Islamisasi Kebudayaan, Gerakan Dakwah Walisongo

 Islamisasi Kebudayaan, Gerakan Dakwah Walisongo

Dalam konteks kesejararahan, keberadaan Walisongo di satu sisi berkaitan erat dengan kedatangan muslim asal Champa yang ditandai kemunculan tokoh Sunan Ampel, sesepuh Walisongo, di sisi lain, berkaitan juga dengan proses menguatnya kembali unsur-unsur budaya asli Nusantara dari zaman prasejarah.

Unsur-unsur budaya asli Nusantara dimaksud adalah anasir Agama Kapitayan yang ditandai pemujaan terhadap arwah leluhur dalam bentuk Tungkub (punden) dan Tunda (punden berundak), pemujaan terhadap To (ruh penjaga ) di Tuk (mata air ), Tuban (air terjun ), Turumbukan (pohon beringin ), pemujaan daya sakti Tu di watu (batu ), Tugu, Tunggul (panji-panji), Tulang, dan pemujaan serta penyembahan kepada Sanghyang Taya di Tutuk ( lubang ) yang terdapat di dalam sanggar, yang berjalin-berkelindan dengan pengaruh budaya Hindu-Buddha dan tradisi keagamaan muslim Champa.

Melalui prinsip dakwah yang kemudian oleh para ulama-peneliti disebut dengan “al-muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil aslah”, unsur-unsur budaya local yang beragam dan dianggap sesuai dengan sendi-sendi tauhid, diserap ke dalam dakwah Islam.

Menurut Soekmomo (1974) asimilasi dan sinkretisasi antara Islam yang dibawa oleh para penyebar Islam asal Champa dengan ajaran agama asli Nusantara, terjadi secara massif terutama dikalangan petani dipedesaan yang nyaris lebih mengenal pemujaan terhadap menhir lambang pelindung desanya dari pada pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu dan Buddha. Masih menurut Soekmono (1959), yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia zaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan.

Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio Polinesia pra-Hindu yang oleh Prof. Dr. C.C Berg (1938) dan prof. Dr. G.J. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah leluhur. Yang dimaksud C.C Berg dan G.J. Held dengan kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang animis dan dinamis itu, tidak lain adalah agama asli Nusantara yang disebut Kapitayan.

Proses Islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditenggarai Soekmono adalah bukti berlangsungnya asimilasi sosio-kultural-religius yang telah dilakukan para penyebar Islam generasi Walisongo.

Sejarah mencatat, selama rentang waktu antara 1446-1471 M sebagian besar penduduk Champa beragama Islam berbondong-bondong mengungsi ke Nusantara. Rentang waktu itu, tepat berurutan dengan terjadinya proses Islamisasi secara besar-besaran di Nusantara, yang dikenal sebagai zaman awal Walisongo. Dalam catatan historiografi local di Cirebon, Banten, maupun Jawa, dituturkan bagaimana para ulama dan bangsawan asal Champa seperti Syaikh Hasanuddin Qurro di Karawang, Raja Pandhita di Gresik, dan Sunan Ampel di Surabaya, dengan kebijaksanaan dakwahnya melalui jaringan kekeluargaan yang terkordinasi dalam Gerakan dakwahnya Walisongo, menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat sosio-kultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi dengan adat budaya dan tradisi keagamaan yang sudah ada di Nusantara.

Asimilasi dan sinkretisasi Islam Champa dengan adat budaya dan tradisi keagamaan setempat di Nusantara itu dimungkinkan terjadi, karena menurut data terbaru ilmu ethnografi dan ilmu Bahasa sebagaimana diungkapkan Cabaton (1981) terdapat bukti kuat bahwa orang-orang Champa adalah serumpun dengan suku Melayu-Polinesia, berkerabat dengan orang Melayu, dan menggunakan Bahasa Melayu.

Gerakan dakwah Walisongo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau Islam “dibumikan” sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat lewat proses asimilasi dan sinkretisasi.

Pelaksanaan dakwah dengan cara ini memang membutuhkan waktu lama, tetapi berlangsung secara damai. Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of islam (1977), tumbuh dan berkembangnya agama islam secara damai ini lebih banyak merupakan hasil usaha para mubaligh penyebar Islam di bandingkan dengan hasil usaha para pemimpin negara.

Bertolak dari sumber kitab walisana, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, dan primbon milik Prof. KH. R. Moh. Adnan, disebutkan tugas tokoh-tokoh Walisongo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai-nilai dan sistem sosial budaya masyarakat sebagai berikut.

  1. Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa (Susuhunan ing Ngampel-denta handamel pranataning agama Islam, kanggenipun ing titiyang Jawi).
  2. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda (Raja Pandhita ing Gresik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda).
  3. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah (Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dadaharan hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotipun ing among tani, utawi andamel garabah).
  4. Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan (Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana).
  5. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan (Kanjeng Susuhunan ing Giri adamel pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel dalan tiyang Jawi).
  6. Sunan Bonang menggajar ilmu suluk, membuat gamelan mengubah irama gamelan (Kanjeng Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending).
  7. Sunan Drajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli (Kanjeng Susuhunan Drajat, amewahi wanguning griya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli sapanunggalanipun).
  8. Sunann Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukan bagi orang jawa (Kanjeng Susuhunan Kudus amehawi parabotipun bekakasing pande, kaliyan kemasan, saha adamel angger-anggeripun hingga pangadilan hokum ingkang keningging kalampahan ing titiyang Jawi).

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *