Hukum Jual Beli Cacing, Ulat dan Semut Untuk Makanan Burung
HIDAYATUNA.COM – Sudah umum dalam masyarakat memelihara ayam, unggas dan burung. Hal ini berbungan erat dengan praktek jual beli cacing, ulat, semut dan sejenisnya. Alasannya jelas pemilik hewan peliharaan tidak mau repot untuk mencari atau berburu sendiri cacing, ulat dan semut. Kita ketahui bersama bahwa serangga yang menjadi pakan burung diharamkan. Semut diharamkan karena terdapat hadits Nabi yang melarang membunuh serangga kelas insekta ini. Sementara cacing dan ulat dalam fiqih syafi’iyah haram pula dikonsumsi karena menjijikkan.
Hal ini tentu menjadi tanda tanya tersendiri bagi sebagian kalangan, ditambah lagi umumnya pembeli benar-benar berniat membeli cacing, ulat dan semut, bukan untuk mengganti jasa ongkos berburu serangga pakan ternak. Penjual juga tidak bermaksud menjual jasa. Bagaimana hukumnya jual beli tersebut?.
Merujuk pendapat-pendapat ulama terdahulu persoalan ini adalah khilafiyah (berbeda pendapat), ada yang mengharamkan karena merujuk hukum asal benda yang diperjual belikan dan dianggap hina. Namun ada juga ulama yang membolehkan karena berdasarkan asas manfaat dalam hal ini untuk menjamin keberlangsungan hidup hewan peliharaan.
Merujuk pendapat Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mengungkapkan bahwa para ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan barang yang dijualbelikan harus suci (bukan najis atau bukan terkena najis).
وَلَمْ يَشْتَرِطْ الْحَنَفِيَّةُ هَذَا الشَّرْطَ فَأَجَازُوْا بَيْعَ النَّجَاسَاتِ كَشَعْرِ الْخِنْزِيْرِ وَجِلْدِ الْمَيْتَةِ لِلانْتِفَاعِ بِهَا إِلاَّ مَا وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ بَيْعِهِ مِنْهَا كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ كَمَا أَجَازُوْا بَيْعَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُتَوَحِّشَةِ وَالْمُتَنَجِّسِ الَّذِيْ يُمْكِنُ اْلانْتِفَاعُ بِهِ فِيْ اْلأَكْلِ وَالضَّابِطُ عِنْدَهُمْ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَعْيَانَ خُلِقَتْ لِمَنْفَعَةِ اْلإِنْسَانِ
Artinya: “Kalangan Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan syarat ini (barang yang dijualbelikan harus suci, bukan najis dan terkena najis). Maka mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual-belikannya, seperti minuman keras, (daging) babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jualbeli binatang buas dan najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan.Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) adalah, semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual-belikannya. Sebab, semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.”
Senada dengan hal diatas Abdurrahman al-Juzairi dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengatakan:
وَكَذلِكَ يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ إِذَا كَانَ يُنْتَفَعُ بِهَا. وَالضَّابِطُ في ذلِكَ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ
Artinya: “Dan begitu pula sah jualbeli serangga dan binatang melata, seperti ular dan kelajengking ketika bermanfaat. Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) dalam hal itu adalah semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjualbelikannya. Sebab, semua benda itu diciptakan untuk kemanfaatan manusia.”
Melihat pendpat-pendapat ulama tersebut tentu umat tidak boleh bersitegang membenarkan atau saling menyalahkan. Kita ketahui bahwa perbedaan pendapar ulamak adalah berkah. Umat mendapat kelonggaran untuk memilih salah satu pendapat yang diyakini dengan mempertimbangkan asa manfa’at.
Referensi:
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Jilid IV, 181-182.
Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid I, h. 382.