Ibnu Batutah, Sang Pengembara Dunia
HIDAYATUNA.COM – Ialah Ibnu batutah, seorang Muslim yang berkelana berkeliling dunia pada abad pertengahan dengan hanya berberkal kepercayaannya kepada Allah swt. Lahir dengan nama Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Al-Lawati Ath-Thanji bin Batutah. Ibnu Batutah lahir pada 17 Rajab 703 H di kota Thanjah, Maroko. Ia lahir dalam keluarga Ulama Fiqih di Thanjah.
Menuju Tanah Suci
Ibnu Batutah pergi meninggalkan kota kelahirannya pertama kali di usianya yang ke 22 dengan maksud menunaikan ibadah haji di tanah suci dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Ibnu Batutah muda bertekad meninggalkan orang-orang yang ia cintai termasuk kedua orang tuanya yang saat itu masih hidup. Perjalannanya ke kota suci Makkah membutuhkan waktu enam belas bulan, dan ia tak pernah kembali ke Maroko setelah dua puluh empat tahun sejak kepergiannya.
“Aku keluar meninggalkan Thanjah, tanah kelahiranku pada kamis, tanggal 2 Rajab tahun 725 H, dengan maksud menunaikan ibadah haji di tanah suci dan berziarah ke makam Rasulullah Saw. Aku melakukan perjalanan ini sendiri, tanpa teman yang mengiringi. Hal ini didorong oleh tekad yang sangat kuat dan kerinduan mendalam pada ma’had yang mulia (Makkah dan Madinah). Aku bertekad meninggalkan orang-orang yang kucintai, laki-laki maupun perempuan. Kutinggalkan negeriku, laksana burung meninggalkan sarangnya. Waktu itu kedua orangtuaku masih hidup, dan aku berusia 22 tahun. Meninggalkan mereka berdua adalah suatu beban berat yang melelahkan”.
Ibnu Batutah melakukan perjalanan di era kekuasaan Amirul Mukminin, Nashiruddin sang mujahid yang kedermawanannya populer dari mulut ke mulut. Dan tak hanya sekedar isu, kedermawanan beliau ini tampak secara kasat mata. Ia berangkat ke Mekkah melalui jalur darat, menyusuri kawasan pesisir Afrika Utara dan sampai di kota Tilmisan (Tlemecen) yang kala itu dikuasai oleh Abu Tasyfin Abdurrahman. Pada pertengahan musim panas, ia tiba di kota Milyanah kemudian melanjutkan perjalanan bersama dengan beberapa saudagar Tunisia.
Setelah melewati Milyanah, ia juga melewati kota Bijayah, kota Bunah, kota Tunis dan kota Tunisia, dimana ia melaksanakan masa hari raya Idul Fitri di sana. Ia pun berangkat bersama rombongan khafilah yang menuju tanah Hijaz (Arab Saudi) yang dipimpin oleh Abu Ya’qub As-Susi. Ia sering kali berangkat dengan khafilah yang menuju Hijaz agar terhindar dari perampok. Pada akhir bulan Dzulqa’dah, ia dan khafilahnya meninggalkan Tunisia dan melewati beberapa kota, hingga ia tiba di Iskandariyah.
Perjalanan pun dilanjutkan dan ia tiba di Mesir. Ibnu Batutah merasa takjub dengan makam-makam yang ada di Mesir, juga sungai Nil yang dihiasi dengan tanaman-tanaman yang indah. Ia meneruskan perjalanan melewati dataran tinggi. Ia pun kemudian bermalam di Ribath yang dibangun dengan sanagt mewah oleh Tajuddin bin Hana’. Perjalanan panjang ia tempuh dari Mesir hingga ia tiba di Damaskus. Di sinilah ia banyak belajar dan mengaji kepada para ulama hingga mendapakan ijazah dari semua ulama yang ia datangi. Salah satu tempat ia belajar adalah Masjid Bani Umayyah, dimana ia mengikuti kajian kitab Ash-Shahih dan juga kitab Shahih Bukhari. Diantara ulama yang memberinya ijazah adalah Syaikh Abu Al-Abbas Al-Hijazi.
Lelahnya menempuh perjalanan jauh menuju tanah Hijaz tidak sebanding dengan kebahagiaan yang dirasakan ketika menginjak Kota Madinah. Ibnu Batutah memasuki masjid Nabawi bersama kafilahnya. Empat hari bermukim di Madinah menuntaskan keinginannya untuk berziarah ke makam Rasulullah dan tempat-tempat bersejarah lainnya, merekapun melanjutkan perjalanan menuju Makkah, menuju tujuan utama mereka untuk melaksanakan ibadah Haji.
Selesai melaksanakan ibadah Haji, ia banyak berziarah ke makam-makam penguasa yang ada di Irak dalam perjalanan kembalinya dari mendapatkan gelar Al-Hajj. Dari Irak, ia tak kembali bersama rombongannya ke Maroko, namun ia bertolak ke kota Persia selama enam bulan. Ia melewati kota Syarif, Wasith, Basrah dan Syiraz sebelum akhirnya tiba di Baghdad. Ibnu Batutah sampai di bagian barat Baghdad yang sebagian wilayahnya porak-poranda. Ia pun bertemu dengan Abu Said, seorang pemimpin Mongol terkahir sebelum daerahnya hancur. Awalnya ia ikut bersama rombongan Abu Said, namun di dalam perjalanan ia memisahkan diri dan mengambil Jalur Sutra menuju Tabriz, kota besar pertama yang membuka gerbangnya bagi bangsa Mongol.
Jazirah Arab
Dari Tabriz, Ibnu Batutah kembali ke Baghdad dan singgah di Mosul. Sesampainya di Baghdad ia menemui Amir Makruf Khawajah dan ia pun diantarkan untuk bertemu pimpinan khafilah yang bernama Al-Bahlawan yang berbuat baik kepadanya selama perjalanan menuju Haji-nya yang kedua. Sesampainya di Kufah, Ibnu Batutah terserang penyakit dan Al-Bahlawan datang mengunjunginya beberapa kali dalam sehari. Ia memeriksa keadaan Ibnu Batutah yang hingga tiba di Makkah belum juga sembuh.
Pada tahun 728 H, ia melaksanakan ibadah hajinya yang kedua, ia menetap di Mekkah selama setahun dimana banyak para ulama Mesir yang bermukim di Mekkah, diantaranya Tajudin bin Al-Kubak, Nuruddin Al-Qadhi. Selama bermukim di Makkah, ia tinggal di Madrasah Al-Muzhafariyah dan menetap di Mekkah hingga tahun 730 H.
Setelah berakhirnya musim haji di tahun 730, Ibnu Batutah bertolak menuju Yaman. Selama perjalanan ia singgah di Hadah, sebuah kota antara Jeddah dan Makkah. Dari sana, ia berlayar untuk pertama kalinya menuju Yaman. Sesampainya di Yaman, ia bertemu dengan peguasa Yaman, yaitu Nurudin Ali bin Sultan Al-Muayyad Hazbarudin Dawud bin Sultan. Ibnu Batutah juga mengunjungi kota Aden dan Taiz.
Daratan Afrika
Somalia, adalah kota pertama yang disinggahi Ibnu Batutah di daratan Afrika yang ia gambarkan sebagai “sebuah bandar yang luar biasa besarnya”. Ia kemudian singgah ke kota Moghadisu yang terkenal dengan kain yang bermutu tinggi. Banyak saudagar kaya yang ia temui di sana. Dari kota bandar yang penuh saudagar ini, ia melanjutkan perjalanan dengan berlayar menuju kawasan pesisir Shawahiliyah. Diantara kota-kota pesisir yang ia singgahi adalah kota Mombasa, yang meskipun saat itu merupakan negara yang kecil, namun dikemudian hari kota ini menjadi sebuah Bandar terkemuka pada abad berikutnya.
Selanjutnya adalah kota Kulwa, yang kini berada di wilayan Tanzania. Bandar Kulwa merupakan pusat persinggahan penting perniagaan emas yang sangat penting kala itu. Dalam catatan perjalanannya, ia banyak memuji Sultan Kulwa yang sangat dermawan dan kerendahan hatinya. Ia juga menggambarkan eloknya bandar ini yang tata letak kotanya dibangun dengan sangat indah. Pada masa inilah dibangun Istana Husuni Kubwa dan perluasan besar-besaran terhadap masjid Agung Kulwa yang menjadi Masjid terbesar yang dibangun menggunakan batu karang.
Setelah mengagumi kota Kulwa, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan menuju Oman setelah menempuh perjalanan selama enam hari melewati padang pasir. Oman merupakan negeri yang subur, yang menghasilkan beraneka ragam buah. Ibnu Batutah kemudian meninggalkan Oman dan menuju Hormuz setelah menginap 16 hari lamanya di sana. Dari Hormuz, Ibnu Batutah kembali ke Makkah dengan berlayar dengan tujuan menunaikan Ibadah Haji yang ketiga kalinya.
Anatolia
Setelah menunaikan ibadah haji, Ibnu Batutah berangkat menuju Jeddah dengan maksud berlayar menuju Yaman dan India, namun karena niat berlayarnya tidak kesampaian ia pun mmenetap di Jeddah selama 40 hari hingga akhirnya ia dapat berlayar menuju Idzab. Dari sana mereka menempuh perjalan hingga berhasil berlayar menuju dataran Turki yang disebut Romawi. Kota Romawi pertama yg mereka singgahi adalah Alanya. Kota ini adalah kota besar yang berada di pesisir pantai yang dihuni oleh orang-orang Turkuman.
Dari Alanya, mereka terus menyusuri pesisir pantai hingga tiba di Egirdir, ibu kota Bani Hamidi dimana ia menghabiskan bulan Ramadhan di sana. Catatan perjalanan Ibnu Batutah dari Egidir menuju kota-kota di Anatolia banyak diragukan oleh para sejarawan. Banyak dari sejarawan meyakini kunjungan Ibnu Batutah ke kota-kota di Anatolia, namun tidak sesuai dengan urut-urutan seperti yang ia catatkan. Seperti yang di catatkan Ibnu Batutah, bahwa ia mengunjungi Erzurum kemudian Birgi, yang seakan perjalanannnya hanya dilakukan sebentar saja, padahla jarak kedua kota tersebut 1.160 km.
Asia Tengah
Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan ke salah satu kota terbesar di Turki, yaitu Kota Majar. Di sinilah ia bertemu Sultan Al-Mu’zham Muhammad Uzbek Khan. Beliau adalah satu diantara tujuh raja besar dunia. Sultan Uzbek Khan melindungi kerajaannya dari Konstantinopel yang Agung. Ia adalah raja yang bersungguh-sungguh dalam berjihad. Ibnu Batutah berkesempatan duduk makan bersama sang Sultan saat ia berada di Kota Majar.
Berkat pertemuannya dengan Sultan Uzbek Khan, ia berkesempatan untuk mendatangi Konstantinopel yang agung. Kesempatan ini didapat setelah ia dengan baiknya beralasan kepada Sultan agar mengizinkannya dan rombongannya ikut bersama salah satu istrinya, Putri Bayalon yang sedang hamil unutk pulang ke kampung halamannya di Konstantinopel hingga ia melahirkan.
Perjalanannya dimulai pada tanggal 10 Syawal, dalam perjalanan itu, Bayalon Khatun diiringi oleh 5000 pasukan pengawal, dan 500 prajurit berkuda. Dalam perjalanan, mereka melewati kota Okak di pesisir pantai dan kota besar Surdaq hingga Baba Salthuq yang menjadi kota terkahir sebelum memasuki Konstantinopel. Setelah 19 hari berpisah dengan rombongan sultan, mereka tiba di Konstantinopel setelah waktu dhuhur. Kedatangan rombongan Ibnu Batutah sempat ditolak oleh penjaga gerbang Konstantinopel yang mengetahui bahwa mereka orang Islam. Namun setelah mendapatkan izin Raja, mereka pun berhasil memasuki Konstantinopel.
Namanya Tukfur, putra Raja jarjis yang mengundurkan diri dari tahtanya dan memilih untuk bertapa dan memfokuskan diri untuk bertapa di gereja. Putri Bayalon kemudian mengirimkan utusan kepada Ibnu Batutah dan rombongannya untuk bertemu raja. Pertemuan raja dan Ibnu Batutah membuat raja terkesan dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Ibnu Batutah, ia kemudian meminta kepada para pengawalnya untuk memuliakan Ibnu Batutah dan rombongannya. Ibnu batutah kemudian meminta raja untuk menugaskan seseorang yang dapat menemaninya berkeliling kota. Raja pun mengabulkan permohonannya. Ibnu batutah pun melihat Aya Sofia yang saat itu merupakan Gereja Agung. Menurut cerita, gereja itu dibangun oleh Ashif bin Burkhiya, putra bibi Nabi Sulaiman As.
Setelah sebulan lamanya ia berada di Konstantinopel, Ibnu Batutah menuju kota Sarai-Al-Jadid, ibukota kesultanan untuk melaporkan perihal kunjungannya ke Konstantinopel kepada Sultan Uzbek Khan. Ia kemudian mlanjutkan perjalanan menyebrangi Laut Kaspia, laut Aral, menuju Bukhara dan Samarkand. Di Samarkand, ia menghadap majelis istana raja Mongol, penguasa negeri Khan Tsagatai sebelum melanjutkan perjalanan se arah selatan, Afghanistan. Ia melintasi jalur lintas pegunungan Hindu Kus menuju India. Dalam catatannya ia menggambarkan pegununggan itu dengan hawa dingin yang sudah banyak membunuh banyak budak belian pengantar upeti dari India. Dari sungai Sind, ia meneruskan perjalanannya menuju Delhi dan akhirnya berjumpa dengan Muhammad bin Tughluq.
Petualangannya di Asia
Selama perjalanannya menuju Delhi, banyak hal aneh menurutnya yang ia jumpai tentang penduduk India, dimuali dari Sungai Sind dan tata aturan melewatinya, penduduk India yang membakar dirinya hingga disebar di Gangga hingga pertempuran pertama yang mereka saksikan. Sesampainya di Delhi mereka berjumpa dengan Sultan Muhammad bin Tughluq yang tersohor sebagai orang terkaya di Dunia Islam kala itu. Ia banyak memepekerjakan ulama dan ilmuan, ahli tasawuf demi memperkuat kekuasaannya.
Berbekal pengalaman belajarnya selama bermukim di Makkah, ia diangkat oleh sang Sultan sebagai kadi di Delhi. Ibnu Batutah hidup selama beberaoa tahun di Delhi hingga ia menikah dan memiliki anak di sana, meskipun pada akhirnya putrinya yang baru berumur dua tahun meninggal dunia. Banyak hal terjadi selama ia tinggal dan menetap di Delhi, diantaranya ia menjadi orang kepercayaan Sultan.
Ibnu Batutah kemudian menjadi utusan Kesultanan Delhi ke Cina. Dalam perjalanannya menuju Tiongkok, Cina rombongannya diserang oleh segerombolan penjahat, tak hanya itu salah satu kapalnya karam dan tenggelam dan juga kapal lainnya yang melanjutkan perjalanan tanpa Ibnu Batutah dirampas oleh seorang raja pribumi di Sumatra. Rombongan tersisa dari peurutan ini tidak bisa melanjutkan perjalanan dan tidak berani kembali ke Delhi karena takut dianggap tidak berhasil sebagai utusan. Ibnu batutah kemudian justru berlayar ke Kepulauan Maladewa dan bekerja menjadi kadi di sana. Ia menetap di Maladewa selama sembilan bulan.
Dari Maladewa, ia berlayar ke Sri Langka dan sempat mendaki ke puncak Gunung Sri Pada. Kemudian ia kembali ke Maladewa dan menumpang kapal menuju Tiongkok. Pada 1345 Ibnu Batutah berlayar menuju kerajaan Samudra Pasai yang ada di Sumatra, ia mengisahkan bahwa raja Samudra Pasai adalah muslim yang saleh yang bernama Sultan Al-Malik Zahir Jamaluddin. Dari Samudra Pasai, ia sempat singgah di Bandar Malaka di semenanjung Malaya selama tiga hari dan menjadi tamu raja di sana.
Di tahun yang sama, pada 1345 Ibnu Batutah berhasil tiba di Quangzhou. Ia berada di Cina kurang lebih selama satu tahun. Ia banyak melakukan perjalanan mengelilingi dataran Cina. Dan setahun kemudian di tahun 1346 Ibnu Batutah memulai perjalanannya kembali ke Maroko. Di Kalikut, ia sempat ingin kembali ke Delhi dan pasrah kepada Sultan, namun ia mengurungkan niatnya dan terus berlayar hingga Mekkah. Awalnya ia ingin menapaki jalan yang pertama kali ia lalui saat akan menuju Mekkah, namun hal itu ia urungkan setelah mendengar kabar ayahnya yang telah wafat 15 tahun lampau. Maka setelah hampir seperempat abad lamanya ia meninggalkan Maroko, akhirnya ia kembali. Berita duka kembali mendatanginya sesaat ia tiba di Maroko saat mendengar ibunya telah wafat beberapa bulan sebelum kepulangannya.
Ibnu Batutah mengakhiri perjalanan pengembaraanya setelah mendapat panggilan untuk menghadap Amirul Mu’minin Al-Mutawakkil Alallah. Ia sangat bersyukur kepada Allah karena dapat melihat wajah Amirul Mu’minin yang memancarkan keberkahan. Ia pun tinggal bersamanya setelah melewati penatnya perjalanan. Ia kemudian menuangkan seluruh cerita perjalanannya dalam sebuah buku yang berjudul “Persembahan Seorang Pengamat Tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan”.