Hukum Orang Junub atau Perempuan Haid Memandikan Orang Meninggal

 Hukum Orang Junub atau Perempuan Haid Memandikan Orang Meninggal

Hukum Orang Junub atau Perempuan Haid Memandikan Mayat (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Di antara kewajiban orang yang masih hidup terhadap orang yang telah meninggal adalah memandikan. Memandikan ini tujuannya adalah mensucikan tubuh si mayit, baik dari najis maupun dari hadas besar. Namun dalam kondisi tertentu, memandikan mayit justru diharamkan, seperti ketika si mayit meninggal dalam pertempuran karena membela agama Allah (syahid dunia-akhirat maupun syahid dunia).

Syahid dunia-akhirat yang dimaksud adalah orang yang berperang untuk membela agama Allah tanpa pamrih apa pun. Sedangkan syahid dunia adalah orang yang berperang, tetapi ada kepentingan duniawi, seperti agar dianggap sebagai pemberani, pahlawan atau untuk kepentingan mencari ghanimah (harta rampasan).

Jenazah yang Haram Dimandikan dan Disalati

Setelah dimandikan, jenazah kemudian disalatkan, dalam keadaan sudah dikafani. Oleh karena itu, makruh hukumnya mensalati mayit sementara ia belum dikafani, karena dianggap menghina mayit (izdira’ li al-mayyit).

Menurut keterangan dalam kitab Kasyifat al-Saja, Syaikh Nawawi al-Bantani menyebutkan beberapa orang yang haram dimandikan dan disalati, diantaranya:

1. Orang Non-Muslim

Memandikan mayit non-Muslim hukumnya adalah tidak wajib, tetapi boleh secara mutlak (jawaz muthlaqan), baik si mayit berstatus dzimmi maupun harbi. Namun mereka haram untuk disalatkan, termasuk orang yang keluar dari Islam (murtad).  

2. Orang Yang Mati Syahid

Orang yang gugur dalam peperangan membela agama Allah, baik gugur sebagai syahid al-dunya maupun syahid al-dunya wa al-akhirah. Maka mereka haram dimandikan dan disalati. Alasannya karena darah mereka kelak di hari kiamat akan bersaksi atas perjuangannya di hadapan Allah Swt.

3. Bayi yang Keguguran (al-siqthu)

Janin yang mengalami keguguran dirawat sesuai umurnya. Imam Abu Bakar bin Muhammad Syatha menjelaskan bahwa jika janin keguguran sebelum berumur empat bulan, maka wajib dikafani dan dikuburkan.

Jika umurnya sudah lewat empat bulan, maka dilihat; Jika janin tersebut tidak bergerak-gerak atau menjerit usai dilahirkan, maka ia wajib dimandikan, dikafani dan dikuburkan, tanpa harus disalatkan. Namun jika janin bergerak-gerak atau menjerit setelah lahir, maka janin wajib dimandikan, dikafani, disalati dan dikuburkan (Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I’anat al-Thalibin, juz 2, hlm. 205)

Orang yang Boleh dan Paling Berhak Memandikan Mayit

Sebagaimana disebut sebelumnya, bahwa memandikan mayit hukumnya adalah wajib. Namun dalam kondisi tertentu, mandi bisa digantikan dengan tayamum, jika tidak memungkinkan. Misalnya, orang yang meninggal karena terbakar, kecelakaan tragis atau sejenisnya. Sehingga ketika dipaksa untuk dimandikan, maka anggota tubuhnya akan dipastikan mengelupas (bahasa Jawa:mreteli). Dalam kondisi demikian, solusinya adalah tayamum.

Niat memandikan mayit hukumnya adalah tidak wajib. Karena tujuan memandikan mayit adalah membersihkan tubuhnya, sehingga tidak bergantung pada niat. Namun untuk menghindari perbedaan pendapat – dan sesuai dengan kaidah fiqih al-khuruj min al-khilaf mustahabbun (menghindari perbedaan pendapat ulama adalah sunnah)maka niat memandikan mayit menurut ulama Syafi’iyah adalah sunnah. Redaksi niat memandikan jenazah adalah:

 هذه الميتة أداء لله تعالى/نويت الغسل عن هذا الميت

nawaitul ghusla ’an hadzal mayyiti/hadzihil mayyitati ada’an lillahi ta’ala

Artinya :

Saya berniat memandikan mayit laki-laki/perempuan ini karena Allah.

Setelah dimandikan, jenazah kemudian diwudhukan. Dalam konteks ini, mandi berbeda dengan wudhu. Jika niat memandikan jenazah adalah sunnah, maka niat mewudhukan jenazah adalah wajib. Niatnya adalah:

نويت الوضوء عن هذا الميت/هذه الميتة أداء لله تعالى

nawaitul wudhu’a ’an hadzal mayyiti/hadzihil mayyitati ada’an lillahi ta’ala

Artinya :

saya berniat mewudhukan mayit laki-laki/perempuan ini karena Allah.

Adapun orang yang paling berhak memandikan jenazah laki-laki adalah kaum laki-laki, dan untuk jenazah perempuan adalah perempuan. Meski begitu, seorang suami boleh memandikan jenazah istrinya, dan sebaliknya istri boleh memandikan jenazah suaminya. Dengan tanpa menyentuhnya, agar wudhu suami atau istri yang masih hidup tidak batal karena terjadi persentuhan.

Namun demikian, menurut Syaikh Nawawi al-Bantani, orang yang paling berhak memandikan jenazah laki-laki urutannya adalah kerabat laki-laki dari jalur ashabah (rijal al-ashabah). Kemudian al-wala’ (majikan), imam, pengganti atau badalnya, kemudian kerabat dzawiil arham (kerabat yang tidak mendapat bagian waris secara pasti).

Jika status kekerabatannya atau status stratanya sama, maka yang diprioritaskan adalah yang paling paham fiqih (terutama persoalan memandikan jenazah). Untuk jenazah perempuan, urutan-urutannya adalah kerabat terdekat yang berstatus mahram, kemudian al-wala’, perempuan ajnabiyah (perempuan lain yang bukan mahram), suami, kemudian kerabat laki-laki yang berstatus mahram. Jika statusnya sama, maka solusinya diundi. Siapa yang keluar namanya, dialah yang paling berhak memandikan.

Sementara untuk jenazah yang belum berumur baligh, maka yang memandikan boleh laki-laki atau perempuan, jika diketahui bahwa si mayit tidak memiliki mahram. (Syaikh Nawawi al-Bantani, Kasyifat al-Saja, hlm. 286-287)

Orang Junub atau Perempuan Haid Memandikan Jenazah

Dalam literatur-literatur fikih, tidak ada kualifikasi bahwa yang orang yang memandikan jenazah harus dalam keadaan suci, baik dari hadas kecil maupun hadas besar. Karena itu, menurut tiga mazhab Fiqih (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), orang junub dan perempuan haid boleh memandikan jenazah, tanpa ada kemakruhan sama sekali. Karena tujuan memandikan jenazah adalah tathir (mensucikan), dan hal itu dapat dilakukan meski yang memandikan sedang berhadas besar atau haid.

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ أَنْ يَغْسِلَ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ الْمَيِّتَ بِلاَ كَرَاهَةٍ لأِنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ التَّطْهِيرُ، وَهُوَ حَاصِلٌ بِالْجُنُبِ وَالْحَائِضِ، وَلأِنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ فِي الْغَاسِل الطَّهَارَةُ

Artinya:

Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat tentang bolehnya orang junub (berhadas besar) dan perempuan haid memandikan jenazah, tanpa ada kemakruhan. Karena tujuan memandikan jenazah adalah mensucikan, dan hal itu boleh dilakukan oleh mereka. Selain karena tidak disyaratkan bahwa orang yang memandikan jenazah harus suci. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 39, hlm. 414-415)

Dalam konteks yang sama, Syaikh Abu Zakariyya al-Anshari dan Sulaiman al-Jamal juga berpendapat bahwa orang yang menyandang hadas besar dan perempuan hadi boleh memandikan jenazah. Bahkan Syaikh Sulaiman al-Jamal menambahkan qayid, meski ada perempuan lain yang suci.

وَلَا يُكْرَهُ لِنَحْوِ جُنُبٍ كَحَائِضٍ غُسْلُهُ  لِأَنَّهُمَا طَاهِرَانِ كَغَيْرِهِمَا

Artinya:

Tidak dimakruhkan bagi orang yang sedang berhadas besar, seperti perempuan haid untuk memandikan jenazah. Karena sejatinya mereka berdua suci, sebagaimana yang lain. (Abu Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahab, juz 1, hlm. 160)

  وَلَا يُكْرَهُ لِنَحْوِ جُنُبٍ كَحَائِضٍ غُسْلُهُ  لِأَنَّهُمَا طَاهِرَانِ كَغَيْرِهِمَا أي وَلَوْ مَعَ وُجُوْدِ غَيْرِهِ

Artinya:

Tidak dimakruhkan bagi orang yang sedang berhadas besar, seperti perempuan haid untuk memandikan jenazah. Karena sejatinya mereka berdua suci, sebagaimana yang lain. Meski ada orang atau perempuan lagi yang suci (tidak junub atau haid). (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 3, hlm. 142)

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *