Hukum Berlebih-lebihan dalam Beragama

Setiap yang berlebih -lebihan tidak baik, begitulah istilah yang biasa kita dengar. Bagaimana dengan berlebih lebihan dalam menjalankan agama. Islam merupakan agama peradaban yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk dalam menjalankan agama. Allah berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Hud: 112)
Ayat di atas menjelaskan bahwa tidakboleh melampaui batas kewajaran dengan melalaikan atau meremehkan atau berlebih-lebihan dengan melakukan sesuatu yang di luar kemampuan.
Sementara itu, Syaikh Shalih al Fauzan menjelaskan bahwa istiqamah dalam ayat di atas: Janganlah kita menambah-nambah atau bersikap ekstrim (melampaui batas syari’at). Yang wajib bagi seorang muslim adalah Istiqamah, dalam arti bersikap tengah-tengah antara ekstrim dan berlalai-lalai.
Inilah manhaj Islam sesungguhnya, manhaj seluruh para nabi. Yaitu bersikap istiqamah, menghindari sikap ekstrim, keras tak karu-karuan, melampaui batas (ghuluw), atau sebaliknya, berlalai-lalai dan bersikap toleran (terhadap kebathilan).
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ
Artinya: “Berhati-hatilah kalian dari sifat berlebih-lebihan di dalam agama.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan lainnya dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Ibnu Taimiyah mengungkapkan dalam Al Iqtidha’ 1 bahwa ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitab Al-Khasa’is al-‘Ammah li al Islam menyebutkan tanda seseorang telah bersikap berlebihan dalam beragama. Di antaranya adalah:
1. Fanatik terhadap salah satu pandangan.
Sikap fanatik berlebihan ini mengakibatkan seorang akan menutup diri dari pendapat kelompok lain dan menyatakan bahwa pandangannyalah yang paling benar. Pandangan yang berbeda adalah salah. Padahal para salaf shaleh bersepakat menyatakan, bahwa setiap orang diambil dan ditinggalkan pandangannya kecuali Rasulullah Saw.
2. Cenderung mempersulit.
Secara pribadi boleh saja seseorang beribadah tidak menggunakan keringanan padahal itu dibolehkan. Akan tetapi kurang bijak apabila ia mengharuskan orang lain mengikutinya. Padahal kondisi dan situasi orang lain berbeda atau tidak memungkinkan. Rasulullah secara pribadi adalah orang yang sangat kuat beribadah, namun manakala ia mengimami salat di masjid maka beliau memperhatikan kondisi jamaah dengan memperpendek bacaan.
3. Berprasangka buruk kepada orang lain.
Sikap ini muncul karena ia merasa paling benar dan menjadikan ia berprasangka buruk kepada orang lain. Seakan-akan tidak ada kebaikan kepada orang lain. Sebagai contoh, ada seorang khatib tidak memegang tongkat saat berkhutbah, atau ada orang yang makan tidak di lantai. Maka kemudian ia dituduh sebagai orang yang tidak mengikuti sunah atau mencintai Rasul. Sikap ini lahir dari rasa ujub atau merasa dirinyalah yang paling benar dan ujub itulah sebenarnya merupakan benih dari kebinasaan seseorang.
4. Suka mengkafirkan orang lain.
Sikap ghuluw yang paling berbahaya tatkala sampai ke tingkat mengkafirkan orang lain, bahkan menghalalkan darahnya. Ini yang pernah terjadi pada kelompok khawarij. Pandangan ghuluw ini pula yang mengakibatkan terbunuhnya dua orang khalifah; Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Apa yang dulu dilakukan kelompok Khawarij saat ini juga banyak ditemukan yaitu dengan mengkafirkan para penguasa di negara-negara muslim dengan alasan tidak menerapkan hukum Tuhan. Bahkan mereka mengkafirkan para ulama yang enggan mengkafirkan para penguasa tersebut. Padahal sesuai ajaran Rasulullah Saw, seseorang tidak boleh dengan mudah mengkafirkan orang lain, sebab berimplikasi hukum yang panjang seperti halal darahnya, dipisah dari istrinya, tidak saling mewarisi dan sebagainya.
Menurut uraian di atas sikap berlebih lebihan dalam beragama sangatlah berbahaya sebab dapat mendorong pada sikap ekstim dan radikal. Tentu hal demikian sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, karena islam adalah rahmatan lil alamin. wallahu a’lam
Sumber:
Muraja’at fi fiqhi al Waqi’ as Siyasi wal Fikri ‘Ala Dhou’i al Kitab Wa as Sunnah hal. 48.
Ibnu Taimiyah dalam Al Iqtidha’ 1/288 – 289 cetakan Al ‘Abikan, Riyadh.
Yusuf Qardhawi, Al-Khasa’is al-‘Ammah li al Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 43.