Hukuman Mati Bagi Teroris menurut Fikih

 Hukuman Mati Bagi Teroris menurut Fikih

HIDAYATUNA.COM – Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism: “Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang”. Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Setiap negara tentu memiliki sistem hukum yang berbeda-beda. Salah satu bidang hukum itu adalah hukum pidana yang di dalamnya memuat tentang pidana mati. Sebab pidana mati memang menjadi bagian dari sistem hukum bangsabangsa. Namun dalam praktek yang terjadi pada berbagai sistem hukum itu juga sangat beragam.

Di Indonesiapun sesungguhnya terlihat adanya beberapa perbedaan sistem hukum. Misalnya di Indonesia saat ini ada hukum yang berlaku secara formal dan ada hukum adat dan hukum Islam. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan “balas dendam” semata.

Sebagaimana diketahui, bahwa pembenaran terhadap kebijakan penerapan pidana mati, secara formal, dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diberlakukan di Indonesia. Namun demikian, seiring dengan perkembangan teori pemidanaan yang cenderung mengalami pergeseran dari falsafah pemidanaan yang bersifat menghukum menuju kepada falsafah pemidanaan yang bersifat mendidik dan membina, eksistensi pidana mati dalam suatu pemidanaan perlu dikaji ulang. Dalam artian, perlu dikaji perihal hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan yang merupakan prasyarat dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal.

Merumuskan tujuan pemidanaan secara baik, dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. Sedangkan kebijakan penetapan suatu sanksi pidana yang sekiranya dapat mencapai tujuan pemidanaan, tidak dapat dilepaskan dari proses pemilihan beberapa alternatif sanksi pidana sebagai upaya menentukan pidana mana yang paling tepat, paling berhasil dan paling efektif untuk diterapkan.

Dengan demikian, untuk melihat dasar  pembenaran pemberlakuan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme dalam sistem hukum pidana di Indonesia dapat dilakukan dengan menilai apakah keberadaan pidana mati dalam sistem perundangundangan di Indonesia (KUHP dan UU lainnya) sudah selaras dengan tujuan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Dalam hal ini, tujuan pemidanaan yang menjadi dasar pembenaran penerapan pidana mati dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 51 Rancangan KUHP Tahun 1991/1992, di mana, secara garis besar, tujuan pemidanaan dalam RKUHP tersebut mengerucut pada adanya aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu.

Masalah pidana mati ini telah diperdebatkan ratusan tahun lamanya oleh para sarjana hukum pidana dan kriminolog hingga sekarang. Debat pro dan kontra tentang adanya hukuman mati rasanya debat itu tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun. Pidana mati sebagai mana tercantum dalam KUHP berlaku di Indonesia sejak januari 1998 dan diatur dalam pasal 10. Dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana yaitu pidana pokok.

Penyusunan rancangan KUHP di Indonesia menetapkan bahwa: “pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”, yang selanjutnya dijelaskan pula bahwa pasal 84: pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati di Indonesia masih menjadi sanksi yang terberat yang masih berlaku. Meskipun, dalam ketentuannya, pidana mati merupakan alternatif di samping pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, seperti yang tercantum dalam Pasal 340 KUHP.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11 UU No.2 (Pnps) Tahun 1964, eksekusi mati sebagai pelaksanaan vonis mati dilakukan oleh regu tembak yang yang telah dibentuk oleh kepolisian setempat dan terpidana mati ditembak sampai mati.

Analisis Fikih Jinayah Terhadap Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme

Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia tidak akan tumbuhdan berkembang tanpa sosialisasi dengan sesamanya. Dalam sosialisasi itumanusia selalu membutuhkan manusia lain. Artinya proses interaksikemanusian itu melahirkan aksi dan reaksi yang kadang kala menimbulkansengketa antar sesamanya. Sengketa yang timbul dapat berupa sengketaperdata atau pidana. Penyelesaian suatu sengketa keperdataan dapatdilakukan secara musyawarah untuk memperoleh kata sepakat, dapat puladilakukan dengan menggunakan mediasi, konsiliasi, arbitrase atau bahkanmelalui pengadilan.

Namun penyelesaian tindak pidana tidak dapatdilakukan di luar pengadilan walau ada dalam masyarakat yang melakukanpenyelesaian tindak pidana dengan jalan musyawarah. Jadi perkara-perkarayang di dalamnya terdapat tindak pidana maka penyelesaiannya adalah dipengadilan.

Pengertian pidana atau hukuman antara satu ahli hukum dengan ahli hukum lain berbeda. Pidana, menurut Sudarto, adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syaratsyarat tertentu. Bagi Roeslan Saleh, pidana diartikan dengan reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pembuat delik itu.

Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, tujuan penjatuhan pidana dapat dikategorikan menjadi empat bagian, yaitu: pertama, pembalasan (revenge), seseorang yang telah menyebabkan kerusakan kepada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada oarang lain. Kedua, penghapusan dosa (ekspiation), konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang berasal dari Allah. Ketiga, memenjarakan (deteren). Keempat, memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal), pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku pidana agar tidak mengulangi kejahatannya.

Terkait dengan sanksi dalam hukum pidana Islam, terdapat beberapa fungsi yang khas, yaitu: pertama, sebagai pencegah keonaran. Sanksi di dalam Islam, dalam catatan sejarah, telah terbukti mampu mencegah kejahatan, menjamin keamanan, keadilan dan ketentraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak criminal sebagai pencegah sangat efektif mencegah orang-orang yang hendak melakukan perbuatan dosa dan kejahatan. Sebab, jika seorang yang akan membunuh manusia mengetahiu bahwa ia akan dihukum mati jika dia melakukan pembunuhan, tentu ia akan berfikir seribu kali untuk membunuh.

Dengan begitu, akan banyak manusia yang terselamatkan dari kasuskasus pembunuhan dan kelangsungan hidup manusia pun akan terjaga. Karena itulah, fungsi mencegah itu berjalan, pelaksanaan hukuman mati harus dilakukan secara terbuka. Dengan begitu, masyarakat tahu siapa yang dihukum, kapan, di mana dan dengancara apa eksekusi dilakukan, penguburan jenazahnya juga disaksikan oleh masyarakat luas.

Masyarakat yang menyaksikan penerapan hukum qisas akan lebih tinggi kesadaran hukumnya dan tidak akan mudah membunuh, sehingga kelangsungan hidup masyarakat terjamin. Kedua, sebagi penebus dosa. Sanksi pidana Islam yang diberlakukan di dunia tentu saja jika memenuhi ketentuan syari’ah, akan berfungsi sebagai (penebus dosa). Dengan begitu, pelakunya tidak akan disiksa di akhirat karena dosa kejahatan tersebut. Di sinilah keberpihakan hukum Islam kepada pelaku tampak bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dengan penuh kerelaan bahkan dengan kegembiraan.

Dimensi kehidupan dalam Islam adalah dunia dan akhirat. Siapa di dunia menebar kejahatan di dunia akan menuai adzab neraka yang pedih tiada terhingga di akhirat. Namun sebelum mati, Islam masih memberikan kesempatan kepada orang-orang yang gagal di dunia dengan tindak kejahatannya itu untuk bisa sukses di akhirat dengan cara “taubat nasuha”. Bukti kongkrit dari taubat nasuha seorang pelanggar hukum dalam Islam adalah kesediaan menerima uqubat yang dijatuhkan kepadanya.

Oleh karena itu, tidak heran kalau pelanggar hukum dimasa Nabi Muhammad umumnya datang sendiri mengakui kesalahan dan minta disucikan dari dosa mereka. Sebagimana telah dijelaskan, bahwa tindak pidana terorisme dalam hukum Islam dimasukkan dalam jarimah. Secara sederhana jarimahmerupakan larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman hadatau tazir.

Dalam hal ini, suatu perbuatan diaggap delik jarimah bila memenuhi unsur umum jarimah, yaitu: pertama, unsur formil, yakni adanya undang-undang atau nas. Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum ini dikenal dengan istilah legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mendukungnya.

Dalam syari’ah Islam hal ini lebih dikenal dengan istilah ar-rukn asysyar’i’. Kaidah yang mendukung unsur ini adalah “tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nas”. Kedua, unsur materil yakni sifat melawan hukum. Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam disebut ar-rukn al-madii. Ketiga, unsur moril yakni  pelakunya mukalaf, artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syari’ah Islam, unsur moril disebut dengan arrukn al adabi.

Adapun jarimah dalam Islam dilihat dari kadar hukumannya diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pertama, jarimah hudud yaitu perbuatn melanggar hukum yang jenis ancaman hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman yang dimaksud tidak mempunyai batasan terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan atau masyarakat yang mewakili. Kedua, Jarimah qisas dan diyat yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat.

Hukuman qisas maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batasan terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (korban atau walinya), yang dengan demikian berbeda dengan hukum hadyang menjadi milik Allah semata. Ketiga, jarimah ta’zir yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimahyang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman selain haddan qisas dan diyat. Dalam hal ini , pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.

Para fuqaha dalam hukum pidana Islam memasukkan terorisme dalam katagori jarimah hudud yang mana perbuatan pidana yang akhirnya dijatuhi hukuman had sebagai hak Allah swt yang dilakukan untuk kepentingan umum adalah untuk menolak kekacauan dalam masyarakat dan untuk mewujudkan keamanan, ketentraman bagi masyarakat.

Sumber:

  • Pidana Mati dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam Karya Fauzan Asyhadi
  • Hukuman Mati Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Karya Ahmad Zainut Tauhid
  • KUHP Pasal 10 dan Pasal 84.
  • Hukum Pidana Indonesia Karya Waluyadi
  • Teori-teori dan Kebijakan Pidana Karya Muladi dan Barda Nawawi Arif
  • Hukum Pidana Islam Karya Makhrus Munajat
  • Hukuman Mati dalam Pandangan Islam Karya Abdul Jabar

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *