Hukum Mencukur Alis Bagi Perempuan

 Hukum Mencukur Alis Bagi Perempuan

Berhias dan mempercantik diri sudah seakan menjadi kebutuhan bagi wanita. Apalagi jika melihat perkembangan zaman yang menuntut perubahan bentuk dan gaya berhias. Berkaitan dengan itu perlu diketahui tata aturan atau rambu-rambu yang diperbolehkan oleh Allah. Sebab keseluruhan tubuh merupakan yang Allah karuniakan kepada manusia, maka diwajibkan untuk merawatnya.

Alis merupakan bagian tubuh yang seringkali menjadi objek berhias, tujunnya sudah jelas yaitu untuk mempercantik diri. Tidak jarang untuk mendapatkan hasil yang diinginkan harus dilakukan dengan mencukur atau menipiskan alis, bagaimana hukumnya?.

Persoalan ini memang umum dijumpai dan tentu saja menyedot perhatian khalayak umum sebab berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah Quwaitiyah bahwa ulama fikih bersepakat jika mencabut rambut alis dialarang sebagaimana sabda Rasulullah:
لعن الله النامصات والمتتمصات
Artinya : “Allah melaknat tukang yang mencabut alis dan orang yang mencabutkan alis”.

Dalam menafsiri hadits ini tidak hanya terbatas disini sebab yang kita bicarakan adalah mencukur alis.
واختلفوا في الحفّ والحلق ، فذهب المالكيّة والشّافعيّة إلى أنّ الحفّ في معنى النّتف . وذهب الحنابلة إلى جواز الحفّ والحلق ، وأنّ المنهيّ عنه هو النّتف فقط وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ نتف ما عدا الحاجبين من شعر الوجه داخل أيضاً في النّمص ، وذهب المالكيّة في المعتمد وأبو داود السّجستانيّ ، وبعض علماء المذاهب الثّلاثة الأخرى إلى أنّه غير داخل واتّفق الفقهاء على أنّ النّهي عن التّنمّص في الحديث محمول على الحرمة ، ونقل عن أحمد وغيره أنّ النّهي محمول على الكراهة . وجمهور العلماء على أنّ النّهي في الحديث ليس عامّا ، وذهب ابن مسعود وابن جرير الطّبريّ إلى عموم النّهي ، وأنّ التّنمّص حرام على كلّ حال وذهب الجمهور إلى أنّه لا يجوز التّنمّص لغير المتزوّجة ، وأجاز بعضهم لغير المتزوّجة فعل ذلك إذا احتيج إليه لعلاج أو عيب ، بشرط أن لا يكون فيه تدليس على الآخرين . قال العدويّ : والنّهي محمول على المرأة المنهيّة عن استعمال ما هو زينة لها ، كالمتوفّى عنها والمفقود زوجها أمّا المرأة المتزوّجة فيرى جمهور الفقهاء أنّه يجوز لها التّنمّص ، إذا كان بإذن الزّوج ، أو دلّت قرينة على ذلك ، لأنّه من الزّينة ، والزّينة مطلوبة للتّحصين ، والمرأة مأمورة بها شرعا لزوجها ودليلهم ما روته بكرة بنت عقبة أنّها سألت عائشة رضي الله عنها عن الحفاف ، فقالت : إن كان لك زوج فاستطعت أن تنتزعي مقلتيك فتصنعيهما أحسن ممّا هما فافعلي . وذهب الحنابلة إلى عدم جواز التّنمّص – وهو النّتف – ولو كان بإذن الزّوج ، وإلى جواز الحفّ والحلق . وخالفهم ابن الجوزيّ فأباحه ، وحمل النّهي على التّدليس ،أو على أنّه كان شعار الفاجرات

Artinya: “Namun mereka berbeda pendapat mengenai menggosok dan mencukur; Ulama Maliki dan Ulama Syafi’i berpendapat bahwa menggosok itu sama halnya dengan mencabut. Sedangkan Ulama Hambali memperbolehkan menggosok dan mencukur, yang dilarang adalah mencabut saja. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mencabut rambut wajah selain dua alis itu juga masuk dalam namsh( mencabut alis) sedangkan ulama Maliki dalam pendapat mu’tamad mereka, dan Abu Dawud Al Sijistani, dan sebagian ulama tiga madzhab lainnya berpendapat tidak masuk kategori namsh. Ulama fikih sepakat bahwa larangan namsh(mencabut alis) pada hadits di atas dihukumi haram. Namun Imam Ahmad dan lainnya menganggap bahwa larangan tersebut dihukumi makruh. Mayoritas ulama bahwa larangan dalam hadits tersebut sifatnya tidak umum. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Jarir al thabari mengatakan sifatnya umum, dan mencabut alis haram bagaimanapun keadaannya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mencabut alis bagi orang yang belum menikah. Sebagian berpendapat bahwa diperbolehkan bagi mereka ketika ada hajat seperti untuk berobat atau karena termasuk aib, selama tidak ada unsur menipu orang lain. Imam Al ‘aduwi berkata: larangan tersebut diarahkan kepada orang yang dilarang memakai perhiasan, seperti orang yang suaminya meninggal atau menghilang. Adapun perempuan yang sudah bersuami maka mayoritas ulama fiqih berpendapat diperbolehkan mencabut alis ketika diizini oleh suami atau adanya qarinah yang menunjukan izin, karena hal tersebut termasuk pada zinah(berhias), sedangkan berhias itu dianjurkan karena pernikahan. Dan wanita diperintah oleh Syara’ agar berhias untuk suaminya. Dalilnya adalah riwayat Bakrah bin ‘Aqabah bahwa ia bertanya kepada Siti Aisyah mengenai orang yang haffaf(mencabut), lalu ia berkata ; apabila kami memiliki suami lalu kamu bisa mencabut dua maqlahmu lalu kamu melakukannya itu lebih baik dari pada membiarkannya maka lakukanlah. Ulama Hambali berkata: bahwa tidak diperbolehkan mencabut sekalipun sudah bersuami. Yang diperbolehkan hanya memotong dan mencukur. Berbeda dengan Ibnu Al Jauzi, ia memperbolehkannya, dan mengarahkan larangan pada tadlis(penipuan) atau hal tersebut termasuk syiar atau tanda-tanda orang lacut”.

Kutipan diatas menjelaskan secara gmblang perdeaan pendapat ulama mengenai ketentuan mencukur alis. Ulama Madzhab Hambali memperbolehkan untuk mencukur alis karena menurutnya yang dilarang hanya mencabut alis. Ini berbeda dengan apa yang pendapat Ulama Madzhab Syafii dan Maliki yang menyamakan mencukur dengan mencabut alis. Sayidatina Aisyah RA membolehkan penghilangan bulu alis dan bulu di wajah selama sudah mendpat izin suami.

Lebih lanjut mengenai ini diterangkan dalam Al Majmu’
واختلفوا في الحفّ والحلق ، فذهب المالكيّة والشّافعيّة إلى أنّ الحفّ في معنى النّتف . وذهب الحنابلة إلى جواز الحفّ والحلق ، وأنّ المنهيّ عنه هو النّتف فقط وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ نتف ما عدا الحاجبين من شعر الوجه داخل أيضاً في النّمص ، وذهب المالكيّة في المعتمد وأبو داود السّجستانيّ ، وبعض علماء المذاهب الثّلاثة الأخرى إلى أنّه غير داخل واتّفق الفقهاء على أنّ النّهي عن التّنمّص في الحديث محمول على الحرمة ، ونقل عن أحمد وغيره أنّ النّهي محمول على الكراهة . وجمهور العلماء على أنّ النّهي في الحديث ليس عامّا ، وذهب ابن مسعود وابن جرير الطّبريّ إلى عموم النّهي ، وأنّ التّنمّص حرام على كلّ حال وذهب الجمهور إلى أنّه لا يجوز التّنمّص لغير المتزوّجة ، وأجاز بعضهم لغير المتزوّجة فعل ذلك إذا احتيج إليه لعلاج أو عيب ، بشرط أن لا يكون فيه تدليس على الآخرين . قال العدويّ : والنّهي محمول على المرأة المنهيّة عن استعمال ما هو زينة لها ، كالمتوفّى عنها والمفقود زوجها أمّا المرأة المتزوّجة فيرى جمهور الفقهاء أنّه يجوز لها التّنمّص ، إذا كان بإذن الزّوج ، أو دلّت قرينة على ذلك ، لأنّه من الزّينة ، والزّينة مطلوبة للتّحصين ، والمرأة مأمورة بها شرعا لزوجها ودليلهم ما روته بكرة بنت عقبة أنّها سألت عائشة رضي الله عنها عن الحفاف ، فقالت : إن كان لك زوج فاستطعت أن تنتزعي مقلتيك فتصنعيهما أحسن ممّا هما فافعلي . وذهب الحنابلة إلى عدم جواز التّنمّص – وهو النّتف – ولو كان بإذن الزّوج ، وإلى جواز الحفّ والحلق . وخالفهم ابن الجوزيّ فأباحه ، وحمل النّهي على التّدليس ،أو على أنّه كان شعار الفاجرات

Artinya: “Namun mereka berbeda pendapat mengenai menggosok dan mencukur; Ulama Maliki dan Ulama Syafi’i berpendapat bahwa menggosok itu sama halnya dengan mencabut. Sedangkan Ulama Hambali memperbolehkan menggosok dan mencukur, yang dilarang adalah mencabut saja.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mencabut rambut wajah selain dua alis itu juga masuk dalam namsh( mencabut alis) sedangkan ulama Maliki dalam pendapat mu’tamad mereka, dan Abu Dawud Al Sijistani, dan sebagian ulama tiga madzhab lainnya berpendapat tidak masuk kategori namsh. Ulama fikih sepakat bahwa larangan namsh(mencabut alis) pada hadits di atas dihukumi haram. Namun Imam Ahmad dan lainnya menganggap bahwa larangan tersebut dihukumi makruh. Mayoritas ulama bahwa larangan dalam hadits tersebut sifatnya tidak umum. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Jarir al thabari mengatakan sifatnya umum, dan mencabut alis haram bagaimanapun keadaannya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mencabut alis bagi orang yang belum menikah. Sebagian berpendapat bahwa diperbolehkan bagi mereka ketika ada hajat seperti untuk berobat atau karena termasuk aib, selama tidak ada unsur menipu orang lain. Imam Al ‘aduwi berkata: larangan tersebut diarahkan kepada orang yang dilarang memakai perhiasan, seperti orang yang suaminya meninggal atau menghilang. Adapun perempuan yang sudah bersuami maka mayoritas ulama fiqih berpendapat diperbolehkan mencabut alis ketika diizini oleh suami atau adanya qarinah yang menunjukan izin, karena hal tersebut termasuk pada zinah(berhias), sedangkan berhias itu dianjurkan karena pernikahan. Dan wanita diperintah oleh Syara’ agar berhias untuk suaminya. Dalilnya adalah riwayat Bakrah bin ‘Aqabah bahwa ia bertanya kepada Siti Aisyah mengenai orang yang haffaf(mencabut), lalu ia berkata ; apabila kami memiliki suami lalu kamu bisa mencabut dua maqlahmu lalu kamu melakukannya itu lebih baik dari pada membiarkannya maka lakukanlah. Ulama Hambali berkata: bahwa tidak diperbolehkan mencabut sekalipun sudah bersuami. Yang diperbolehkan hanya memotong dan mencukur. Berbeda dengan Ibnu Al Jauzi, ia memperbolehkannya, dan mengarahkan larangan pada tadlis(penipuan) atau hal tersebut termasuk syiar atau tanda-tanda orang lacut”.

Kutipan diatas menjelaskan secara gmblang perdeaan pendapat ulama mengenai ketentuan mencukur alis. Ulama Madzhab Hambali memperbolehkan untuk mencukur alis karena menurutnya yang dilarang hanya mencabut alis. Ini berbeda dengan apa yang pendapat Ulama Madzhab Syafii dan Maliki yang menyamakan mencukur dengan mencabut alis. Sayidatina Aisyah RA membolehkan penghilangan bulu alis dan bulu di wajah selama sudah mendpat izin suami.

Lebih lanjut mengenai ini diterangkan dalam Al Majmu’

وأما الاخذ من الحاجبين إذا طالا فلم أر فيه شيئا لاصحابنا وينبغى أن يكره لانه تغيير لخلق الله لم يثبت فيه شئ فكره وذكر بعض أصحاب احمد انه لا بأس به: قال وكان احمد يفعله وحكي أيضا عن الحسن البصري: قال الغزالي تكره الزيادة في اللحية والنقص منها وهو أن يزيد في شعر العذارين من شعر الصدغين إذا حلق رأسه أو ينزل بعض العذارين قال وكذلك نتف جانبي العنفقة وغير ذلك فلا يغير شيئا وقال احمد بن حنبل لا بأس بحلق ما تحت حلقه من لحيته ولا يقص ما زاد منها على قبضة اليد: وروى نحوه عن ابن عمرو أبي هريرة وطاوس وما ذكرناه اولا هو الصحيح والله أعلم

Artinya : “Adapun mengambil (mencukur) dua alis ketika keduanya panjang maka saya belum melihat suatu pendapat menurut Ashab kita. Dan seharusnya hal tersebut makruh karena termasuk merubah ciptaan Allah. Tidak ada kepastian dalil mengenai hal ini maka dimakruhkan. Sebagian madzhab dari Ashab Imam Ahmad menuturkan bahwa hal tersebut tidak mengapa. Dia berkata , “dan Imam Ahmad juga melakukannya.” Juga diceritakan dari Hasan Al Basri : “Imam Ghazali berkata ,”Makruh memberi tambahan pada jenggot dan menguranginya.” Imam Ahmad berkata : Dan tidak mengapa mencukur jenggot yang ada dibawah tenggorokan dan tidak mengapa memotong perkara yang melebihi satu genggaman tangan. Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, abu Hurairah, dan thawus. Dan pendapat yang saya kemukakan di awal adalah pendapat yang shahih. Wallahu a’lam”.

Islam tidak pernah melarang laki-laki dan pererempuan untuk berhias karena Allah menyukai keindahan dan kerapian. Sebagai makhluknya yang dititipi tubuh kita juga diperintah untuk merawat tubuh tentu harus dilakukan sesuai ketentuan syariat. Kembali lagi pada persoalan mencukur alis dijelaskan dalam Mughni al Muhtaj sebagai berikut:

و يحرم بغير إذن زوج و سيد وصل شعر بغيرهما و كالشعر الخرق و الصوف كما قال في المجموع و تجعيد الشعر و وشر الأسنان-إلى أن قال- و التنميص وهو الأخد من شعر الوجه و الحاجب للحسن لما في ذلك من التغرير أما إذا أذن لها الزوج أو السيد في ذلك فإنه يجوز لأن له غرضا في تزيينها له و قد أذن لها فيه

Artinya: “Dan haram tanpa izin suami (bagi istri) dan tanpa izin sayyid (bagi budak) hal-hal berikut ini; menyambung rambut, mengkeritingkan rambut, meruncingkan gigi, memakai semir hitam, mencabut alis dan rambut di wajah yakni mencabut rambut yang ada di wajah dan alis agar tampak bagus. Dan jika si wanita sudah mendapat izin dari sang suami maka hal-hal di atas hukumnya boleh karena ia mempunyai tujuan yang jelas (berhias untuk suami)”.
Meskipun ada perbedaan pendapat ulama dalam melihat persoalan ini, namun Jumhur ulama membolehkan perempuan untuk mencukur alis dengan ketentuan-ketentuan khusus sebagai berikut:

  1. Bagi wanita yang belum bersuami
    a. Hukumnya haram apabila tanpa sebab.
    b. Makruh apabila panjang. Menurut madzhab Hambali dari Ashab Hambali boleh.
    c. Boleh apabila ada hajat berupa karena berobat atau menjadi aib selama tidak ada unsur menipu orang lain.
  2. Bagi yang sudah bersuami
    a. Haram apabila tanpa mendapat izin suami.
    b. Haram bagi orang yang tidak boleh berhias yakni orang yang ditinggal mati suaminya atau suaminya menghilang. Ini menurut imam Al Aduwi.
    c. Boleh apabila ada izin dari suami atau adanya qorinah atau tanda bahwa suaminya mengizinkan.

Sumber:

  1. Mausu’ah Fiqhiyah quwaitiyah juz 15 hal. 69
  2. Al Majmu’ ala Syarhil muhadzab juz 1 hal. 290
  3. Mughni al Muhtaj juz 1 hal 191
  4. Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il Diniyah FMPP Ke XXI Di PP. Lirboyo Kediri

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *