Menjamak Shalat Karena Dirias Pengantin

 Menjamak Shalat Karena Dirias Pengantin

HIDAYATUAN.COM – Agama Islam adalah agama yang memberi kemudahan kepada umatnya. Dan salah satu bentuk kemudahan dalam shalat adalah dibolehkannya kita menjamak dua shalat dalam satu waktu. Seluruh ulama sepakat dengan masalah ini.

Namun yang jadi masalah adalah penyebab dari kebolehan menjamak shalat itu sendiri. Ternyata meski memang ada kebolehan menjamak, namun untuk bisa dijalankan harus terpenuhi syarat-syaratnya. Kalau syarat kebolehannya belum terpenuhi, maka tidak boleh asal menjamak saja.

Pendapat para ulama fiqhiyyah

Dari empat mazhab yang ada memang kita menemukan khilafiyah atau perbedaan pendapat tentang hal-hal apa saja yang membolehkan seseorang menjamak shalat. Yang disepakati oleh para ulama empat mazhab tanpa sedikitpun perbedaan adalah haji. Maksudnya bahwa seluruh ulama sepakat bahwa jamaah haji saat berada di Arafah dan Mina disyariatkan untuk menjamak shalatnya. Namun selain dari haji, para ulama berbeda pendapat.

Mazhab Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini, satu-satunya hal dimana seseorang menjama’ shalatnya hanya dalam rangkaian ibadah haji, yaitu ketika berada di Arafah dan Mina pada tanggal 9 hingga 12-13 Dzhlhijjah. Alasannya karena satu-satunya hadits yang secara tegas dan lugas menyebutkan shalat jamak hanya ketika Rasulullah SAW berhaji. Selebihnya hanya merupakan asumsi atau dugaan subjektif saja. Belum tentu beliau SAW menjamak shalatnya, tetapi orang-orang menyangka beliau SAW menjamak shalatnya.

Maka dalam pandangan mazhab ini, sekedar bepergian atau menjadi musafir saja, kalau bukan dalam rangka haji, tidak dibolehkan untuk menjamak shalat. Begitu juga mazhab ini tidak membolehkan jamak karena hujan dan sakit. Apalagi cuma gara-gara dirias jadi pengantin, hukumnya haram menjamak shalat karena alasannya sama sekali tidak bisa diterima dan tidak ada dalilnya.

Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah memiliki enam alasan untuk dibolehkan shalat yang dijamak. Keenamnya adalah safar, hujan, lumpur di kegelapan, sakit, Arafah dan Mudalifah. Kesemuanya disebutkan karena masing-masing ada hadits yang mendasarinya.

Namun di luar keenam hal di atas, mazhab ini tidak membolehkan untuk menjamak shalat. Kalau kita perhatikan, tidak ada dari keenam hal di atas yang menyebutkan bahwa shalat boleh dijamak gara-gara pengantin lagi dirias dan takut luntur bedaknya kena air wudhu’.

Mazhab ini pun tidak mencantumkan istilah ‘darurat’ untuk dibolehkannya menjamak shalat. Padahal biasanya para pengantin dan tukang riasnya selalu membawa-bawa senjata ‘darurat’ yang bisa diplintir seenaknya.

Mazhab Asy-Syafi’iyah

Mazhab Asy-Syafi’iyah hanya menyebutkan hal-hal yang membolehkan shalat jamak terbatas pada haji, safar dan hujan dengan syarat tertentu. Sedangkan sakit tidak termasuk hal yang membolehkan untuk menjamak shalat. Artinya orang yang sedang sakit tetap wajib shalat lima waktu dan tetap tidak boleh mengqasharnya juga.

Alasanya, karena tidak ada satu pun hadits yang bisa diterima bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak shalat karena sakit. Padahal dalam sirah nabawiyah, bukan hanya sekali dua kali saja beliau mengalami sakit. Namun tidak ada satu pun riwayat yang shahih dan sharih yang menyebutkan bahwa gara-gara sakit kemudian beliau SAW menjamak shalat.

Kalau pun ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sakit adalah salah satu alasan dari dibolehkannya menjamak shalat, menurut mazhab Asy-Syafi’i dalilnya sangat lemah, karena hanya dibangun di atas asumsi dan bukan fakta. Hadir yang lemah itu bukan lemah dari segi periwayatan melainkan lemah dari sisi istidlal.

Kalau sakit saja tidak bisa dijadikan alasan kebolehan menjamak shalat, apalagi sekedar takut bedaknya luntur kena air wudhu’. Tentu lebih tidak boleh lagi dijadikan alasan untuk menjamak shalat alias haram hukumnya.

Menjamak Tanpa Udzur

Memang ada satu dua pendapat yang terlalu menggampangkan masalah. Mereka suka meninggalkan shalat begitu saja dengan alasan yang amat sepele dan dikarang-karang sendiri. Misalnya, karena lagi ada meeting lalu shalat dengan enaknya ditinggalkan. Cuma karena lagi nonton di bioskop, shalat Maghrib dilupakan dengan alasan nanti bisa dijamak. Macet tiap hari di jalan pun sering dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat.

Seolah-olah apapun kejadian bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat. Padahal sebenarnya cuma karena malas saja. Tetapi kadang kemalasan itu ditutup-tutupi dengan dalil yang dipaksakan. Salah satunya adalah hadits berikut ini:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

Nabi SAW pernah menjamak antara Dzhuhr dengan Ashar, dan antara Maghrib dengan Isya, bukan karena takut dan bukan karena hujan.

Kekeliruannya, hadits ini kemudian dijadikan ‘cek kosong’ yang bisa diisi dengan angka berapa saja seenaknya. Gara-gara keliru menafsirkan hadits ini maka keluarlah ‘fatwa’ gadungan yang membolehkan pengantin menjamak shalatnya. Alasanya terlalu sederhana, takut bedaknya luntur terkena air wudhu’. Seolah-olah bedak dan riasan itu jauh lebih tinggi derajatnya daripada shalat lima waktu.

Padahal kalau kita merujuk kepada pendapat para ulama salaf yang muktamad, mereka umumnya sepakat bahwa menjamak shalat itu tidak boleh kecuali memang ada udzhur yang syar’i sebagaimana disebutkan di atas. Bila tidak ada udzurnya lalu seseorang menggampangkan begitu saja masalah shalat dengan asal main jamak-jamak saja, maka itulah yang disebut dengan orang yang melalaikan shalat dan celaka.

Di dalam Al-Quran tegas disebutkan bahwa celaka orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalat. Salah satunya adalah orang yang menjamak seenaknya tanpa adanya dalil yang qathi.

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu yang lalai dari mengerjakan shalatnya. (QS. Al-Ma’un : 4-5)

Lalai yang dimaksud bukan tidak khusyu’ dalam shalat, tetapi yang dimaksud dengan lalai disini adalah sengaja meninggalkan shalat hingga terlewat waktunya. Padahal setiap shalat itu sudah ditetapkan waktu-waktunya oleh Allah SWT.

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 103)

Karena itu kesimpulan dari jawaban ini adalah tidak boleh menjamak shalat hanya karena alasan yang dibuat-buat tanpa dalil yang qath’i. Salah satunya tidak boleh menjamak karena takut riasan pengantin jadi luntur terkena air wudhu’.

Sumber:

  • Fiqh Sunnah Karya Sayyid Sabiq
  • 1000 hukum shalat Karya Salman bin Fahd Al-Audah

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *