Ilmu Kalam yang Dicela Imam Syafi’i
HIDAYATUNA.COM – Telah masyhur bahwa beberapa tokoh ulama salafus shalih melarang dan mencela ilmu kalam. Banyak orang yang gagal paham dengan celaan itu sehingga mencela ilmu kalam secara mutlak.
Pasalnya mereka tidak mengerti konteksnya, ketika para tokoh tersebut berbicara di masa mereka. Banyak sekali ulama yang menjelaskan konteks larangan dan celaan tersebut dalam kitab-kitab mereka.
Saya pernah menulis sebagian penjelasan Imam Baihaqi dan Imam Ibnu Asakir tentang hal ini dalam artikel. Penjelasan yang lebih panjang dapat dibaca dalam Tabyin Kadzib al-Muftari.
Kali ini saya akan menukil penjelasan apik dari Imam Bahauddin Abdul Wahab al-Ikhmimi (764 H). Ia seorang pakar Fikih dan Kalam terkemuka murid Imam Taqiyuddin as-Subki.
Dalam bahasa yang lugas beliau menjelaskan:
وأما ذم الشافعي وغيره علم الكلام فمرادهم بعلم الكلام – بإجماع المسلمين – هو: الكلام النافي عن الله ما علم ثبوته له بكتابه عز وجل أو بسنة نبيه أو بإجماع أمته أو بدليل عقلي تنتهي مقدماته إلى الضروريات، أو المثبت لله ما لم يعلم بواحد من هذه الطرق الأربعة.
Artinya :
“Adapun al-Syafi’i dan lain-lain, yang mereka maksud dengan ilmu kalam –berdasarkan konsensus umat Islam – adalah: Pendapat yang menafikan dari Allah apa yang diketahui telah ditetapkan bagi-Nya berdasarkan: (1) Alquran, (2) Sunnah Nabi, (3) konsensus ulama, (4) berdasarkan dalil rasional yang kesimpulannya jelas benar bagi semua orang. Atau pendapat yang menetapkan bagi Allah apa yang tidak bisa diketahui dari salah satu sumber yang empat tersebut.”
وأما الكلام المثبت لما يجب لله، النافي لما يستحيل على الله، المتوقف على ما لم يعلم امتثالاً لنهيه عز وجل عن اتباع الظن، ولقوله إن الله سكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها فلم يدع تحريمه المطلق إلا مبتدع يخاف أن تبطل شبهته وأن ترد عليه
Artinya :
“Adapun kalam yang menetapkan apa yang pasti dimiliki oleh Allah, menafikan apa yang mustahil atas Allah, yang diam dari komentar. Terhadap apa yang tidak diketahui karena mengikuti perintah yang melarang mengikuti prasangka, dan berdasarkan sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Allah mendiamkan banyak hal karena kasih sayang terhadap kalian. Bukan karena lupa, maka jangan dibahas”, maka tidaklah menolak ilmu kalam (yang semacam ini) secara mutlak kecuali ahli bid’ah yang takut syubhatnya dibatalkan dan dibalikkan pada dirinya sendiri.”
(al-Ikhmimi, Risalah Fi ar-Radd ala Ibn Taymiyah Fi Mas’alah Hawadits La Awwala Laha)
Jadi, ilmu kalam dapat dibagi menjadi dua macam, yakni yang tercela dan terpuji. Adapun yang tercela adalah yang menyimpang, seperti misalnya ilmu kalamnya Ibnu Taymiyah yang menetapkan hawadits la awwala laha dan menetapkan kejisiman Allah sebagai sebuah keniscayaan wujud.
Silakan baca buku saya “Kerancuan Akidah Wahabi” untuk mengetahui isu kalam Ibnu Taymiyah ini lebih mendalam. Adapun ilmu kalam yang membela ajaran ahlussunnah, yakni Kalam Asy’ariyah-Maturidiyah, maka hanya ahli bid’ah yang mencela dan melarangnya,