Inilah Hukum, Sisi ‘Lain’ dari Fiqih
HIDAYATUNA.COM – Membahas masalah fiqih berarti membahas tentang hukum, yakni hukum perbuatan seorang mukallaf. Apakah ia haram, makruh, mubah, sunnah atau wajib?
Oleh karena ia berbicara tentang hukum, maka kajian fiqih terkesan ‘kaku’. Seolah pertimbangan yang digunakan hanya dalil dari ayat atau hadis yang kadang dipahami secara kaku.
Tapi sebenarnya ada sisi lain dari fiqih yang ‘jarang’ disentuh, bahwa ternyata ada pertimbangan lain yang menjadi pijakan seorang faqih dalam menyimpulkan sebuah hukum. Pertimbangan ini bisa dibilang mirip dengan pertimbangan ‘rasa’.
Tentu bukan ‘rasa’ dalam konotasi negatif yang lebih memperturutkan kehendak (hawa) nafsu belaka, melainkan ‘rasa’ bagaimana seorang muslim tetap menjaga harga dirinya (‘izzatun nafs). Untuk tidak melakukan sesuatu yang secara ‘zhahir’ sebenarnya boleh dilakukannya.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Suatu ketika Imam Muzani bertanya kepada gurunya Imam Syafi’i –رحمهما الله- :
“Kalau seseorang berada dalam safar, kemudian ia kehabisan air. Di antara rombongan yang ikut ada orang yang memiliki kelebihan air. Apakah ia boleh meminta air orang itu untuk berwudhuk ataukah sebaiknya ia bertayamum?”
Beliau menjawab, “Sebaiknya ia bertayammum untuk menjaga harga dirinya dari ‘kehinaan’ meminta-minta.”
Dalam pembahasan tentang Ibnu Sabil, salah satu dari delapan ashnaf yang berhak menerima zakat, ada perbedaan pendapat. Para ulama berbeda pendapat tentang Ibnu Sabil yang kehabisan biaya untuk bisa kembali ke rumahnya
Lalu seseorang meminjamkan dana untuknya. Apakah sebaiknya ia menerima pinjaman dana orang tersebut ataukah ia diberikan bagian dari zakat?
Imam Ibnu al-‘Arabiy mengatakan, “Sebaiknya ia diberikan biaya pulang dari zakat. Ia tidak perlu menerima ‘jasa’ dari manusia kalau ia bisa menerima ‘jasa’ dari Allah, tanpa mesti berhutang budi kepada siapa pun.”
Boleh jadi ada orang yang berhak menerima zakat atau sedekah, tetapi ‘harga dirinya’ membuatnya enggan untuk menerima itu.
Imam Syafi’i dan Imam Muzani
Kutipan pertama tentang Imam Syafi’i dengan muridnya Imam Muzani saya dengar dari khotbah seorang ulama. Saya belum menemukan sumber tertulisnya, yang saya temukan dari beberapa sumber adalah seperti yang ditulis oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya:
إذا وهب منه ذلك الماء هل يجوز له التيمم ؟ قال أصحابنا : يجوز له التيمم ولا يجب عليه قبول ذلك الماء لأن المنة فى قبول الهبة شاقة
“Kalau seseorang diberikan (hibah) air untuk berwudhuk, apakah ia boleh tetap bertayammum? Sahabat-sahabat kami (maksudnya dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan ia boleh bertayamum dan tidak mesti menerima pemberian air itu karena hutang budi menerima sebuah hibah adalah sesuatu yang berat.”
Penjelasan yang lebih rinci terdapat dalam Bahrul Mazhab karya Imam ar-Ruyani :
إذا لم يجد ماء مباحا ولا فى ملكه ماء ووجد مع غيره نُظِرَ ، فإن كان بذله بغير بدل قال فى الأم : يلزمه قبوله ولا يجزيه التيمم ، ويفارق هذا إذا وجبت عليه كفارة فوهب له إنسان رقبة لم يلزمه قبولها ، وكذلك لو بذل له إنسان ثمن الماء لا يلزمه قبوله والفرق لا منة فى قبول الماء إذ أصله على الإباحة بخلاف ذاك ، وعلى هذا لو أعاره دلوا يستقي به الماء فإنه يلزمه قبوله ولو وهب منه دلو لا يلزمه قبوله . )بحر المذهب جـ 1 ص 232).
Sementara kutipan kedua dari Imam Ibnu al-‘Arabiy terdapat dalam kitabnya Ahkamul Quran II/534.