Internalisasi Nilai-Nilai Tasawuf dalam Pendidikan
HIDAYATUNA.COM – Di Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan, sudah bukan hal aneh ketika melihat seorang murid menampar ataupun memukul gurunya. Berbagai kasus yang terjadi antara seorang siswa melawan guru seperti sudah menjadi hal biasa.
Sebagaimana yang ramai diberitakan, seoarng siswa melawan gurunya saat ditegur karena merokok di dalam kelas. Ada pula yang menampar sang guru karena ditegur untuk merapikan seragamnya padahal itu merupakan ciri khas berpendidikan.
Kejadian tersebut membuat kita mengelus dada. Akhlaq siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur adalah bukti dari pendidikan kita masih jauh dari sempurna.
Di sinilah pentingnya internalisasi nilai-nilai tasawuf dalam pendidikan. Tentu bukan perkara yang mudah. Sebab nilai-nilai tersebut sudah tercermin kepada sang pendidika sebelum tersampaikan kepada para murid.
Sudah seharusnya guru tidak hanya menerapkan pendidikan terhadap seorang murid agar pintar secara akademik. Lebih dari itu ada kecerdasan spiritual yang harus ditanamkan.
Nilai-Nilai Tasawuf dalam Alquran
Sebagai sebuah pandangan hidup, Alquran dan Hadis tidak bisa dilepaskan dari manusia. Termasuk dalam dunia pendidikan. Ia adalah kompas kehidupan, lilin dalam kegelapan malam, juga penenang bagi hati-hati yang resah (al-Baqoroh [2]: 185).
Begitu juga dengan nilai-nilai tasawuf di dalam Alquran, ia begitu banyak. Ini sangat berkorelasi dengan dunia pendidikan. Untuk membatasi pembahasan, penulis kutipkan dari QS. al-Furqon [25]: 63-77.
Dari sekian ayat tersebut, hanya beberapa nilai-nilai saja yang penulis anggap menarik dan erat kaitannya dengan pendidikan. Ayat-ayat ini memiliki nilai-nilai tasawuf yang cukup signifikan untuk kita cermati.
Alqur’an menyebutnya dengan ‘Ibadurrohman (hamba-hamba Allah yang pengasih). Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berjalan di muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) (QS. al-Furqon [25]: 63)
Tawadhu’ atau rendah hati adalah tingkatan cukup tinggi dalam dunia tasawuf. Terlepas dari tingkatan tersebut, menariknya adalah dalam dunia pendidikan ini pada dasarnya biasa kita lihat. Atau boleh jadi kita yang tidak menyadarinya.
Misalnya kita bisa belajar dari lembaga pendidikan atau sekolah, setiap lembaga pendidikan tentu memiliki peraturan sekolah. Ini adalah salah satu bentuk program sekolah yang sebenarnya disadari atau tidak dapat melatih siswa untuk rendah hati (tawadhu’).
Bentuk kegiatannya dalam dunia pendidikan misal, ketika seorang siswa meminta izin kepada guru untuk keluar kelas. Pasalnya, ketika siswa tidak meminta izin ia telah melakukan “kesombongan” terhadap sang guru.
Itu artinya, ia menentang sang guru dan meremehkan. Ia tidak mampu “berjalan di muka bumi dengan rendah hati”, dalam bahasa Alqur’an, bertindak semena-mena dikelas, dan lainnya.
Bahasa sederhananya adalah siapa yang tidak patuh pada peraturan-peraturan Tuhan di dunia ini adalah sombong, begitu juga di dunia pendidikan. Siapa pun yang tidak mengikuti peraturan-peraturan sekolah ia sudah “sombong” dan menentang terhadap sekolahnya.
2. Tidak mengganggu sesama makhluk (QS. al-Furqon [25]: 73)
Tidak zalim atau tidak mengganggu sesama makhluk adalah perbuatan baik. Dalam dunia pendidikan, nilai tasawuf ini dapat kita buat/lihat program kegiatan piket.
Program piket ini sudah barang tentu terjadwal setiap harinya. Setiap siswa wajib untuk piket harian. Lagi-lagi disadari atau tidak ini melatih anak untuk tidak zalim kepada temannya sejak pendidikan dasar bahkan.
Sebab, ketika seorang siswa tidak piket ia telah memasrahkan secara totalis kepada teman sekolompoknya untuk piket. Atau, misal, kelompok piket hari Senin tidak piket.
Ini tentunya memberikan beban kepada siswa yang piket di hari selanjutnya, hari Selasa. Selain piket, membiasakan siswa untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah bagian dari tidak menzalimi teman.
3. Tidak memberikan kesaksian palsu (QS. al-Furqon [25]: )
Tidak memberikan kesaksian palsu atau jujur adalah perkara yang tidak mudah. Akan tetapi, guru harus bisa memberikan contoh kejujuran terhadap dirinya sendiri sebelum kepada para siswanya.
Misal, ketika tidak bisa menjawab pertanyaan anak-anak karena guru tersebut belum pernah mepelajari hal yang ditanyakan. Boleh jadi, usaha tersebut menjadikan anak belajar arti sebuah kejujuran.
“Guruku saja bisa jujur dengan mengatakan tidak tahu, masa’ saya mau bohong”. Wallahu’alam bish-showab.