Hukum Bayi Tabung Menurut Islam

 Hukum Bayi Tabung Menurut Islam

Bayi tabung ialah bayi yang dihasilkan bukan dari persetubuhan, tetapi dengan cara mengambil mani/sperma laki-laki dan ovum/mani perempuan, lalu dimasukkan dalam suatu alat dalam waktu beberapa hari lamanya. Setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin, maka dimasukkan ke dalam rahim ibu.

Hukum memproses bayi tabung ditafsil sebagai berikut:

  • Apabila mani yang ditabung dan yang dimasukkan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami istri, maka hukumnya haram.
  • Apabila mani yang ditabung tersebut mani suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.
  • Apabila mani yang ditabung itu mani suami istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istrinya sendiri, maka hukumnya boleh.

Mani muhtaram ialah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara tidak dilarang oleh syara’. Sedang mani bukan muhtaram ialah selain yang tersebut di atas. Tentang anak yang dari mani tersebut dapat ilhaq atau tidak kepada pemilik mani, terdapat khilaf antara Imam Ibn Hajar dan Imam Ramli.

Menurut Imam Ibnu Hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlak (baik keluarnya mani tersebut muhtaram atau tidak), sedangkan menurut Imam Ramli anak tersebut bisa ilhaq kepada pemilik mani, bila mani tersebut keluarnya termasuk muhtaram.

1. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim

قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ

Dari Ibn Abbas, beliau berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dari pada mani yang ditaruh seorang laki-laki (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”

2. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُسْقِيَنَّ مَاءَهُ زَرْعَ أَخِيْهِ

Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah Swt. dan hari kiamat, maka janganlah sekali-kali berzina dengan istri saudaranya.

3. Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin

(وَلَوْ أَتَتْ بِوَلَدٍ عَلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ) مَعَ إمْكَانِ كَوْنِهِ مِنْهُ (لَزِمَهُ نَفْيُهُ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَهُ وَاسْتِلْحَاقُ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ

Artinya: “Seandainya ada wanita melahirkan seorang anak yang diketahui bukan berasal dari suaminya, besertaan adanya kemungkinan berasal darinya, maka si suami itu harus menafikannya, karena tidak adanya penafian itu mengandung unsur menemukan nasab anak itu kepadanya. Sementara menemukan nasab anak yang tidak berasal darinya itu haram.

4. Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib

الْحَاصِلُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمَنِيِّ الْمُحْتَرَمِ حَالَ خُرُوْجِهِ فَقَطْ عَلَى مَا اعْتَقَدَهُ م ر وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ حَالَ الدُّخُوْلِ وَتَجِبُ الْعِدَّةُ بِهِ إِذَا طُلِقَتْ الزَّوْجَةُ قَبْلَ الْوَطْءِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ خِلاَفًا لِابْنِ حَجَرٍ  لِأَنَّهُ يُعْتَبَرُ أَنْ يَكُوْنَ مُحْتَرَمًا فِي الْحَالَيْنِ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا

Artinya: Kesimpulannya adalah, bahwa yang dimaksud dengan mani muhtaram (terhormat/tidak haram) itu adalah kondisi keluarnya saja, sebagaimana yang diyakini oleh Imam Ramli, walaupun tidak muhtaram ketika masuk. Maka seorang wanita wajib ber’iddah dengan sebab masuknya mani tersebut bila ia tertalak sebelum bersetubuh menurut pendapat mu’tamad. Berbeda dengan Ibn Hajar, sebab beliau mempertimbangkan mani tersebut muhtaram dalam dua kondisinya (saat keluar dari si laki-laki dan saat masuk ke rahim si perempuan) sebagaimana yang ditetapkan Syaikhuna.

Bayi tabung dilakukan saat masih berada dalam ikatan suami istri, maka metode tersebut diperbolehkan oleh kebanyakan ulama kontemporer sekarang ini. Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yakni:

  • Dilaksanakan atas ridho suami dan istri.
  • Inseminasi akan dilaksanakan saat masih berada dalam status suami istri.
  • Dilaksanakan sebab keadaan yang darurat supaya bisa hamil.
  • Perkiraan dari dokter yang kemungkinan besar akan memberikan hasil dengan cara memakai metode tersebut.
  • Aurat wanita hanya diperkenankan dibuka saat keadaan darurat dan tidak lebih dari keadaan darurat.
  • Yang melakukan metode adalah dokter wanita atau muslimah apabila memungkinkan. Namun jika tidak, maka dilakukan oleh dokter wanita non muslim. Cara lain adalah dilakukan oleh dokter pria muslim yang sudah bisa dipercaya dan jika tidak ada pilihan lain maka dilakukan oleh dokter non muslim pria.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menjelaskan dalam fatwanya, jika bayi tabung dengan sperma dan sel telur pasangan suami istri sah menurut hukum mubah diperbolehkan. Hal ini bisa terjadi karena masuk ke dalam ikhtiar yang didasari kaidah agama. Akan tetapi, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami istri yang menggunakan rahim perempuan lain sebagai sarana dan ini adalah haram hukumnya.

Para ulama menegaskan jika dikemudian hari, hal tersebut mungkin akan menimbulkan masalah sulit dan berkaitan dengan warisan. Dalam fatwanya, para ulama MUI juga membuat keputusan jika bayi tabung yang berasal dari sperma yang sudah dibekukan dari suami yang sudah meninggal juga haram hukumnya sebab akan menimbulkan masalah berhubungan dengan penentuan nasab atau warisan.

Sedangkan proses bayi tabung yang berasal dari sperma dan sel telur yang tidak berasal dari pasangan suami istri sah, maka fatwa MUI sudah secara tegas menyatakan jika hal ini adalah haram hukumnya dengan alasan status yang sama dengan hubungan kelamin lawan jenis di luar pernikahan sah atau zina.

Sumber:

  • Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
  • Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhh
  • Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah
  • Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib
  • KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA Di Kaliurang Yogyakarta Pada Tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 M.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *