Humor: Helm atau Peci
HIDAYATUNA.COM – Sebagai seorang muslim, gue tentu bangga. Menganut agama yang masuk akal, masuk hati, dan masuk surga, merupakan anugerah yang susah untuk tidak diekspresikan kebahagiaannya.
Dan tentu gue pun merasa ada begitu banyak muslim yang merasakan apa yang gue rasakan. Apalagi Rasullullah mengajarkan kita untuk syi’ar dan menebar nilai-nilai keislaman, Baik secara fisik maupun pemikiran.
Contoh nilai-nilai fisik yang berkaitan dengan syi’ar diantaranya seperti memelihara janggut, menutup aurat, memakai wewanggian, dan merapikan potongan rambut. Asyik, bukan ? Jadi, seorang muslim itu memang harus yang keren dan modis. Kayak gue ( ih, iya banget!).
Dikaitkan dengan lingkup masyarakat muslim di Indonesia, ada satu aksesori yang termasuk dalam kategori memberikan identitas keislaman. Hal ini tentu saja baik karena menunjukan identitas keislaman dengan hati yang ikhlas adalah sebuah bentuk syi’ar yang diajarkan. Dan aksesori itu bernama peci. Dalam Bahasa sunda disebut kopiah Dalam bahasa Ambon disebut .. gue enggak tahu dalam Bahasa Saturnus mungkin.
Terdapat dua jenis peci yang populer dalam masyarakat muslim Indonesia, yaitu : Peci hitam yang lebih nasionalis, bahkan Aseanis, karena banyak juga digunakan oleh muslim Asia Tenggara seperti Malaysia dab Brunei dan peci Putih, yang lebih dikenal dengan sebutan peci haji. Ada satu kebiasaan yang lumayan Populer sebelum naik haji, orang pakai peci hitam, setelah naik haji ganti peci putih. Tapi ngak pasti juga dan itu nggak penting. Yang penting kalau naik haji, pulangnya bawain gue peci yang mana aja, deh hehehhe..
Yang penting dan jadi masalah buat gue adalah saat seorang muslim tidak bisa menempatkan usaha Syi’arnya dengan sebuah kondisi tertentu. Contohnya apa ? Elo-elo mungkin pernah ngeliat bapak-bapak jamaah masjid atau pemuda-pemuda organisasi islam, atau ustadz-ustadz yang sering mengajar ngaji, berkendara naik motor dengan menggunakan peci, baik hitam ataupun putih, apakah ini syi’ar ? Apakah ini ciri bangga akan identitas muslim ?
Kalau iya, syukurlah karena berarti masih ada semangat keislaman dalam diri kita. Tapia pa ini lebih baik? Atau kalau kita mau lebih ekstrim, apakah ini benar ? Syi’ar memang baik. Bangga akan identitas keislaman memang bagus. Tapi, bukankah kalau naik motor kita harus pakai helm ? Mau dekat, mau jauh, mau ketemu polisi atau enggak, mau ketemu ABRI atau enggak, mau ketemu siapa-siapa juga kalau naik motor mah harus pakai helm karena dengan kita memakai helm berarti kita seenggaknya telah mengurangi resiko cedera bila terjadi kecelakaan. Apa ini Cuma masalah peci dan helm ? Tidak ! untuk para cewek, janganlah terlalu berharap Pak Polisi akan bersimpati dan tidak menilang kamu hanya karena kamu memakai jilbab.
Apa susahnya pakai helm diatas jilbab ? Nggak susah, kecuali helmnya segede biji salak.
Islam mengajarkan kita untuk bangga akan keislaman kita, tapi Islam juga mengajarkan kita untuk peduli keselamatan diri. Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an, yang artinya : dan janganlah kamu mencampakkan diri kamu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al-Baqarah [2] : 190).
Islam mengajarkan kita untuk disiplin, Islam menggajarkan kita untuk mematuhi rambu-rambu lalu-lintas. Islam mengajarkan kita untuk memilih menggunakan helm dari pada peci saat berkendara sepeda motor. Berkaitan dengan tulisan ini, gue sempat berkhayal gue sebagai orang yang fanatic sama peci. Saat naik motor gue malah pakai peci, bukanya pakai helm. Saat lewat perempatan yang dijaga polisi, gue pun dicegat polisi.
PRIIT ! PRIIT !
“Silahkan minggir dulu, Dek !”
Gue pun minggirin motor kea rah pos polisi.
“Selamat siang !” kata Pak Polisi sambil memberi hormat.
“Siang juga, pak !”
“Boleh lihat surat-suratnya ?”
“Boleh, Pak. “Jawab saya sambil ngasih SIM dan STNK plus KTP.
“Bapak lihat sendiri kan, saya orang Islam. Jadi, boleh dong saya pakai peci saat naik motor.”
“Tapi Dek Agung, naik motor itu harus pakai helm.”
“Tapi ini identitas saya sebagai muslim, Pak dan saya bangga akan hal itu.”
“Tapi tidak mesti membuat Adek mengabaikan keselamatan dan aturan, kan ?”
“Iya sih, Pak. Eh, pak Ngomong-ngomomg saya juga anggota, lho.”
“Kepolisian?”
“Bukan, Perpustakaan.”
“So what gitu, lho ?”
“Terus, gimana dong, Pak ? Saya buru-buru, nih.”
“Ya sudah, Adek boleh melanjutkan perjalanan, tapi pakai helm.”
“Tapi saya ngak bawa helm, pak !”
“Nih, pakai helm saya.”
“Lha, Bapak gimana ?”
“Saya pinjem pecinya. Kebetulan saya belum shalat ashar.”
“Lha, entar kalau saya disangka polisi gimana ?”
“Bilang aja bukan.”
“Kalau dipaksa ngaku ?”
“Bilang aja kamu polisi tidur. “
“Oke, deh … eh, priwitanya pinjem sekalian, Pak.”
“Lho, buat apa ?”
“Saya diundang jadi wasit bola tarkam.”
“Wow… cool ! Nih, pakai aja.”
“Thanks ya, Pak !”
“Oke !”
“Dah, Bapak!”
“Dah, jamur !”
Lucu nggak ? Nggak, yah ?
Hehehhehe….
Penulis : Agung Satriawan