Hukum Mantan Suami Menelantarkan Anak

Wanita bukan faktor penyebab suami pengangguran, bahkan wanita rela membantu bekerja (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Dalam majelis, seorang ibu yang bertanya: “Saya tidak bisa memaafkan mantan suami yang menikah lagi dan menelantarkan anak, tidak mau memberi nafkah untuk anaknya.”
Tema kajian kali ini memang membahas meminta maaf dan memberi maaf, tapi kalau soal ini beda lagi. Ini soal mantan suami yang menelantarkan anak dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai bapak.
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ. – رَوَاهُ النَّسَائِيُّ.
“Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Cukup berdosa orang yang menyia-nyiakan keluarganya dengan tidak diberi nafkah.” HR Nasa’i.
Perlu diketahui bahwa bapaklah yang berkewajiban memberi nafkah anaknya sejak lahir berdasarkan firman Allah:
ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ (فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ) ﻓﺄﻭﺟﺐ ﺃﺟﺮﺓ ﺭﺿﺎﻉ اﻟﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻻﺏ، ﻓﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻧﻔﻘﺘﻪ ﺗﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ
“Jika istri-istri tersebut memberi ASI untuk kalian maka berikanlah upahnya.” (QS ath-Thalaq 6).
Maka Allah mewajibkan ongkos ASI untuk anak kepada bapak. Ini menunjukkan nafkah anak adalah kewajiban bapak. (Al-Majmu’, 18/294)
Meskipun sudah bercerai dengan istrinya kewajiban nafkah anak tetap dibebankan kepada bapaknya:
اﻟﻔﺼﻞ اﻷﻭﻝ: ﺃﻥ ﺭﺿﺎﻉ اﻟﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻷﺏ ﻭﺣﺪﻩ، ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺇﺟﺒﺎﺭ ﺃﻣﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺿﺎﻋﻪ، ﺩﻧﻴﺌﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺷﺮﻳﻔﺔ، ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﺣﺒﺎﻝ اﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ ﻣﻄﻠﻘﺔ
ﻭﻻ ﻧﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﻋﺪﻡ ﺇﺟﺒﺎﺭﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺇﺫا ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻔﺎﺭﻗﺔ ﺧﻼﻓﺎ
“Pasal pertama, memberi ASI untuk anak adalah kewajiban seorang bapak. Bapaknya tidak boleh memaksa ibunya untuk memberi ASI, baik wanita biasa, bangsawan, hamil dengan suami atau dicerai. Dalam hal ini kami tidak menemukan perbedaan pendapat ulama.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 8/250)