Ir. H. Djoeanda Kartawidjadja, Sang ‘Menteri Maraton’ dari Muhammadiyah

 Ir. H. Djoeanda Kartawidjadja, Sang ‘Menteri Maraton’ dari Muhammadiyah

HIDAYATUNA.COM – Ir H Djoeanda Kartawidjadja adalah tokoh yang memiliki julukan “Menteri Maraton” di Indonesia. Pantas memang jika sebutan ini disematkan pada Ir. Djoeanda, karena semenjak kemerdekaan pada 1946 hingga akhir hayatnya, beliau selalu menjabat sebagai menteri, satu kali sebagai Menteri Muda, 14 kali sebagai menteri, dan beliau juga menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-10, sekaligus Perdana Menteri terakhir yang dimiliki Indonesia.  

Tokoh kelahiran 14 Januari 1911 yang lahir di Tasikmalaya ini merupakan pahlawan nasional dari Muhammadiyah yang sangat terkenal dengan Deklarasi Djoeanda, yakni deklarasi yang menyatakan bahwa semua perairan yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan mutlak Republik Indonesia.

Awal Kehidupan  

Ir H Djoeanda Kartawidjadja adalah anak pertama dari pasangan Raden Kartawidjadja dan Nyi Monat, ayahnya adalah seorang Mantri Guru di Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di tempat ayahnya menjadi guru dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak Eropa di Europesche Lagere School (ELS) hingga tamat pada 1924. Ayahnya kemudian memasukkan ia ke sekolah menengah di Hoogere Burgerschool te Bandoeng (sekarang ditempati  SMAN 3  Bandung dan SMAN 5 Bandung) dan lulus pada 1929.

Pada tahun yang sama, Djoeanda  muda masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng yang merupakan cikal bakal ITB Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya, Djoeanda aktif di banyak organisasi pergerakan non-politik, yaitu Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah dimana ia pernah menjabat sebagai pimpinan sekolah Muhammadiyah.

Semenjak lulus dari THS Technische Hoogeschool te Bandoeng, ia memilih untuk mengabdi di tengah masyarakat. Djoeanda memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya, padahal saat itu ia ditawari menjadi asisten dosen yang gajinya jauh lebih tinggi dari seorang guru. Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah, Djoeanda akhirnya mengabdi di dinas pemerintahan di Jawaatan Irigasi Jawa Barat pada tahun 1937. Selain itu, ia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Kontribusinya untuk Negara

Ir. Djuanda berperan besar dalam membangun sistem transportasi nasional, baik di darat, laut, maupun udara. Beliau adalah seorang insinyur yang juga sebagai pelopor maskapai Garuda Indonesia, Akademi Penerbangan Curug, dan Akademi Pelayaran Jakarta. Pada tahun 1945, tepatnya pada 28 September ia menggerakkan para pemuda di Indonesia untuk mengambil alih jawatan Kereta Api yang saat itu masih dikuasai oleh sisa-sisa pendudukan Jepang sebelum kedatangan pasukan sekutu dan Belanda. Dari situlah, ia kemudian diangkat memimpin jawatan Kereta Api di wilayah Jawa dan Madura.

Tahun 1946-1953,Djoeanda turut mengisi jabatan di kabinet awal RI hingga beberapa tahun kedepan. Hingga pengakuan kedaulatan RI pada 1950, ia pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan selama dua periode dan Menteri Pekerjaan Umum. Ia juga menjadi salah satu tokoh yang terlibat dalam Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Tahun 1957-1962,sejak 9 April 1957, Djoeanda kembali masuk kabinet RI setelah sempat absen selama empat tahun. Kali ini, ia dipercaya sebagai Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan RI. Pada 13 Desember 1957 saat beliau menjabat menjadi Perdana Menteri, beliau mencetuskan Deklarasi Djuanda yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar diantara dan didalam kepulauan Indonesia menjadi kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau dikenal dengan negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea).

Isi  dari Deklarasi Juanda ini menyatakan :

  • Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  • Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  • Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
    • Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
    • Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
    • Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI

Tahun 1963, Ir. Djuanda mengalami serangan jantung dan sempat dirawat di rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong hingga akhirnya wafat pada 7 November 1963 di usia 52 tahun. Jasadnya pun dimakamkan di  TMP Kalibata, Jakarta.

Penghargaan

Besarnya sumbangan terhadap Negara Republik Indonesia, namanya pun diabadikan sebagai nama Bandar Udara yang ada di Surabaya, yaitu Bandara International Juanda atas jasanya dalam memperjuangkan lapangan terbang tersebut. Selain itu, namany ajuga diabadikan untuk hutan raya di Bandung, yaitu Tamna Hutan Raya Ir. H. Juanda yang mana di dalam taman tersebut terapat monumen dan Museum perjuangan Ir. H. Juanda. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu nama jalan di daerah Jakarta Pusat dan nama sebuah stasiun di Jakarta, yaitu Stasiun Juanda.

Sejak 16 Desember 2016, Pahlawan Nasional Kemerdekaan ini diabadikan dalam uang kertas lembar 50.000

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *