Idulfitri: Momentum Merefleksikan Hidup di Tengah Keberagaman Selepas Ramadhan

 Idulfitri: Momentum Merefleksikan Hidup di Tengah Keberagaman Selepas Ramadhan

Salat Tarawih (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Ramadhan baru saja berlalu, kepergiannya menyisakan kesedihan, sedih bilamana Ramadhan depan tak dapat lagi menjumpai kita. Tapi setidaknya ada satu kebahagiaan yang harus kita sadari betul, bahwa bulan Ramadhan, telah menyuguhi begitu banyak pembelajaran yang amat berharga.

Bulan Ramadhan bak madrasah yang teramat istimewa. Melaluinya, manusia diajari bagaimana untuk hidup yang sesungguhnya. Mulai dari bagaimana menahan hawa nafsu, mensucikan dirinya dari segala perbuatan negatif, bagaimana berhubungan dengan Tuhan maupun berhubungan dengan sesama manusia sendiri. Tentu kesemuanya sesuai dengan ajaran Islam.

Yusuf Qardhawi (2017) menjelaskan bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang menyeluruh, yang mewarnai hidup ini dengan warna ke-Tuhan-an, menunjukkannya ke arah akhlak mulia. Membuatkan baginya kerangka, tonggak, dan batas yang dapat menjaga arah perjalannya, mengingatnya dengan tujuan-tujuannya. Menghindarkannya dari penyimpangan, jauh ke dalam lubang, atau tersesat di berbagai simpang jalan.

Saya kira betul dan saya sangat sepakat, bahwa kita bisa melihat sendiri, Islam telah memberikan satu momentum yang amat istimewa yaitu bulan Ramadhan. Terlepas momentum itu adalah tempat penempaan diri, mengajari tentang kesabaran, keadilan, kedermawanan, kegigihan dan lain sebgainya.

Ternyata, Ramadhan itu juga telah mengajari manusia agar menjadi khalifah yang baik, bagaimana harus bersikap bijaksana. Bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia secara damai, menghormati perbedaan dan menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah.

Barangkali inilah nilai-nilai kehidupan sesungguhnya, yang harus terus kita implementasikan di setiap jengkal kehidupan, terlebih di tengah hidup dalam keberagaman kita.

Refleksi atas Hidup dalam Keberagaman

Selepas Ramadhan, kita diberikan satu momen yang tidak kalah istimewanya, yaitu Idulfitri. Ibarat kata, manusia melalui Ramadhan telah ditempa dengan sedemikian rupa hingga tuntas. Lalu manusia diberi satu waktu untuk menikmati kemenangan atas tuntasnya tempaan di bulan ramadhan tersebut.

Idulfitri selain menjadi momentum untuk merayakan kemenangan dan menikmati kebahagiaan, juga menjadi moment paling tepat untuk merefleksikan kehidupan. Bagaimana kehidupan kita ke depan, bagaiaman harus menyikapi perbedaan, tidak lain agar demi terbangunnya sebuah peradaban sosial yang bagus di tengah keberagaman.

Pasalnya, tidak dipungkiri, bahwa Indonesia sejak dulu hingga kini telah dilumuri mentalitas yang tumbuh dengan berbagai konflik. Friksi maupun ego kelompok masing-masing, yang bahkan masih mewarnai bangsa ini hingga detik ini.

Oleh sebab itu, kita sebagai manusia yang beragama, terlebih beragama Islam, seharusnya mampu memanfaatkan Idulfitri. Menjadikannya sebagai satu mementum atau menjadikan satu media strategis untuk masing-masing individu atau bahkan masing-masing kelompok. Hal itu ditujukan agar memiliki semangat fitrah untuk menapaki masa depan dengan bersama-sama, saling merangkul dalam perbedaan.

Menunjukkan Islam Rahmatan lil Alamin di Idulfitri

Merefleksikan hidup melalui momentum Idulfitri ini, berarti kita dengan sadar mampu mengambil nilai-nilai ajaran Islam, yakni misalnya, saling memaafkan, penuh toleran. Pun menghormati kemanusiaan, dan membangun hegemoni islam melalui sikap dan perilaku yang dapat menciptakan kedamian di muka bumi ini.

Kalau melihat pergerakan Islam, kini yang tampak adalah wajah ektrem, keras. Sebab, kalau kita sadari ini terlahir dari sebagian umat islam  yang tak mau menerima keberagaman.

Inilah yang harus kita respon bersama-bersama. Agar wajah Islam kembali seperti sedia kala, santun dan penuh kasih sayang. Terlebih Islam secara keseluruhan pemeluknya, mampu menerima keberagaman dengan baik.

Kehidupan yang beragam, acapkali menimbulkan perselisihan, tetapi saya kira perbedaan itu bisa diterima hanya dengan kesadaran yang nyata. Misalnya dalam bersikap, agar tidak mudah terprovokasi oleh pernyataan-pernyataan yang mengarah pada peperangan yang berujung pada perpecahan dan inilah momen yang tepat untuk merefleksikan hal-hal demikian itu.

Sebagai penutup, saya sampaikan bahwa Islam bukan agama yang haus darah. Islam melarang pemaksaan akidah, apalagi dengan cara kekerasan.

Islam adalah agama yang santun, bijaksana, pemaaf, kasih sayang dan menunjung tinggi nilai-nilai toleransi demi terciptanya kedamaian di dalam keberagaman.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah senantiasa merahmati kehidupan kita. Aamiin.

Rojif Mualim

https://hidayatuna.com

Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengajar dan Peneliti, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *