah.
Hal itu diungkapkan Adi Kusrianto dalam bukunya “Menelusuri Asal Usul Batik: Benang Merah antara Sejarah, Dongeng.”
“Sunan Drajat dalam syiarnya menggunakan media budaya, tanpa disengaja beliau juga memasukkan unsur budaya dari Champa (sekarang Vietnam), mengingat Sunan Drajad yang pada masa kecil bernama Raden Qosim masih memiliki darah Champa dari neneknya,” ucap Kusrianto, dikutip Rabu (09/11).
Menurut riwayat, Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel (Raden Rahmat alias Bong Swie Hoo).
Kakeknya Ibrahim Zainuddin Al-Akbar menikah de-ngan putri Champa yang bernama Jawa Dewi Chondro Wulan (putri Raja Champa terakhir dari Dinasti Ming.
Dalam mengajarkan Islam ke budaya Jawa, Sunan Drajat menggunakan simbol-simbol yang memudahkan penduduk setempat tempat.
“Sunan Drajat menjalankan dakwahnya dengan menampilkan karakter imajinasi Singo Mengkok,” jelasnya.
Karakter binatang mitologi yang memiliki bentuk badan mirip kijang (berkaki empat) dan berkepala naga serta badannya memiliki api ini memiliki kesamaan dengan karakter Killin atau Qilin (dianggap makhluk suci dalam legenda Tiongkok kuno).
Oleh karenanya, gamelan yang digunakan dalam berdakwah diberi nama Singo Mengkok, yang secara simbolis bentuk 3 dimensi dari perwujudan Singo Mengkok ditaruh di bawah gender gamelan peninggalan Sunan Drajat.
Pada perkembangannya, karakter Singo Mengkok juga ditampilkan pada motif batik khas yang dikembangkan di desa Sendang Duwur, tidak jauh dari Desa Drajat. []