Imam Zarkasyi
HIDAYATUNA.COM – Imam Zarkasyi adalah salah seorang pendiri dan pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Ia lahir di desa Gontor, 21 Maret 1910, sebagai putera ketujuh Kyai Sntoso Anom Besari. Ibunya adalah keturunan Bupati Suriadiningrat yang terkenal pada zaman Mangkubumen dan Panembangan (Mangkunegara).
Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengarahkan Imam Zarkasyi adalah Al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda, hingga akhirnya menetap di Solo. Tahun 1935, setelah menyelesaikan pendidikan di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Tahun 1936, setelah tamat dari Kweekschool, ia diminta menjadi direktur perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Imam Zarkasyi menjalani amanah tersebut hanya selama satu tahun, karena ia melihat Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Saat itu, kakaknya Ahmad Sahal tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di Gontor. Kakaknya tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berada di luar lingkungan pendidikan.
Setelah menuntut ilmu7 di berbagai pesantren tradisional dan lembaga modern, tiga orang putera Kyai Santoso Anom akhirnya kembali ke Gontor dan pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345. Dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, mereka mengikrarkan berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu : K.H. Ahmad Sahal (1901-1977), K.H Zainudin Fananie (1908-1967) dan K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985). K.H Imam Zarkasyi menjdi direkturnya.
Selain sebagai Direktur, tahun 1943, ia diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Karesidenan Madiun. Sesudah Indonesia merderka, tahun 1946 ia diangkat menjadi kepala seksi Pendidikan pada kementrian Agama. Sejak 1948-1955 ia menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), yang selanjutnya menjadi penasehat.
Sejak awal pesantren Gontor dirancang menjadi pesantren modern yang dikenal dengan kemampuan santrinya dalam bahasa Arab dan Inggris yang aktif. Hal ini bermula dari kesulitan menemukan para ulama yang mampu berbicara dalam bahasa asing untuk menjadi utusan ke Timur Tengah pada kongres umat Islam tahun 1926, para pendiri Gontor terobsesi untuk mencetak ulama yang pandai Bahasa Arab dan Inggris.
Faktor lainnya adalah karena dunia pesantren suka dilecehkan orientalis karena kumuh, eksklusif dan mundur dalam bidang pengetahuan. Menurtnya, harus ada pesantren yang tidak kumuh, berfikiran luas, terbuka dan progresif. Santri tidak hanya dibekali pengetahuan dasar tentang Islam (ulum syariyyah), tapi juga diajari ilmu pengetahuan “umum” (ulum naqliyah atau ulum kauniyah).
Tahun 1951-1953, Imam Zarkasyi menjadi Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar di Kemetrian Agama. Tahun 1953, ia menjabat sebagai kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama. Tahun 1957, ia diangkat sebagai Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama, tahun 1957, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Petimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kemetrian pendidikan.
Kemudian tahun 1959, Imam Zarkasyi diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas). Di Pondok Modern Darussalam Gontor, ia menjadi Direktur KMI dan Pj. Rektor Institusi pendidikan Darussalam (IPD), sekarang menjadi Universitas Islam Darussalam (UID).
K.H Imam Zarkasyi memiliki banyak pengalaman sebagai delegasi Indonesia ke berbagai agenda di luar negeri, daintaranya pada tahun 1962 Imam Zarkasyi pernah menjadi anggota delegasi Indonesia yang melawat ke negara-negara Uni Soviet. Tahun 1972, ia mewakili Indonesia dalam Muktamar Majma’ Al-Buhuth al-Islamiyah (Muktamar Akademisi Islam se-Dunia) ke-7 yang berlangsung di Kairo.
Dalam perjalanan karirnya dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan Islam, Imam Zarkasyi memiliki banyak pengaruh dari posisi-posisi yang diembannya, ia menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Di Kementrian Agama, KH Imam Zarkasyi menjadi Kepala Bagian perencanaan Pendidikan Agama pada sekolah dasar (1951-1953) dan Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama pada 1953. Pada Kementrian Pendidikan ia menjadi anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta pada 1957.
Sebelum mendirikan lembaga pendidikan Pesantren dengan corak yang modern, Imam Zarkasyi bersama pendiri Pondok Modern Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang menginspirasi pembangunan Pesantren Gontor.
- Pertama Universitas Al-Azhar di Mesir, lembaga pendidikan swasta dengan kekayaan wakafnya yang luar biasa.
- Kedua, pondok syanggit di Afrika Utara yang berdekatan dengan Libya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas yang menanggung kebutuhan hidup santrinya. K
- etiga, Universitas Muslim Aligarh yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama, sehingga mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India.
- Keempat, perguruan Santiniketan di India yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabindranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan meskipun lokasinya jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik, bahkan dapat mempengaruhi pemikiran dunia.
Imam Zarkasyi memiliki pandangan bahwa pondok pesantren harus menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mengembangkan keberadaannya. Untuk itu, dipadukan beberapa sikap dasar. Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman. Untuk itu pelajaran yang diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang tepat, tanpa menyimpang dari ajaran agama.
Kedua, pondok pesantren harus dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meningkatkan mutu pendidikan dan pengajarannya.
Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program pembentukan kader untuk melanjutkan regenerasi. Diketahui bahwa hidup matinya pondok pesantren seringkali bergantung dengan hidup maitnya sosok kyai pendiri pesantren. Maka untuk memelihara kelangsungan hidup pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikan kyai pendiri tersebut.
Keempat, perlunya tata cara penyelenggaraan pondok pesantren dengan baik. Hal ini perlu dilakukan dengan upaya memperbaharui sistem penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang pada umumnya bersifat traditional. Penyelenggaraan pondok harus dapat diatur sebaik-baiknya dan bersifat seefisien mungkin, termasuk di dalamnya mengatur hak dan kewajiban kyai, para santri dan pengasuh pondok pesantren.
Dalam hal metode dan sistem pendidikan, Gontor menerapkan sistem pendidikan “klasikal” yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sistem “klasikal” ini dinilai sebagai bentuk pembaharuan berbeda dengan sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren model lama.
Hal inilah yang ditempuh K.H Imam Zarkasyi dalam rangka menerapkan efisiensi dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat menghasilkan produk yang besar dan bermutu. Imam Zarkasyi juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler, berupa kegiatan di luar jam pelajaran, seperti olahraga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab, Inggris), pramuka dan organisasi pelajar. Semuanya ini dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler dalam wadah sistem pesantren yang diselenggarakan oleh santri sendiri (student goverment).
Berkenaan dengan pembaharuan kurikulum yang ditetapkan Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah memadukan pendidikan agama dan umum. Pelajaran agamanya meliputi : tafsir, hadits, fikih, dan ushul fikih. Sedangkan pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya.
Pelajaran ilmu alat, yaitu ilmu nahwu dan sharaf diberikan kepada santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar berbicara dan memahami struktur kalimat. Pelajaran seperti Balaghah dan Adabullughoh baru diajarkan pada saat menginjak kelas VI. Demikian halnya dengan bahasa Inggris, grammar baru diajarkan ketika santri menginjak kelas III. Materi bahasannya sudah diajarkan sejak kelas I dengan penekanan pada keseharian.
Khusus pengajaran bahasa Arab ini dilakukan dengan metode langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif dengan memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa.
Dalam penguasaan bahasa ini, Imam Zarkasyi menetapkan semboyan Al-kalimah al wahidah fi alfi jumlatin khairun min alfi kalimatin fi jumlatin wahidatin ( kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja).
Imam Zarkasyi menghasilkan beberapa karya tulis yang sebagian besar merupakan buku pelajaran yang digunakan di Pondok Modern Gontor beserta seluruh cabangnya dan ebberapa pondok alumni. Sebagian ditulisnya sendiri, dan beberapa lainnya ditulis dengan saudara atau santri seniornya. Berikut beberapa karya tulis yang telah dihasilkan oleh Imam Zarkasyi, diantaranya : Senjata Penganjur, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Bahasa Islam.
Adapun buku-buku yang ia tulis sendiri adalah Ushuluddin, Pelajaran Fikih dan II, Pelajaran Tajwid, Bimbingan Keimanan, Qawaidul Imla’, pelajaran Huruf Al-Qur’an Jilid IA, IB dan II. Sedangkan buku-bukunya yang ditulis bersama Ustadz Imam Subani adlah Pelajaran Bahasa Arab (Durus al-Lughoh al-‘Arabiyah) I dan II beserta kamusnya, At-Tamrinat , I,II,III beserta kamusnya, I’rabu Amsilah al-Jumal, Jilid I dan II.