Ikhwan Al-Shafa dan Filsafat Angka
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam kajian filsafat Islam, ada beberapa tokoh muslim yang berjasa besar dalam perkembangan kajian ilmu ini.
Sebut saja di antaranya adalah al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Rusyd, Ikhwan al-Shafa, Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi.
Ignaz Goldziher, dalam bukunya, Mazhab Tafsir: dari Klasik hingga Modern menyebut bahwa Ikhwan al-Shafa adalah sebuah gerakan keagamaan filosofis yang memiliki persinggungan dengan tasawuf dan Islam.
Dalam perjalanan sejarah khazanah keilmuan Islam sendiri, baik dalam bidang ilmu tafsir ataupun kajian terkait filsafat Islam, nama Ikhwan al-Shafa memang sudah tidak asing lagi.
Nama tersebut menarik perhatian dari orang-orang yang mengkaji perkembangan pemikiran Arab dan Islam.
Asal-usulnya yang cukup misterius justru menjadi daya tariknya tersendiri untuk dikaji, meski hingga saat ini jati diri yang sesungguhnya dari kelompok ini belum terkuak secara gamblang.
Para pegiat perkembangan pemikiran Arab dan Islam sejauh ini baru mampu mendeskripsikan sosok Ikhwan al-Shafa secara terbatas.
Filsafat Angka Membaca selintas teks rasa’il akan menemukan bahwa betapa besar perhatian Ikhwan al-Shafa pada angka.
Sebaliknya, seseorang mempelajari terlebih dahulu matematika dan bilangan sebelum mempelajari cabang-cabang pengetahuan lain (yang lebih tinggi), seperti fisika, logika dan ketuhanan.
Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa,
“Keyakinan Phytagorean bahwa sifat dasar hal-hal yang diciptakan adalah sesuai dengan sifat dasar bilangan’’
Serta menyatakan, “Inilah mazhab pemikiran Ikhwan al-Shafa kami.”
Mereka juga mengikuti kaum Phytagorean dalam hal kepeduliannya yang besar pada angka-angka tertentu. al jbc yang tonxc yang jnbbbbg b yngah bbbhxcbuy
Secara khusus, Ikhwan al-Shafa memberikan perhatian khusus terhadap angka empat, suatu penghormatan yang melampaui bidang matematika murni di mana mereka menaruh perhatian.
Misalnya pada empat musim, empat angin, dan empat arah mata angin. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia.
Kecapi mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan di balik pemuliaan terhadap angka tertentu semacam ini mudah ditemukan.
Tuhan menciptakan banyak hal dalam kelompok empat-empat dan materi-materi alam tersusun dalam formasi susunan empat-empat yang pada dasarnya selaras dengan prinsip spiritual yang berkedudukan di atas mereka yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal dan Materi Pertama.
Menurut Ikhwan al-Shafa, seseorang dapat belajar tentang keesaan Tuhan jika ia dapat mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan angka.
Ikhwan al-Shafa juga menyatakan jika Phythaghoras percaya bahwa yang kedua menuntun ke yang pertama.
Meskipun mereka mencurahkan perhatian pada bilangan, Ikhwan al-Shafa berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum Phythagorean.
Kesalahan apakah itu? Yakni kesalahan seperti yang dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang diangkakan menjadi rancu.
Mereka juga menolak gagasan-gagasan Phythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi).
Mereka lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di bumi lah yang dapat memasukan manusia ke dalam Surga.
Bilangan merupakan kendaraan bagi doktrin Ikhwan al-Shafa. Teori dari Phythagoras mengenai sifat-sifat bilangan seperti proporsi, progresi dan lain-lain.
Serta hubungannya, secara lebih spesifik dalam konteks hubungan mistik, dengan kehidupan manusia serta dengan kondisi manusia setelah hidup didunia ini, sangat menarik bagi imajinasi Ikhwan al-Shafa.
Ikhwan al-Shafa membagi bilangan menjadi dua kelompok yakni satu dan seri. Kelompok bilangan seri ini dimulai dari bilangan dua sampai tak terhingga.
Bilangan satu memiliki arti kesatuan mutlak dan tidak bisa dibagi, tidak dapat diperkecil dan tidak dapat diperbesar.
Dari situlah semua bilangan berasal. Bilangan dua terbentuk dengan cara mengulangi satu dua kali dan bilangan-bilangan lainnya dibentuk dengan menambahkan satu.
Jadi karakter bilangan satu itu merupakan faktor bagi setiap bilangan berikutnya. Akrobatisme yang lihai ini tidak pelak lagi membuahkan statemen berikut ini, yakni statemen yang separuh bersifat teologis dan yang satu bersifat metafisik.
Karena pada hakikatnya satu itu berbeda dari segala bilangan yang berasal daripadanya, maka Yang Satu (Tuhan) pun tidak sama dengan atau berbeda dari segala wujud atau makhluk yang berasal dari Dia. []