Hukum Memungut Barang Yang Terbawa Banjir

 Hukum Memungut Barang Yang Terbawa Banjir

HIDAYATUNA.COM – Banjir adalah bencana yang sering terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Hakikat banjir adalah ujian Allah untuk hambanya.

Dalam catatan Kementrian Kehutanan, banjir didefinisikan sebagai debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air limpahan tidak bisa ditampung oleh alur atau palung sungai yang ada. Maka air akan melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.

Bencana alam sebagaimana banjir bandang sering membuat masyarakat tertekan dari segi ekonomi. Sebab mata pencaharian mereka hilang secara tibatiba. Banyak harta benda mereka yang rusak dan hilang. Tanaman-tanaman di ladang banyak yang gagal panen. Bahkan banyak pula budidaya perikanan warga yang hilang dari tempat penangkaran.

Akibat Bencana Banjir berdampak pada beberapa aspek:


a. Dampak fisik.
Dampak fisik merupakan kerusakan pada sarana-sarana umum, kantor-kantor pelayanan publik yang disebabkan oleh banjir.

b. Dampak sosial
Mencakup kematian, risiko kesehatan, trauma mental, menurunnya perekonomian, terganggunya kegiatan pendidikan anak-anak sebab tidak dapat ke sekolah, terganggunya aktivitas kantor pelayanan publik, kekurangan makanan, energi, air dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.

c. Dampak ekonomi
Meliputi kehilangan materi, gangguan kegiatan ekonomi sebab banyak orang tidak dapat pergi kerja, terlambat bekerja, atau transportasi komoditas terhambat dan lain-lain.

d. Dampak lingkungan
Mencakup pencemaran air oleh bahan pencemar yang tumbuhan disekitar sungai sebab rusak akibat terbawa banjir.

Ketika banjir melanda tentu banyak sekali barang-barang yang ikut hanyut oleh arus banjir, umumnya harta benda yang terbawa arus ini sudah tidak ditemukan pemiliknya. Bagaimana status dari harta yang terbawa banjir tersebut dalam Islam? Dan bagaimana hukum mengambilnya? Dalam hal ini akan diterangkan dalam kitab al-Iqna’ dan kitab Yaqutun Nafis sebagai berikut:

أما ما ألقاه الريح في دارك أو حجرك فليس لقطة بل مال ضائع وكذا ما حمله السيل الى أرضك فإن أعرض عنه مالكه كان ملكا لك لا لقطة وإن لم يعرض فهو لمالكه

Artinya: “Jika barang yang terbawa angin ke dalam rumahmu, maka tidak disebut barang temuan tetapi disebut barang terlantar. Begitupun barang yang terbawa banjir ke daerahmu, jika dibiarkan oleh pemiliknya maka barang tersebut dapat menjadi milikmu, bukan barang temuan. Jika belum diabaikan maka akan tetap menjadi pemiliknya.”

وذكر العلماء في المال الذي يحمله السيل ثم يلقيه بأرض إنسان قالوا إنه مال ضائع لكن الغريب أن الحسن البصري يقول من وجده ولم يعرف مستحقه يملكه

Artinya: “Ulama menyebutkan mengenai harta yang terbawa oleh arus banjir kemudian sampai ke daerah lain. Ulama berkata, “itu disebut harta terlantar.” Akan tetapi menurut Imam Hasan al-Bashri, Siapa saja yang menemukan harta tersebut dan tidak ada pemiliknya, maka siapapun boleh memilikinya.”

Dari keterangan kedua dalil diatas maka dapat disimpulkan ada dua hukum atas barang barang yang ikut hanyut karna banjir atau bisa disebut luqathah, yaitu:

Pertama, apabila harta tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya atau pemiliknya tidak menghiraukan lagi, maka barang tersebut bisa dialokasikan untuk kepentingan umum atau diambil oleh yang menemukannya. Bahkan menurut Imam Hasan al-Bashri jika harta tersebut tidak diketahui pemiliknya maka boleh langsung diambil oleh siapapun yang menemukannya.

Kedua, Apabila pemilik harta bisa diketahui, maka harta tersebut wajib disimpan sampai pemiliknya datang untuk mengambilnya. Harta tersebut tidak boleh dimiliki oleh penemu dan tidak boleh dialokasikan untuk kepentingan umum. Bahkan si penemu wajib mengembalikan kepada pemiliknya.

Sumber:
• Kitab Al-Iqna’ karya Asy-Syirbini
• Kitab Yaqutun Nafis karya al-‘Allamah al-Sayyid Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *