Hukum Qurban Online

 Hukum Qurban Online

Inilah Perbedaan Dzabaha dan Nahara (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ibadah qurban merupakan bentuk ketaqwaan kepada Allah Swt. Dicontohkan oleh ayahanda para Nabi yakni Nabi Ibrahim a.s. bahwa tidak ada lagi yang dicintai selain Allah Swt.

Hal ini senada dengan Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 162 sebagai berikut:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya:

Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.”

Ketaatan Nabi Ibrahim dan keluarganya tanpa tapi tanpa nanti. Jika memang itu adalah perintah dari Allah Swt., maka tidak ada pilihan lain selain mengerjakannya.

Ibunda Hajar rela ditinggalkan bersama Ismail yang masih kecil ditempat yang panas dan sepi, Nabi Ismail a.s. mengiyakan apa yang menjadi perintah Allah Swt. kepada Ayahandanya melalui sebuah mimpi, tidak peduli itu akan menghilangkan nyawanya atau tidak.

Karena yang Nabi Ismail lihat hanyalah satu, yaitu perintah Allah Swt. yang harus ditaati, sampai pada akhirnya Allah mengganti dengan hewan qurban yang kini menjadi syariat ummat Islam.

Namun, seiring perkembangan zaman, pelaksanaan qurban tidak lagi dilakukan tradisional, di mana pengqurban membeli hewan qurban secara langsung dengan memilih hewan qurban yang memenuhi syarat menurut syariah.

Tetapi kini orang yang ber-qurban tinggal mentransfer sejumlah uang yang merupakan nilai hewan qurban kepada lembaga filantropi misalnya, kemudian nanti oleh lembaga filantropi dibelikan hewan qurban dan ketika waktu penyembelihan.

Orang yang ber-qurban tidak menyaksikan secara langsung, karena proses penyembelihan dilakukan jauh dari tempat orang yang ber-qurban, begitupun dengan distribusi hewan qurban, daging hewan qurban didistribusikan ke wilayah di mana orang yang ber-qurban tidak tinggal di sana.

Lantas, bagaimana hukum praktik qurban seperti ini?

Pertama, ketika orang yang ber-qurban mentransfer uang untuk pembelian hewan qurban kepada lembaga filantropi, berarti pengqurban telah melakukan akad wakalah dengan lembaga filantropi.

Terkait dengan akad wakalah, hukumnya adalah boleh. Begitu juga mewakilkan penyembelihan hewan qurban kepada lembaga atau yang ditunjuk oleh lembaga, hukumnya boleh.

Nabi Muhammad saw. pernah ber-qurban 100 ekor unta di mana Nabi menyembelih 60 ekor lebih, dan sisanya diwakilkan kepada Ali bin Abi Thalib (An-Nawawi, Al Majmu Syarh Al Muhadzab: 405).

Kedua, praktik qurban secara online dengan mentransfer uang ke lembaga filantropi berarti pengqurban tidak menyaksikan penyembelihan atau menyaksikannya menggunakan video call.

Praktik seperti ini di dalam Mazhab Syafi’i diperbolehkan karena hukum menyaksikan penyembelihan hewan qurban tidak wajib, melainkan sunah.

Walaupun sebaiknya penyembelihan itu disaksikan oleh orang yang ber-qurban karena terdapat keutamaan di dalamnya (An-Nawawi, Al Majmu Syarh Al Muhadzab: 405).

Maka dari itu, biasanya lembaga filantropi memberikan fasilitas video call saat penyembelihan. Rosulullah saw. bersabda kepada Fatimah:

“Berdirilah (Fatimah) untuk qurban milikmu dan saksikanlah olehmu. Sesungguhnya tetesan darah yang pertama mengampuni dosamu yang telah lalu.” (HR. Baihaqi)

Ketiga, karena penyembelihan qurban dilakukan tidak di daerah tempat tinggal orang yang ber-qurban, biasanya lembaga filantropi sudah mempunyai wilayah distribusi daging qurban.

Lembaga filantropi biasanya memilih wilayah terpencil untuk pemerataan.

Maka menyalurkan daging qurban kewilayah lain hukumnya boleh, meski sebaiknya daging qurban disalurkan ke wilayah pengqurban untuk mendapatkan kesunahan. (An-Nawawi, Al Majmu Syarh Al Muhadzab: 425).

Keempat, menurut hemat penulis walaupun penyembelihan boleh tidak disaksikan dan pendistribusian boleh dilakukan di wilayah lain, namun menyaksikan penyembelihan dan mendistribusikannya di wilayah orang yang ber-qurban lebih utama dilakukan.

Selain seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Al Majmu Syarh Al-Muhadzab, juga memberi pada yang dekat harus didahulukan.

Jangan sampai orang yang ber-qurban untuk disalurkan ke wilayah lain, sementara masyarakat yang dekat dengan pengqurban tidak merasakannya, padahal bisa jadi masyarakat di wilayah orang yang ber-qurban ada yang jarang atau bahkan belum pernah memakan daging pada tahun tersebut.

Maka dari itu, sebaiknya jika akan berqurban secara online. Lihat dulu kondisi masyarakat disekitar, jika memang dipandang membutuhkan, lebih baik ber-qurban di wilayah tempat tinggal orang yang ber-qurban saja.

Atau jika ada keluarga juga yang akan ber-qurban, maka sebagian bisa dilakukan secara online, sebagiannya dilakukan secara offline.

Pilihan lainnya, orang yang ber-qurban bisa ber-qurban di tahun ini secara offline di dekat tempat tinggal orang yang ber-qurban, kemudian di tahun berikutnya pengqurban melakukan qurban secara online. Wallahu’alam. []

Iwan Setiawan, M.H

Dosen Hukum Ekonomi Syariah STAI Sabili Instagram: ibnu_syamsudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *