Hukum Otopsi Menurut Isla

 Hukum Otopsi Menurut Isla

Di Era Modern Dewasa Ini, Kegiatan Otopsi Sering Dilakukan Untuk Menguak Kebenaran. Bagaimana Penjelasan Hukum Otopsi Menurut Islam

HIDAYATUNA.COM – Sumber wahyu dalam bentuk teks agama baik Al-Qur’an maupun hadis telah berhenti turun semenjak Rasulullah SAW meninggal dunia. Sementara itu realitas masyarakat terus berubah dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan perputaran roda zaman. Realitas masyarakat yang terus berubah itu sering diidentikkan dalam bahasa sosiologi sebagai sosial change (perubahan sosial).

Persoalan hukum termasuk hukum Islam merupakan bagian dari persoalan sosial. Artinya, perubahan sosial akan memengaruhi perubahan hukum, sebagaimana perubahan hukum juga dapat memengaruhi perubahan sosial. Pengaruh timbal balik antara perubahan sosial dan perubahan hukum dapat dilihat pada watak dan peran atau fungsi hukum dalam kehidupan sosial dan tuntutan-tuntutan masyakat yang dipicu oleh berbagai faktor yang bergerak dalam kehidupan masyarakat.

Otopsi adalah proses membedah seluruh tubuh jenazah atau hanya terbatas pada satu organ atau satu daerah tubuh tertentu saja untuk menentukan penyebab kematiannya, atau untuk mengidentifikasi identitasnya. Sebenarnya, bagaimana hukum otopsi jenazah dalam Islam?

Menurut pandangan ahli, Mahjuddin dalam bukunya Masail Al- Fiqh (Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam) bahwa kebolehan otopsi dalam Islam dilandasi oleh alasan bahwa memperbaiki nasib orang hidup lebih diutamakan daripada kepentingan orang yang sudah mati. Seperti, wajib hukumnya otopsi bila dalam perutnya terdapat batu permata orang lain dan tidak diwajibkan bila batu permata atas nama miliknya sendiri. Artinya, jika batu permata itu milikinya sendiri maka tidak usah dikeluarkan karena lambat laun permata itu akan hancur dan lebur dengan sendirinya didalam perut si mayat.

Begitupun pendapat Sapiuddin Shidiq dalam bukunya Fikih Kontemporer bahwa bedah mayat tidaklah dibenarkan oleh hukum agama kalau tidak darurat atau tidak ada ke mashlahatan didalamnya dan harus disertai izin dari ahli warisnya. Pada dasarnya otopsi itu tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat dan untuk kemaslahatan manusia. Majelis di Majma’ Fikih Islami dibawah Rabithah al-alam al Islami (Liga Muslim dunia), diantaranya Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Abdullah bin Umar Nashif, Abdullah bin Abdurrahman al-Basaam, beserta yang lainnya dalam Muktamarnya yang kesepuluh yang diadakan di Makkah Mukarramah dalam waktu dari hari sabtu 24 shafar 1408 atau 17 Oktober 1987 M sampai hari rabu 28 Shafar 1408 H atau 21 Oktober 1987 M telah meneliti tentang permasalahan otopsi dan setelah diskusi dan tukar pendapat menetapkan ketetapan berdasarkan darurat yang dibutuhkan dalam pembedahan mayat dan dan pembedahan ini menjadi mashlahat.

Majelis Majma’ Fikih Islami dibawah lembaga Raabithah al-alam al- Islami (Liga Muslim Dunia) menetapkan sebagai berikut:

Pertama: Boleh membedah mayat untuk satu diantara tujuan berikut:

  1. Otopsi (penelitian) dalam tuduhan pembunuhan (kriminal) untuk mengetahui sebab kematian atau kriminal yang terjadi. Hal itu ketika Hakim (al-Qaadhi) tidak bisa menetapkan secara pasti sebab kematian dan jelas pembedahan tersebut adalah cara mengetahui sebab-sebab tersebut.
  2. Penelitian penyakit yang menurut adanya pembedahan untuk dijadikan sebagai bahan terapi pencegahan dan terapi pengobatan yang pas dengan penyakit tersebut.
  3. Pendidikan medis dan pembelajarannya sebagaimana kuliah kedokteran.

Kedua: keputusan tentang pembedahan mayat untuk tujuan pembelajaran harus memperhatikan batasan-batasan sebagai berikut:

  1. Apabila tubuh mayat pribadi yang dikenal disyaratkan telah diizinkan olehnya sebelum mati untuk pembedahan mayat atau mengizinkannya ahli warisnya setelah kematian orang tersebut. tidak seharusnya membedah mayat yang jiwanya dilindungi syariat kecuali keadaan darurat.
  2. Wajib membatasi pembedahanpada batas darurat saja agar tidak mempermainkan tubuh mayat tersebut secara sia-sia.
  3. Tubuh-tubuh mayat wanita tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali oleh dokter-dokter wanita, kecuali apabila tidak ada.
    Ketiga: Pada semua keadaan ini diwajibkan anggota tubuh yang sudah dibedah dikuburkan.
    Ada beberapa ulama yang tidak memperkenankan pembedahan pada perut karena hal tersebut dianggap tidak menghormati orang yang sudah meninggal, dan pembedahan mayat hanya boleh dilakukan jika ada seorang ibu yang meninggal dalam keadaan hamil dan janin yang ada dalam kandungannya berumur enam bulan keatas serta memiliki harapan besar untuk hidup, maka harus dilakukan pembedahan untuk mengelurkan dan menyelamatkan janin tersebut.Selain itu, ada pula beberapa ulama yang tidak memperbolehkan pembedahan mayat dikarenakan dalam proses pembedahan mayat dipotong daging dan tulangnya, diangkat organ tubuh dan disentuh sana-sini. Hal tersebut sama saja tidak memperlakukan mayat dengan baik dan dianggap tidak menghormati orang yang sudah meninggal.
    Hukum bedah mayat dalam permasalahan ini, Majelis Ulama Besar di Saudi Arabia telah melakukan pembahasan mengenai hal ini dalam Muktamar mereka ke-9 tahun 1396 H/1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan sebagai berikut:
    “Untuk keperluan otopsi, baik otopsi forensik maupun otopsi medis, maka Majelis Ulama Besar memutuskan, boleh membedah mayat untuk keperluan tersebut, dengan pertimbangan adanya mashlahat yang besar dibalik otopsi ini. Karena otopsi forensik bertujuan untuk penegakan hukum pidana sehingga terciptanya keamanan dalam masyarakat. Sedangkan otopsi medis bertujuan terjaganya masyarakat dari penyakit yang mewabah.”

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwah khusus soal otopsi jenazah pada tahun 2009. Fatwa tersebut khusus menghukumi otopsi forensik dan klinik. Komisi fatwa MUI memberikan 3 macam ketentaun hukum soal ini, antara lain:

Pertama, pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya dan tidak boleh ditusak. Kedua, meskipun pada dasarnya jenazah harus dihormati, MUI membolehkan proses otopsi jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh yang berwenang. Ketiga, MUI menguraikan beberapa ketentuan yang harus diikuti dalam proses otopsi:

• Otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syariat seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran. Keputusan melakukan otopsi harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang dan harus dilakukan oleh ahlinya.
• Otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sesuai dengan ketentuan pertama.
• Jenazah yang akan diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya seperti, dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan.
• Jenazah yang dijadikan objek autopsi harus mendapatkan izin dari dirinya saat masih hidup melalui wasiat, ahli waris atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jadi berdasarkan dari keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua mashlahat yaitu otopsi forensik dan otopsi medis/klinik ini lebih besar di banding mafsadah membedah mayat. Jadi, bedah mayat dengan dasar tujuan demi kemashlahatan manusia maka dibolehkan walaupun mayat tersebut adalah mayat orang muslim ataupun mayat orang kafir.

Sumber:
• Autopsi dalam Pandangan Ulama Karya Hafidz Muftisany
• Konstruksi Ijtihad Berbasis Maqasid Al Syariah Karya Abdul Wahid Haddade
• Masail Al-Fiqh (Kasus-Kasus Actual dalam Hukum Islam) Karya Mahjuddin
• Fikih Kontemporer Karya Sapiuddin Sidiq
• Fatwa: Bagaimana Tentang Membedah Mayat Karya Kholid
• https://dalamislam.com, Hukum Membedah dalam Islam
• Bedah Mayat dalam Tinjauan Hukum Islam Karya Muhammad Yasir

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *