Intoleransi Beragama Di Sekolah, Keluarga Punya Peran Penting
Oleh : Mohammad Iqbal Shukri
Baru-baru ini awal tahun 2020 ruang lingkup pendidikan kita sedang digemparkan dengan isu-isu yang dinilai masuk dalam intoleransi keberagamaan. Pertama terkait kasus seorang siswi SMAN 1 Gemolong, Sragen Jawa Tengah yang mengaku diteror oleh anggota Rohani Islam (Rohis) gara-gara tidak mengenakan jilbab. Hingga kasus dugaan intoleransi di lingkungan sekolah tersebut mendapat tanggapan dari Budiman Sujdatmiko. Melalui akun twitternya, Budiman mentuit “kecil-kecil mau jadi teroris”.
Tidak hanya sampai disitu, beberapa hari selanjutnya muncul kasus yang kedua yakni viralnya tepuk Pramuka yang memakai kalimat “Islam Yes, Kafir No” dalam sebuah pelatihan di sebuah sekolah dasar di Timuran, Prawirotaman, Kota Yogyakarta Jumat, 10 Januari 2020.
Sama halnya dengan kasus yang pertama, kasus yang kedua ini pun juga memancing para tokoh untuk ikut bersuara. Salah satunya Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering disapa Gus Mus ikut mengomentarinya. Gus Mus memberikan komentar saat menjadi pembicara dalam acara dialog kebangsaan “Merawat Persatuan Menghargai Keberagaman” di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/01/2020).
Gus mus mengungkapkan dengan tuturan bahasa jawa “Wong mendem [orang mabuk] kok sampai begitu. Itu nyekokinya bagaimana. Itu merusak betul. Merusak. Menyakitkan sekali karena itu dilakukan oleh orang yang mengaku beragama,” kata Gus Mus.
Mungkin Gus Mus sudah gerah dengan beberapa kasus yang masuk dalam kategori intoleransi keagamaan, yang lebih kesini menyasar pada ranah pendidikan. Ironis memang ketika seorang guru yang di gadang-gadang sebagai seorang panutan siswanya, malah mengajarkan sesuatu yang menyimpang dari prinsip persatuan.
Dari fenomena diatas secara tidak langsung telah menciderai ranah keilmuan dalam lembaga pendidikan kita hari ini. Bahkan hal itu juga menjadi lampu kuning kita bersama, khususnya bagi para orang tua, tatkala benih-benih kebencian telah ditanamkan kepada anak-anak dengan bermodalkan cara beragama yang salah.
Peran Keluarga
Perihal menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan pada anak seyogyanya tidak cukup hanya dengan menyerahkannya kepada sebuah lembaga pendidikan formal, dalam hal ini sekolah. Tetapi pendidikan agama dari keluarga juga sangat mempunyai pengaruh pada tumbuh kembang anak yang berwawasan keilmuan keagamaan yang tidak melanggar nilai-nilai bernegara.
Peran penting itu diambil oleh orang tua, sebagaimana jamak kita ketahui orang tua adalah guru pertama bagi sang anak. Meskipun anak sudah di sekolahkan, namun tetap orang tua mempunyai sebuah kewajiban dalam hal pengajaran dan pendampingan kepada anak. Hal ini sebagai implementasi orang tua mempunyai fungsi sebagai controlling.
Fungsi tersebut bisa dilakukan untuk menunjukkan arah kemana anak berkembang, dengan berlandaskan dasar-dasar agama yang mendamaikan. Selain itu untuk membentengi anak supaya tidak terjerumus dalam lembah ajaran-ajaran yang bertentangan dengan kebaikan.
Hal itu bisa dilakukan oleh orang tua dengan melakukan beberapa hal. Pertama memilihkan dan mengasih pertimbangan mengenai sekolah yang memiliki wawasan keilmuan agama yang mumpuni. Baik dari segi lingkungan pendidikan, hingga keilmuan dari guru-guru yang mengajar. Dalam hal ini orang tua harus paham betul tentang sekolah yang ditujukan untuk anak. Kemudian sang anak diberikan hak untuk memilih, dengan berlandaskan dari pertimbangan yang diberikan oleh orang tua. Hak memilih diberikan dengan tujuan menghindari anak agar tidak mempunyai anggapan dipaksa oleh orang tua, yang akhirnya sang anak tidak dapat menikmati pembelajaran, karena masuk sekolah dilandasi atas keterpaksaan. Di sisi lain itu adalah bentuk pengajaran kepada anak perihal keberanian untuk mengambil sikap atas pertimbangan-pertimbangan yang telah diterimanya.
Kedua pendampingan atas apa yang di dapat ketika di sekolah. Orang tua senantiasa lebih memperhatikan polah gerak-gerik sang anak ketika pulang sekolah atau ketika di rumah. Dengan cara menghidupkan ruang komunikasi, diskusi antara orang tua dengan anak atas pelajaran yang didapatkan ketika di sekolah. Aktivitas seperti ini bisa bergantian antara bapak dan ibu sang anak, sebab tidak bisa dipungkiri sang orang tua terkadang mempunyai kesibukan masing-masing.
Kepercayaan Sekolah
Sekolah atau lembaga pendidikan, untuk memperbaiki dan menjaga kepercayaan masyarakat kembali, perlu adanya sikap tegas dalam menanggapi sesuatu kasus intoleransi keagamaan yang menyasar dilingkungannya. Baik itu sifatnya sanksi, atau peringatan, atau pembinaan terhadap guru terkait.
Selain itu pihak sekolah juga dituntut untuk lebih selektif dalam memilah dan memilih guru, dengan tujuan supaya tidak kecolongan masuknya guru-guru yang menyimpang dari visi dari pendidikan hingga nilai-nilai beragama dan bernegara.
*Penulis Aktif di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang