Hukum Jual Beli Asi (Air Susu Ibu)

 Hukum Jual Beli Asi (Air Susu Ibu)

Jual beli ASI ialah tukar menukar antara ASI dengan sesuatu yang lain yang dilakukan dengan memberikan sesuatu barang yang lain dan diterima atas dasar suka sama suka dan juga dilakukan dengan rasa sukarela sama rela yang disertai dengan ijab dan qabul antara keduanya.

Saat ini tengah banyak aktifitas di tengah masyarakat yaitu jual beli ASI (Air Susu Ibu) untuk memenuhi kepentingan gizi anak-anak yang tidak berkesempatan memperoleh air susu ibunya sendiri, entah itu disebabkan karena kekurangan suplai ASI ibu kandungnya, ibunya telah tiada, tidak diketahui ibu kandungnya, maupun sebab lain yang tidak memungkinkan akses ASI bagi anak, dan untuk kepentingan pemenuhan ASI bagi anak-anak yang kurang beruntung untuk mendapatkan ASI, muncul sebuah inisiasi dari masyarakat untuk mengoordinasikan gerakan Berbagi Air Susu Ibu serta Donor ASI, serta sebuah pertanyaan yang harus dijawab Majelis Ulama Indonesia mengenai ketentuan agama masalah donor ASI untuk dijadikan sebuah pedoman dalam beraktifitas.

Jual beli ASI ialah tukar menukar antara ASI dengan sesuatu yang lain yang dilakukan dengan memberikan sesuatu barang yang lain dan diterima atas dasar suka sama suka dan juga dilakukan dengan rasa sukarela sama rela yang disertai dengan ijab dan qabul antara keduanya. Para ulama’ fiqih saling berbeda pendapat mengenai praktik jual beli ASI ada yang memperbolehkan dan melarang jual beli ASI. ASI sering dipersamakan dengan daging manusia oleh karena itu daging manusia dilarang untuk memakannya maka juga dilarang untuk memperjualbelikannya.

Jual beli ASI dalam keadaan dhorurat diperbolehkan karena bertujuan untuk kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan qawaid fiqiyah

اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Artinya: “Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang”

Oleh sebab itu komisi fatwa MUI mengeluarkan fatwa nomor 28 tahun 2013 tentang seputar masalah donor ASI (Istirdla’). Fatwa ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama berisi tentang ketentuan hukum yang merupakan bagian inti dalam fatwa ini, bagian kedua berisi rekomendasi yang ditujukan untuk pihak yang berkaitan dengan dibuatnya fatwa dalam hal ini ialah Kementerian Kesehatan serta pelaku, aktifis dan relawan ASI, Fatwa MUI nomor 28 tahun 2013 tentang seputar masalah donor ASI (istirdla’), sedikit banyak berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai masalah donor ASI yang berdasarkan pada hukum Islam.

Berikut ini akan diuraikan isi dari fatwa MUI nomor 28 tahun 2013 secara lebih rinci dan jelas:

Pasal 1

Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya sepanjang memenuhi ketentuan syar’i.

Mengenai kebolehan memberikan donor ASI dalam fatwa ini, peneliti sependapat karena sebenarnya donor ASI telah dipraktikkan sejak dahulu di zaman Rasulullah SAW. Dimana saat itu aktifitas menyusui memang sudah ada dan dilestarikan, akan tetapi sebelum datangnya Rasul belum ada hukum yang mengatur mengenai radla’ah atau persusuan. Bangsa Arab memiliki tradisi untuk mencari wanita yang dapat menyusui bayi-bayi mereka.

Hal ini mereka lakukan agar tubuh bayi-bayi mereka kuat, berotot kekar dan mahir berbahasa Arab sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, Abdul Muthalib mencari perempuan-perempuan yang dapat menyusui Rasul. Beliau akhirnya menemukan seorang perempuan penyusu dari kabilah Bani Sa’ad bin Bakr yang bernama Harist bin Abdul Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah yang juga berasal dari kabilah yang sama. Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 233 yang mengandung unsur kebolehan melakukan donor ASI dan perintah bagi para ibu untuk menyusui anaknya.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al. Baqarah; 233)

Pasal 2

Kebolehan memberikan dan menerima ASI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Ibu yang memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental.
  2. Ibu tidak sedang hamil.

Dalam pasal ini menjelaskan persyaratan bagi seorang ibu yang akan menjadi pendonor ASI dimana pasal ini perlu dikombinasikan dengan Peraturan Pemerintah no. 33 tahun 2012 yang telah lebih dahulu mengatur mengenai masalah pemberian ASI eksklusif agar jelas persyaratannya. Dalam pasal 11 PP nomor 33 tahun 2012 menerangkan persyaratan seorang pendonor ASI yakni, permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan, jadi permintaan untuk menjadi donor ASI tersebut murni berasal dari keluarga si bayi. Berkaitan juga dengan identitas, agama dan alamat si pendonor ASI juga harus diketahui secara jelas agar nantinya saat si bayi sudah dewasa dan mempunyai pasangan tidak menikah dengan saudara persusuannya.

Di dalam Islam seorang wanita yang menyusui bayi maka bayi tersebut dianggap sebagai seperti anaknya sendiri dengan syarat:

  1. Bayi tersebut benar-benar menyusu pada wanita tersebut.
  2. Wanita tersebut dalam keadaan hidup.
  3. Wanita tersebut masih bisa melahirkan karena hubungan intim atau lainnya.

Pasal 3

Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ketentuan angka 1 menyebabkan terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan).

Pernyataan dalam pasal di atas mengandung arti bahwa ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 dapat mengakibatkan terjadinya mahram atau haramnya sebuah pernikahan sebagai akibat adanya hubungan radla’ (persusuan). radla’ah secara bahasa adalah proses menyedot puting baik hewan maupun manusia. Sedangkan secara syara’ Radla’ah ialah sampainya air susu manusia pada lambung anak kecil yang belum genap berusia dua tahun.

Permasalahan jual beli ASI jika dikaitkan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), maka jual beli tersebut dilihat dari objeknya tidak sah, karena jika dilihat dari perbedaan pendapat para ulama jual beli ASI tersebut disamakan dengan jual beli daging manusia dan adanya hal itu maka diharamkan (pasal 78 huruf D). Tapi disisi lain jika ditinjau dari segi akadnya maka jual beli tersebut diperbolehkan, karena adnaya kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan perbuatan hukum tertentu (pasal 20, buku II) dan menurut KHES barang dagangan adalah barang yang dapat dipertukarkan (pasal 20 buku II).

Di dalam fatwa Fatwa nomor 28 tahun 2012 tentang seputar masalah donor ASI ini tidak terdapat pasal yang secara khusus membahas seputar masalah jual beli ASI, dimana dalam fatwa ini diperbolehkannya menerima imbalan atau memberi imbalan dalam hal donor ASI sebagai upah atas jasa pengasuhan anak dan bukan sebagai imbalan atas jual beli ASI. Fatwa ini melarang ASI untuk diperjualbelikan berdasarkan pada pendapat madzhab Hambali dan Maliki, mereka melarang jual beli ASI karena ASI merupakan benda cair yang keluar dari seorang wanita maka tidak boleh diperjualbelikan seperti keringat, alasan lainnya ASI adalah bagian dari tubuh manusia oleh karena itu tidak boleh diperjualbelikan.

Fatwa ini juga melarang penerimaan upah atas donor ASI yang menggunakan akad ijarah atau sewa-menyewa, dimana penggunaan akad ijarah hanya boleh dilakukan pada jual beli susu binatang dan tidak berlaku dalam jual beli ASI Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) merupakan sebuah lembaga yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk membuat fatwa-fatwa yang berkaitan dengan hukum Islam. Walaupun di dalam fatwa tersebut tidak menerangkan secara rinci berkaitan dengan masalah jual beli ASI beserta ketentuanketentaun hukumnya, namun dari penjelasan-penjelasan di atas mampu dijadikan pertimbangan hukum untuk menentukan permasalahan jual beli ASI.

Sumber:

  • Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Seputar Masalah Donor ASI (Istirdla’),
  • Fiqih Imam Syafi Karya Wahbah Zuhaili
  • Fiqih Islam Wa Adillatuhu Karya Wahbah Az-Zuhaili
  • Kaidah-Kaidah Fiqih Karya Moh. Kurdi Fadal
  • Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *