Hukum Menuliskan Nama dan Tanggal Lahir Mayat di Patok Kuburan
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di Indonesia, sudah menjadi pemandangan yang lumrah, jika ada orang yang meninggal dunia, di patok kuburan atau batu nisannya ditulis nama si mayit plus nama orang tuanya (Fulan bin Fulan/Fulanah binti Fulan). Baik kuburan orang biasa atau orang salih (baca: kyai).
Bahkan ada beberapa yang melengkapinya dengan tanggal lahir dan tanggal wafat. Tujuannya adalah sebagai penanda agar kuburan tersebut mudah diidentifikasi oleh keluarganya atau anak-cucunya kelak. Lalu bagaimana empat mazhab fikih menyikapi fenomena ini?
Mazhab Hanafi
Ulama Hanafiyah memandang bahwa tradisi menulis nama mayit di kuburan, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia adalah makruh tahrim, jika tidak ada hajat. Namun jika ada hajat – seperti munculnya kekhawatiran hilangnya jejak kuburan si mayit jika tidak ditandai dengan nama, maka hukumnya tidak makruh lagi (mubah/boleh).
اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا: اَلْكِتَابَةُ عَلَى الْقَبْرِ مَكْرُوْهَةٌ تَحْرِيْمًا مُطْلقًا، إِلاَّ إِذَا خِيْفَ ذَهَابُ أَثَرِهِ فَلاَ يُكْرَهُ
Artinya:
“Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa menuliskan nama mayit di patok kuburan hukumnya adalah makruh tahrim secara mutlak. Kecuali jika dikhawatirkan hilangnya jejak (kuburan) si mayit, maka dalam kondisi demikian hukumnya tidak lagi makruh (mubah/boleh).”
Mazhab Maliki
Menulis nama dan tanggal wafat mayit di patok kuburan/batu nisan menurut mazhab Maliki adalah makruh. Bahkan bisa menjadi haram jika yang ditulis di patok/batu nisan tersebut berupa ayat-ayat Alqur’an.
اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا: اَلْكِتَابَةُ عَلَى الْقَبْرِ إِنْ كَانَتْ قُرْآنًا حُرِّمَتْ، وَإِنْ كَانَتْ لِبَيَانِ اسْمِهِ، أَوْ تَارِيْخِ مَوْتِهِ، فَهِيَ مَكْرُوْهَةٌ.
Artinya:
“Ulama Malikiyah mengatakan bahwa menulis ayat Alqur’an di kuburan hukumnya adalah haram. Namun jika yang ditulis adalah nama atau tanggal kematian si mayit, maka hukumnya menjadi makruh.”
Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i, hukumnya diperinci sebagai berikut. Jika tanpa hajat apapun, misal si mayit adalah orang biasa dan tidak termasuk orang yang dianjurkan (disunnahkan) agama untuk diziarahi – maka hukum memberi nama mayit di patok kuburannya adalah makruh. (Abu Bakar al-Jazairi, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, juz 2, hlm. 414)
Dalam Bujairami ala al-Khatib karya al-Bujairami dijelaskan:
وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ. أَيْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ كِتَابَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُهُ لِلصَّدِيدِ
Artinya:
Makruh hukumnya menuliskan nama mayit di (patok) kuburan, meskipun ada ayat Alqur’annya. Sedangkan menuliskan ayat Alqur’an di kain kafan hukumnya adalah haram.
Alasannya karena berpotensi terkena cairan mayit disebabkan penguraian si mayit.
Sebaliknya, jika pemberian nama tersebut sangat dibutuhkan agar mudah diidentifikasi oleh keluarga dan masyarakat setempat/sekitar.
Sehingga tidak menyulitkan para peziarah di sepanjang zaman, seperti kuburannya para ulama, para wali dan orang-orang salih.
Maka hukum memberi nama plus nasab di patok/di atas kuburannya tidak lagi dimakruhkan. Tetapi justru hukumnya adalah sunah.
ومَحلُّ كَرَاهَةِ الْكِتَابَةِ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُحْتَجْ إلَيْهَا، وَإِلَّا بِأَنْ اُحْتِيجَ إلَى كِتَابَةِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ فَلَا يُكْرَهُ بِشَرْطِ الِاقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ. لَا سِيَّمَا قُبُورُ الْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَإِنَّهَا لَا تُعْرَفُ إلَّا بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ السِّنِينَ.
Artinya:
“Kemakruhan menulis nama mayit di atas kuburannya jika dilakukan tanpa hajat tertentu. Namun jika tujuan penulisan nama dan nasab tersebut agar mudah dikenali sehingga bisa diziarahi, maka tidak lagi menjadi makruh.
Dengan syarat sebatas hajat tersebut. Lebih-lebih kuburan para wali, para ulama dan orang-orang salih. Karena jika tidak dituliskan namanya, kuburan tersebut akan sulit diidentifikasi dalam waktu yang panjang.” (Al-Bujairami, Bujairami ala al-Khatib, juz 2, hlm. 567)
اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا: اَلْكِتَابَةُ عَلَى الْقَبْرِ مَكْرُوْهَةٌ، سَوَاءٌ كَانَتْ قُرْآنًا أَوْ غَيْرَهُ، إِلاَّ إِذَا كَانَ قَبْرَ عَاِلمٍ أَوْ صَالِحٍ، فَيُنْدَبُ كِتَابَةُ اسْمِهِ، وَمَا يُمَيِّزُهُ لِيُعْرَفَ
Artinya:
“Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa menulis (nama mayit) di patok/nisan kuburan hukumnya adalah makruh. Baik ada ayat Alqur’annya maupun tidak. Kecuali kuburannya orang alim atau orang salih. Maka hukumnya menjadi sunnah. Tujuannya supaya mudah diidentifikasi.” (Abu Bakar al-Jazairi, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, juz 2, hlm. 414)
Mazhab Hanbali
Mazhab ini menyatakan bahwa penulisan nama mayit di patok/nisan kuburan hukumnya adalah makruh secara mutlak. Baik kuburannya orang biasa atau kuburan orang alim.
اَلْحَنَابِلَةُ قَالُوْا: تُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَى الْقُبُوْرِ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيْلٍ بَيْنَ عَالِمٍ وَغَيْرِهِ
Artinya:
“Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa menuliskan nama mayit di atas batu nisan kuburan hukumnya makruh, tanpa perlu diperinci. Baik kuburan orang alim maupun yang lain.” (Abu Bakar al-Jazairi, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, juz 2, hlm. 414)
Walhasil, pada dasarnya penulisan nama mayit di patok kuburan/batu nisan bertujuan agar orang yang dikubur di bawahnya dapat diidentifikasi oleh keluarganya atau orang yang ingin menziarahinya, serta untuk membedakan antara satu kuburan dengan kuburan yang lain.
Apalagi yang dikubur adalah orang salih, wali atau ulama. Tentu saja hal tersebut sangat diperlukan agar dapat diketahui dan diziarahi oleh masyarakat setempat atau masyarakat dari berbagai wilayah. []