Islam, Nasionalis dan Orang Arab

 Islam, Nasionalis dan Orang Arab

Oleh: Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Peter Mansfield, dalam bukunya History of the Middle East, menyatakan bahwa Islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah negara. Namun, seluruh bangunan hukum, tradisi dan ajaran-ajaran Islam bertumpu pada kekuasaan negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jelas. Mereka harus kawin berdasarkan aturan-aturan tertentu, membagi waris juga menurut aturan-aturan tertentu. Mereka harus taat pada pimpinan, seluruhnya merupakan acuan kenegaraan. Tidak heranlah, jika kaum muslimin banyak yang  berpendapat, bahwa Negara Islam itu harus didirikan oleh mereka.

Pendapat ini ingin memberlakukan sebuah institusi tertentu dan mempertahankannya, seperti para pengikut gerakan yang ingin mempertahankan wangsa/ kerajaan ‘Utsmaniyyah (Ottoman Empire), seperti Shakib Arslan. Ia adalah seorang pemimpin suku Druz di Lebanon pada permulaan abad yang yang lalu, yang menjadi anggota parlemen wangsa tersebut. Dalam disertasi yang ditulis William L. Cleveland, ia tidak bisa dianggap menjadi pengikut anggota gerakan Nasionalisme Arab. Menurut buku Mansfield, Jamaluddin al-Afghani, Moh. Rasyid Ridha dan Abdurrahman al-Kawakibi, keharusan mendirikan Negara Islam memang ada, tetapi tidak oleh dinasti tersebut di atas. M. Rasyid Ridha dan al-Kawakibi umpamanya, menganggap Negara Islam itu haruslah didirikan dan dipimpin oleh orang Arab. Padahal dinasti Ottoman adalah bangsa Turki, karenanya tidak layak dan tidak sah khalifah (yang harus menjadi pemimpin) sebuah Negara Islam,  dipegang oleh wangsa tersebut.

Sementara Mohammad Abduh dan sebagainya, tidak pernah mementingkan adanya Negara Islam, karena mereka tidak beranggapan bahwa ajaran Islam terkait dengan sebuah konsep kenegaraan. Mereka sudah puas, jika kaum muslimin melaksanakan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, pandangan Abduh itu sebenarnya sama dengan pendapat gerakan-gerakan Islam seperti NU, PSII/SI dan Muhammadiyah.

Dalam dua kutub yang bertentangan itu, berbagai macam pandangan yang mengajukan claim mewakili Islam berkembang dengan subur selama satu setengah abad terakhir ini.  Diantaranya, adalah pandangan Imam Ruhollah Khomeini, yang mengajukan konsep Wilayat-i-faqih (pemerintahan para ahli hukum agama). Dalam tata negara Iran sekarang,  kaum ulama diwakili oleh Khubrigan (Dewan Pakar) yang berjumlah delapan puluh orang, dan memiliki kekuasaan membatalkan keputusan Presiden maupun parlemen (Majelis), jika dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dewasa ini, terjadi pertentangan yang tajam, karena Khubrigan melarang ratusan orang untuk turut serta menjadi caleg (calon legislative) dalam pemilu yang akan datang. Ini dianggap oleh banyak kalangan, termasuk mahasiswa sebagai pelanggaran konstitusi, karena melampaui wewenang pembatalan/ anulasi tersebut di atas. Sangatlah  menarik untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di Iran itu, karena bagaimanapun juga akan menyangkut perkembangan Islam di seluruh dunia.

Di Indonesia, keadaannya sedikit berbeda dari pada di negeri-negeri Arab. Memang pandangan berbagai pihak tentang harus ada sebuah Negara Islam, boleh dikata menjadi pandangan mereka yang menganggap diri sebagai “golongan Islam”, namun pendapat berbeda justru datang dari kelompok yang dianggap “golongan nasionalis”. Jika “golongan nasionalis” di Indonesia tersebut telah melalui “politisasi” makna, hingga merasa tidak layak disebut “golongan Islam”, maka di kawasan Timur Tengah bahkan sebaliknya. “Golongan Nasionalis” menganggap nasionalisme Arab justru diisi oleh nilai-nilai Islam yang merasuki kehidupan masyarakat. Bahkan Michelle Aflaq, seorang kristen Syiria dan pendiri gerakan Ba’ath, sebuah gerakan nasionalis arab yang antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Saddam Husein, menyatakan bahwa nasionalisme Arab menganggap Islam sebagai salah satu unsur-unsurnya. Sebaliknya di Indonesia, paling jauh kaum nasionalis berpikir bahwa orang harus berpandangan nasionalistik, namun tetap beragama.

Uraian di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa semenjak dahulu memang ada variasi sangat tinggi, baik di kalangan “golongan Islam” maupun “golongan nasionalis”. Di kalangan gerakan-gerakan Islam berkembang pandangan, bahwa ajaran-ajaran Islam harus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan “Negara Islam”  maupun di luarnya. Hal ini, umpamanya, jelas terlihat dari keputusan Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1935 di Banjarmasin. Dihadapkan pada pertanyaan, wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Hindia Belanda? demikian negeri kita disebut saat itu, yang diperintah oleh orang-orang non-muslim, yaitu para kolonialis Belanda. Jawaban atas pertanyaan itu oleh Muktamar diputuskan wajib. Karena menurut sebuah sumber Bughyah  al-Mustarsyidin, kawasan yang dahulunya adalah kerajaan Islam, wajib dipertahankan, karena banyak penduduknya beragama Islam. Alasan lainnya  adalah karena kaum muslimin di negeri ini melaksanakan ajaran Islam tanpa Negara.

Atas dasar keputusan Muktamar tersebut oleh NU dianggap tidak mewajibkan adanya sebuah “Negara Islam”,  sebuah ajaran yang juga dinyatakan oleh Ibn Taimiyyah dalam putusan (fatwa) bahwa diperkenankan adanya kepemimpinan (Imamah) berbilang jumlah bagi kaum muslimin. Ini juga berarti, tidak adanya keharusan mendirikan “Negara Islam” bagi kaum muslimin. Namun karena keterikatan mereka kepada sabda Rasulullah saw; “tak ada agama tanpa kelompok, tak ada kelompok tanpa pimpinan, dan tak ada pimpinan tanpa seorang pemimpin (la diina illa bijama’atin, wa la jama’ata illa bi imamatin, wa la imamata illa bi imamin), pembatasan jumlah pemimpin Negara, kemudian  diperkuat oleh ajaran yang berasal dari al-Qur’an, bahwa kaum muslimin harus berada dalam sebuah ikatan kenegaraan (ummatan wahidah), maka melahirkan pemahaman spesifik seperti diungkapkan M. Rasyid Ridha di atas.

Pendapat itu demikian kuat tertanam dalam jiwa kaum muslimin hinga saat ini, hingga raja-raja Mataram masih terikat oleh ungkapan “Panembahan Senopati” (pendiri dinasti tersebut) juga bergelar khalifatullah ing tanah jawi (khalifatullah di tanah jawa). Nah, secara teoritik masih ada “partai-partai Islam”, baik dalam nama maupun tidak, yang masih menginginkan sebuah Negara Islam. Dengan demikian, “perjuangan” kenegaraan seperti itu masih ada, walaupun pendukungnya semakin lama bertambah sedikit. Sebagai gantinya, semakin kuat gerakan yang menganggap segala-galanya harus “di-Islam-kan”, melalui pola kehidupan yang nyata. Seperti menuntut Negara harus menerapkan sistem pendidikan nasional yang demikian itu. Dalam pandangan penulis, hal itu berarti pelanggaran terhadap konstitusi, yang menetapkan pemisahan yang jelas antara negara dan agama. Karenanya, masyarakatlah yang bertanggung-jawab tentang pendidikan, bukannya Negara, yang hanya berperan membantu saja.

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hubungan antara agama dan  negara masih bersifat problematik bagi kaum muslimin, setidak-tidaknya bagi pemimpin gerakan-gerakan Islam. Hal ini adalah warisan sejarah yang tidak dapat dihindari, karenanya harus dipikirkan bagaimana ia diselesaikan. Memang pendidikan -terutama perkembangan teknologi, pengetahuan modern maupun kebudayaan- mengarahkan kepada semakin kaburnya ‘sekat-sekat’ itu dalam kehidupan. Namun karena semakin besar kehadiran mereka, semakin banyak juga yang ingin melihat, -dan tentunya turut berusaha,  moralitas/ etika / akhlak kita sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip Islam, sehingga akan tercapai pola kehidupan yang “Islami”.  Hal ini tidak menjadi persoalan, jika dijaga agar tidak “bertabrakan” dengan “pola umum” yang berjalan sekarang. Pengharaman /larangan atau tentangan terhadap pola yang ada itulah yang harus dihindari.

Penulis pernah memberikan ceramah di sebuah  Fakultas Kedokteran. Mahasiswa putra duduk di sebelah kanan podium, sementara mahasiswa putri di sebelah kiri, dengan seorang wanita mengenakan jilbab menjaga di tengah, agar tidak “bercampur-baur”. Jika hal ini dianggap “Islami”, maka gerakan–gerakan Islam di negeri ini telah luntur rasa keberagaman mereka,  karena di lingkungan NU-pun para warga sudah bercampur antara lelaki dan perempuan, ketika mengikuti pertemuan-pertemuan umum.

Dengan kata lain, apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak, bagi kaum muslimin juga mengalami perubahan-perubahan dari jaman ke jaman. Termasuk perempuan menjadi kepala pemerintahan / kepala Negara. Sebagian berpendapat hal itu diperbolehkan oleh Islam, sebagian lagi berpendapat tidak. Belum lagi mereka yang berubah pendapat karena masalah kekuasaan, seperti Wakil Presiden kita, Hamzah Haz. Perubahan harus dilakukan, namun ini mudah dikatakan, tetapi sulit dilakukan, bukan?

Jakarta, 28 Januari 2004

Pernah diterbitkann oleh Kedaulatan Rakyat

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *