Isa Anshari, Tokoh Masyumi dan Singa Podium Yang Jago Menulis
HIDAYATUNA.COM – Namanya Muhammad Isa Anshari, ia lahir di maninjau, Agam, Sumatera Barat pada 1 Juli 1916. Dia dikenal sebagai muballigh yang sangat andal. Kecakapan yang ia miliki adalah buah dari didikan yang ia dapat sejak kecil di lingkungan yang religius. Di samping mempelajari ilmu agama dari kedua orangtuanya, dia juga menimba ilmu di surau. Saat Isa Anshari menginjak remaja, ia aktif dalam berbagai organisasi keislaman, di antaranya Muhammadiyah, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia dan Indonesia Berparlemen.
Saat usianya menginjak 16 tahun, setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam, ia pergi ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum. Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam oragnisasi Persatuan Islam (PERSIS). Di kemudian hari, sejak tahun 1953-1960 ia terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat PERSIS.
Isa Anshari yang dikenal sebagai penulis yang tajam adalah salah satu perancang Qanun Asasi PERSIS yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V PERSIS pada 1953 dan disempurnakan pada Muktamar VIII PERSIS (1967). Isa Anshary juga dikenal sebagai tokoh Islam yang cerdas dan menonjol sejak muda. Pada 1938, ketika usianya baru sekitar 22 tahun, dia sudah merilis buku berjudul Islam dan Demokrasi. Di tahun-tahun berikutnya, Isa Anshary terus menulis, bahkan ketika berada dalam tahanan.
Tokoh Lengkap
“Dengan kuasa dan kekuatan lisan yang dimilikinya, para orator berhasil menegakkan kembali kepala bangsanya yang sudah terbenam dalam lumpur kehinaan dan kerendahan” tulis Isa Anshari. Karena keahliannya berpidato dan performanya yang bagus, ia bergelar Singa Podium. Jika dia berorasi, performanya mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya. Pidato-pidatonya pun dapat mempengaruhi massa.
Memang jika dilihat, kiprah Isa Anshari di bidang politik mampu menarik perhatian massa. Kapanpun dia berpidato, hampir dapat dipastikan bahwa acara itu dipenuhi massa yang ingin mendengarkannya. Massa yang hadir pun bahkan tidak hanya dari kalangan yang sepaham dengan garis politiknya (yaitu partai Masyumi), namun juga dari masyarakat umum.
Isa Anshari dikaruniai talenta yang lengkap selain cakap berpidato, dia juga terampil menulis. Kemampuan dia menulis setara dengan kecakapannya berorasi. Terkait tulis-menulis, Isa Anshari pernah menjabat sebagai pemimpin Redaksi Aliran Muda dan Laskar Islam. dia juga pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas medan dan beberpa penerbitan di Bandung.
Sejak 1940, Isa Anshary adalah ketua pusat dari Persis. Ketika Jepang datang, Isa juga aktif di satu-satunya organisasi Islam zaman Jepang, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang belakangan perannya diteruskan Masyumi. Setelah Jepang keok, Persis yang vakum dihidupkannya lagi dan jadilah dia Ketua Persis. Lewat Masyumi dan Persis itulah Isa Anshary berpolitik. Baginya politik sangat penting, karena itu politik adalah “alat untuk mencapai cita-cita umat Islam.”
Dalam sikap jihadnya, Isa Anshari menganggap perjuangan PERSIS sungguh vital dan kompleks, karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshari menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader muda PERSIS.
Semangat Isa Anshari dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun saat ia harus mendekam dalam tahanan resim Orde Lama di Madiun. Saat itu ia teteap mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam. Apapun resikonya, jangan pernah menyerah. Sebab, “Juru dakwah adalah lisan Ketuhanan yang berbicara kepada manusia dengan istilah-istilah manusia itu sendiri,” kata Isa Anshari. Terkait hal ini, dia pun telah memberikan bukti lewat perjalanan dakwahnya yang konsisten.
Maka, tak aneh jika Isa Anshari tercatat sebagai salah satu tokoh Islam dan politisi Islam terkemuka, selain menjabat sebagai ketum PERSIS dan juru bicara Partai Masyumi, ia juga pernah menjabat sebagai Konstituante. Tak banyak yang mengetahui bahwa tokoh yang satu ini memiliki hubungan keluarga dengan DN Aidit, tokoh PKI yang ternyata adalah keponakannya. DN Aidit bahkan pernah tinggal bersamanya selama 4 tahun sebelum akhirnya memilih jalan berbeda dari pamannya dengan bergabung bersama PKI.
Henry Muhammad dalam bukunya, Tokoh-Tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 menggambarkan Isa Anshari sebagai “sosok yang memadukan ilmu dan agama dengan pendekatan podium dan tulisan” dia masuk politik untuk menegakkan syariat Islam. Isa Anshari bahkan sudah berbicara tentang Darul Islam (negara Islam) di Indonesia. Menurut Isa, soal caranya menuju negara Islam itu, sudah ada dua golongan orang-orang Islam yang berselisih jalan. Ada yang mengangkat senjata dengan mendirikan negara dalam negara, yakni darul Islam ala Kartosoewirdjo. Dan ada lagi yang lewat jalur hukum yang legal dan lewat parlemen pula, itulah Masyumi.
Isa Anshari adalah tokoh yang tidak terima dengan bunyi pancasila masa kini, yang berbeda dengan Piagam Jakarta yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dicoretnya kata-kata terakhir dalam sila pertama tersebut, seperti ditulis Holk Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo, menurut Isa Anshari adalah permainan yang dipenuhi kabut.
Lepas dari setuju atau tidaknya dengan Pancasila yang tidak seperti Piagam Jakarta dan kecenderungannya pada negara Islam, Isa Anshari menurut Sri Indra Gayatri dalam Sejarah Pemikiran Indonesia : 1945-1966, “menganjurkan umatnya untuk cinta tanah air tempat mereka hidup melalui cara berjihad”. Isa memang termasuk politikus Islam yang tidak setuju dengan negara sekuler, jadi harus hukum Islam yang ditegakkan meskipun jalannya berliku.
Dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia, Isa Anshari memilih berjuang melalui parlemen. Lewat Partai Masyumi, dia konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Sampai menjelang akhir hayatnya dia tetap bekerja untuk umat. Dia meninggal di bandung pada 11 Desember 1969, di usia 53 tahun.