Ikhlas

Teladan Imam Syafi’i tentang Keikhlasan dan Ketulusan
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عَمَرَبْنِ الْخَطَّابَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَعَلَى آلَهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : <<إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيِّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهُ وَرَسُوْلِهِ؛فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ. وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَايُصِيْبُهَاأَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا؛فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَإِلَيْهِ >>.
(رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُوْعَبْدِاللَّهِ مُحَمَّدُبْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغْيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهْ الْبُخَارِيُّ وَأَبُوالْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجِّ بْنِ مُسْلِمٍ اَلْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَااللَّذَيْنِ هُمَاأَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ).
Dari Amiril Mukminin Abu Hafsh, ‘Umar bin Khaththab R.A, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.’”
(Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu’ Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits).
Hadist ini adalah hadist shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya, dan didalamnya mengandung banyak mamfaat. Imam Abu ‘Abdullah Al Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya. Hadits ini merupakan salah satu pokok penting ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata; “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata Imam Baihaqi dan lain-lain. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat dalam hati, ucapan, dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwatkan dari Syafi’i, berkata; “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih.” Sejumlah ulama mengatakan “Hadits ini mencakup sepertiga ajaran Islam.”
Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Diantara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Abu “Abdullah Al Bukhari. “Abdurrahman bin Mahdi berkata; “Bagi setiap pengarang buku seyogyanya memulai tulisannya dengan hadits ini untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya.”
Hadist ini disbanding dengan Hadits-Hadits lain adalah Hadits yang sangat terkenal, Hadits ini adalahHadits Ahad, karena hanya diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khaththab dari Nabi SAW. Dari ‘Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari dua ratus orang rawi yang meriwayatkan dri Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para imam.
Pertama, kata “innamaa”bermakna “hanya/pengecualian”, yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya. Misalnya, kalimat pada firman Allah:
اِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ
Artinya : Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman. (Q.S. Ar Ra’d (13) ayat 7)
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi SAW hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah;
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَالَعِبٌ وَلَهْوٌ
Artinya : Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan (Muhammad (47) ayat 36).
Kalimat tersebut secara sepintas -Wallaahu a’lam- menunjukkan bahwa pembatasan tersebut berkenaan dengan akibat atau dampaknya. Adapun bila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka ada kalanya kehidupan dunia ini menjadi wahana untuk berbuat kebajikan. Disebutkannya kesenangan dan permainan sebagai sifat kehidupan dunia adalah untuk menyatakan keadaan pada umumnya. Artinya, kebanyakan manusia hidup di dunia hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main.
Dengan demikian, kalau disebutkan kata “hanya” di dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan. Jika dari susunan kalimatnya menunjukkan arti pengecualian secara khusus, maka harus dipakai dalam pengertian itu. Akan tetapi, jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pengecualiam secara khusus, maka hendaklah dipakai dalam pengertian pembatasan/pengecualian secara umum atau mutlak.
Pada hadits ini, kalimat “segala amal hanya menurut niatnya”, yang dimaksud dengan amal di sini adalah semua macam amal yang dibenarkan syari’at. Maksudnya, segala macam amal yang dibenarkan syari’at yang dilakukan tanpa niat, menjadi tidak bernilai apa-apa menurut agama seperti, wudhu’, mandi, tayammum, shalat, zakat, puasa, haji, I’tikaf dan ibadah-ibadah lainnya. Adapun menghilangkan najis tidak perlu niat, karna perbuatan ini termaksud perbuatan menghilangkan yang tidak baik, jadi tidak periu niat. Segolongan ulama berpendapat bahwa wudhu’ dan mandi tetap sah sekalipun tanpa niat.
Tentang sabda Rasulullah SAW, “semua amal itu tergantung niatnya”, para ulama berbeda pendapat tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat itu sebagai syarat, yaitu amal itu sah hanya apabila disertai niat; dan sebagian lainnya memahami niat itu sebagai penyempurna, maksudnya amal itu menjadi sempurna bila disertai niat.
Kedua, kalimat “dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”oleh khathabi dijelaskan bahwa kalimat tersebut menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya, yaitu menegsakan bahwa sah atau tidaknya amal itu bergantung kepada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An Nawawi menerangkan bahwa niat itu menjadi syarat sah suatu amal. Sekiranya seseorang mengqadha’ shalatnya yang telah luput, dinilai tidak sah tanpa niat qadha’.Jadi, dia harus berniat apakah shalat dhuhur atau shalat ‘Ashar atau yang lain. Sekiranya kalimat kedua di atas menetapkan pengertian seperti yang pertama, niscaya dibenarkan mencukupkan niat tanpa mengkhususkan perbuatannya, atau asal sudah niat shalat. Wallaahu a’lam.
Ketiga, kalimat “dan barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya”.Menurut penetapan ahli Bahasa Arab bahwa kalimat syarat dan jawabannya, begitu pula mubtada’(subjek) dan khabar (predikat) haruslah berbeda, sedangkan di dalam kalimat di atas ternyata keduanya sama. Karena itu, kalimat syaratnya bermakna niat atau maksud, baik secara bahasa maupun syari’at, maksudnya barang siapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rasul-Nya, maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hadits ini memang muncul karena suatu sebab, yaitu adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah, karena itu dia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallaahu a’lam.
Sumber : Buku Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi hal; 15-19