IRAK Diujung Ketidakpastian Pasca Parlemen Terima Pengunduran Diri PM Abdul Mahdi

 IRAK Diujung Ketidakpastian Pasca Parlemen Terima Pengunduran Diri PM Abdul Mahdi

Pada hari Minggu, Legislator Irak telah menyetujui pengunduran diri Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi saat sesi pertemuan parlemen yang diadakan di ibukota Baghdad di tengah-tengah aksi demonstrasi anti-pemerintah yang mematikan.

Pada hari Jumat, Abdul Mahdi telah mengumumkan bahwa ia akan mengundurkan diri setelah sehari sebelumnya 50 demonstran tewas di tangan pasukan keamanan Irak di Baghdad dan kota-kota lainnya seperti Nasiriya dan Najaf.

Abdul Mahdi, diketahui telah menghadapi kritik dari pemimpin tertinggi Syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani, yang mengutuk penggunaan tindakan kekerasan yang menyebabkan tewasnya para demonstran dan menyerukan terbentuknya pemerintahan yang baru.

Pada hari Sabtu, sebuah pertemuan kabinet telah menyetujui pengumuman Abdul Mahdi, yang juga menyarankan pengunduran diri anggota kunci pemerintahan Irak, termasuk kepala staf perdana menteri.

Seorang pakar hukum mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemerintahan (sementara) akan mengemban tugas selama 30 hari atau sampai blok terbesar di parlemen menyetujui kandidat baru yang akan menggantikannya.

Berdasarkan konstitusi yang ada, pengunduran diri ini mencakup seluruh lini pemerintahan, seperti menteri dan wakil perdana menteri,” kata pakar hukum Tareq Harb kepada Al Jazeera.

“Pemerintahan (sementara) yang ada sekarang bertugas menangani masalah-masalah yang mendesak sampai pemerintahan baru terpilih,” tambahnya.

“Blok atau aliansi politik terbesar di parlemen memiliki waktu selama 15 hari untuk mencalonkan seorang kandidat yang kemudian akan ditugaskan presiden untuk membentuk pemerintahan yang baru dalam waktu 30 hari. Kabinet baru ini kemudian akan dipilih oleh parlemen dan membutuhkan vote mayoritas yang mutlak,” kata Harb kepada Al Jazeera.

Tetapi tanpa adanya blok atau aliansi yang secara resmi dianggap sebagai blok terbesar di parlemen, mungkin perlu waktu berminggu-minggu untuk mencalonkan seorang perdana menteri yang baru.

“Pemerintahan (sementara) [di bawah kepemimpinan Abdul Mahdi] akan berlanjut sampai blok politik memilih perdana menteri yang baru,” kata Ahmed al-Inazi, seorang pakar hukum di Pusat Pengembangan Hukum Irak.

Meskipun pengunduran diri Abdul Mahdi disambut baik oleh para demonstran di Tahrir Square, Baghdad, mereka mengatakan akan terus berdemonstrasi sampai mereka melihat perombakan sistem politik negara itu secara total.

“Pengunduran diri perdana menteri hanyalah setetes air di lautan dari kumpulan tuntutan kami,” kata Dania, seorang mahasiswa IT berusia 20 tahun di Universitas Nahrayn, yang telah ikut berdemonstrasi sejak awal Oktober lalu.

“Kami tidak akan pulang ke rumah sampai pengunduran diri PM memicu parlemen untuk dibubarkan dan diadakan pemilihan ulang lagi sehingga semua partai politik dan milisi yang saat ini berkuasa dapat dihapus,” jelasnya, sambil menambahkan bahwa proses tersebut harus dimulai dengan UU Pemilu yang baru.

Sejak awal 1 Oktober, didorong oleh rasa kemarahan atas angka korupsi, pengangguran yang tinggi, layanan publik yang tidak memadai dan campur tangan pihak asing dalam urusan Irak, para demonstran di Baghdad dan beberapa kota selatan lainnya telah turun ke jalan memprotes penguasa negara itu dan menyerukan pemeriksaan terhadap sistem politik yang terbentuk setelah terjadinya invasi AS pada tahun 2003, di mana kekuasaan dibagi secara merata di antara kelompok etnis dan sektarian.

Banyak warga Irak percaya bahwa sistem berbasis kuota ini memungkinkan individu ataupun kelompok tertentu memperkaya diri mereka sendiri selama bertahun-tahun dan memperluas pengaruh mereka, sementara banyak warga lainnya di negara yang kaya minyak itu mengalami kesulitan ekonomi.

Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Irak, setidaknya 430 orang telah tewas dan 19.000 lainnya terluka sejak awal terjadinya kerusuhan.

Secara terpisah, sebuah pengadilan di provinsi Wisat telah menjatuhkan hukuman mati kepada seorang perwira polisi karena perannya dalam pembunuhan para demonstran, ini adalah hukuman mati pertama yang diberikan semenjak terjadinya kerusuhan di Irak. Petugas lainnya dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun atas kematian pada tanggal 2 November.

Kemudian pada hari Minggu, para demonstran membakar konsulat Iran di Najaf untuk kedua kalinya dalam seminggu ini. Menurut sumber saksi mata setempat kepada Al Jazeera, hal itu terjadi akibat meningkatnya sentimen anti-Iran di antara para demonstran.

Fanar al-Haddad, seorang peneliti di Institut Timur Tengah di Universitas Singapura mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sentimen publik telah mencapai titik di mana mereka tidak dapat ditenangkan lagi oleh adanya perubahan yang hanya berjalan sedikit demi sedikit.

“Jika semua yang dapat ditawarkan oleh kelas politik hanyalah konstelasi yang dirombak dan diatur ulang dengan wajah-wajah yang sama, akan ada lebih banyak kemarahan publik dan kemungkinan meningkatnya aksi demonstrasi,” tambahnya.

Sementara blok politik terbesar di parlemen akan memiliki hak untuk memutuskan pengganti Abdul Mahdi, anggota parlemen Irak dan para ahli menduga akan ada proses tarik ulur secara politik ketika dua blok di parlemen menjalin aliansi antara satu sama lain.

“Masih belum jelas bagaimana pemerintahan yang baru akan dibentuk, akankah konsensus lain dari pemerintahan muncul? atau bisakah kelompok dari aktor-aktor politik membentuk mayoritas pemerintahan dan oposisi? Tinggal dilihat saja ke depannya,” kata Haddad.

“Setelah penerimaan pengunduran diri dari perdana menteri, blok politik Syiah akan berusaha mengatasi perbedaan mereka sehingga mereka dapat memilih perdana menteri yang baru,” kata seorang analis politik, Ziad Al-Arrar.

“Mencapai titik ini juga akan membutuhkan Kurdi dan Sunni untuk menyetujui nama baru ini,” tambahnya.

Pemilu pada bulan Mei 2018 lalu berakhir tanpa satu blok pun memenangkan mayoritas kursi di parlemen agar dapat memilih perdana menteri yang baru.

Untuk menghindari krisis politik, dua blok politik utama di parlemen, Sairoon yang dipimpin oleh pemimpin Syiah Muqtada al-Sadr, dan blok Fatah yang dipimpin oleh Hadi al-Amiri dan terkait dengan Popular Mobilisation Unit (PMF) yang disokong oleh Iran, akhirnya membentuk sebuah aliansi dan mencalonkan Abdul Mahdi sebagai perdana menteri.

Tetapi sejak aksi demonstrasi dimulai, parlemen telah terpecah menjadi dua, dengan Sadr pada posisinya yang mendukung para demonstran, sementara Fatah di blok terbesar kedua di parlemen yang mendukung pemerintah.

“Nanti akan ada tarik ulur politik dan manuver-manuver seperti yang kita lihat setelah pemilihan pada bulan Mei tahun lalu,” kata Harb kepada Al Jazeera.

Harb menambahkan bahwa adanya proses negosiasi bisa berdampak pemerintahan Abdul Mahdi dalam perannya yang hanya sementara ini untuk lanjut berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama dari yang diharapkan.

Sumber : Aljazeera.com

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *