Ijtihad Fatkhul Qarib Mbah Wahab dalam Menjawab Persoalan Kebangsaan
HIDAYATUNA.COM – Mbah Wahab atau KH Wahab Chasbullah merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau juga merupakan pahlawan nasional yang rekam jejaknya mewarnai masa-masa perjuangan menyongsong dan mengisi kemerdekaan.
Selain sebagai seorang ulama beliau merupakan politisi ulung yang dikenal cerdik. Oleh karena itu tidak jarang Soekarno, Presiden pertama Indonesia meminta saran beliau ketika ingin mengambil suatu keputusan penting.
Diantara peninggalan beliau yang masyhur dan dipraktekkan sampai sekarang adalah tradisi “Halal bi Halal” ketika Idul Fitri. Tradisi Halal bi Halal ini dicetuskan setelah Soekarno meminta saran kepada Mbah Wahab ketika situasi politik memanas sehingga perlu dilakukan suatu hal untuk mendinginkan dan mendamaikan suasana.
Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengupas hal di atas, akan tetapi cerita lain yang tidak kalah menarik. Cerita ini juga ada kaitannya dengan bapak proklamotor bangsa Indonesia.
Menjadi Penasihat Presiden Soekarno
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia bersitegang dengan perintah kerajaan Belanda perihal Irian Barat. Ketika itu Presiden Soekarno mengeluarkan ultimatum agar Belanda segera mnyerahkan Irian Barat kepangkuan ibu pertiwi maksimal tahun 1960.
Namun Belanda begitu ngotot untuk tetap menduduki Irian Barat dan tidak punya niatan untuk menyerahkannya sebagaimana kesepakatan perjanjian. Perundingan-perundingan yang sudah dilakukan selalu mengalami jalan buntu.
Dalam masa-masa demikian Soekarno senantiasa meminta petunjuk dari para ulama sepuh, salahsatunya dengan menghubungi Mbah Wahab di Tambakberas Jombang.
Presiden Soekarno menanyakan bagaimana hukumnya ketika orang lain menduduki wilayah kekuasaan bangsa Indonesia dan apa yang harus dilakukan.
Mbah Wahab menyampaikan jika ada orang yang menduduki wilayah seseorang tanpa izin sama halnya dengan “ghosob”. Soekarno bertanya kembali “Apa arti ghosob Kiai?” Mbah Wahab Menjawab, “Ghosob itu istihqaqu malil ghair bighairi idznihi (menguasai hak milik orang lain tanpa izin)”
“Lalu bagaimana solusi menghadapi orang yang ghosob?” tanya Soekarno menelisik lebih jauh. “Adakan perdamaian,” jawab Mbah Wahab dengan tegas.
Keadaan saat itu begitu genting dan bisa dipastikan jika dilakukan perundingan pasti akan kalah, Mbah Wahab sangat tahu dengan hal itu. Soekarno heran dengan jawaban tersebut dan bertanya kembali, kenapa tidak langsung potong kompas dengan menyerang mereka?
Dengan penuh ketegasan Mbah Wahab menjawab, dalam syariah itu tidak boleh dipotong kompas atau dilompati begitu saja.
Mbah Wahab Rujukan Solusi Persoalan Negeri
Setelah mendengar jawaban dan pendapat Mbah Wahab, Soekarno kemudian mengutus Soebandrio untuk melakukan perundingan terakhir mengenai posisi Irian Barat. Benar saja, sesuai dengan prediksi sebelumnya ketika dilakukan perundingan Indonesia mengalami kegagalan.
Kegagalan dalam perundingan tersebut disampaikan kepada Mbah Wahab, sambil menanyakan solusi berikutnya. Mbah Wahab mengatakan, “Azkhodzahu Qohron! (Ambil dan kuasai dengan paksa).”
Soekarno pun heran, apa sebenarnya rujukan Mbah Wahab dalam menyelasaikan persoalan ini. Mbah Wahab kemudian memberitahu jika beliau mengambil literature dari kitab Fatkhul Qarib dan Syarah Al-Bayjuri.
Akhirnya pasukan bersenjata yang tergabung dalam barisan Komando Mandala dan ultimatum Trikora (Tiga Komando Rakyat) diturunkan. Hal ini untuk melakukan penyerbuan dan merebut Irian Barat kepangkuan NKRI.
Bagi kalangan pesantren tentu tidak asing dengan kitab Fatkhul Qarib dan Syarah Al-Bayjuri yang merupakan kitab fikih dasar yang umum dipelajari oleh para santri.
Kitab kuning yang umumnya dipahami hanya berisi muatan dan tuntunan mengenai keagamaan jika dipelajari lebih jauh dapat digunakan memecahkan berbagai persoalan, termasuk persoalan kebangsaan.
Ini menunjukkan sangat besarnya kapasitas keulamaan Mbah Wahab yang dengan kecerdasan dan kecerdikan mampu mengkontekstualisasikannya dalam persoalan kebangsaan.