Hujr bin ‘Adi, Sahabat Nabi yang Meninggal di Pancungan

 Hujr bin ‘Adi, Sahabat Nabi yang Meninggal di Pancungan

Serba Kesulitan, Tapi Ulama Dahulu Rajin Menulis (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Namanya memang tidak setenar sahabat-sahabat senior lainnya, namun sumbangannya terhadap Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Di antara jasa Hujr bin ‘Adi adalah keberhasilannya menaklukkan wilayah Maraj al-Adzra’ (Suriah) dan kesuksesannya memenangkan sejumlah perang besar dalam menegakkan dakwah Islamiyyah.

Maraj al-Adzra’ menyimpan sejuta kenangan. Hujr adalah orang yang menaklukkan wilayah itu, orang pertama yang menggemuruhkan takbir dan asma Allah di sana. Namun ia justru ditahan dengan tangan terborgol di wilayah taklukannya oleh anak buah Mu’awiyah dan meninggal dalam pancungan.

Hujr adalah anak dari Adi bin Mu’awiyyah bin Jabalah atau yang popular dengan panggilan Hujr bin Al-Adbar atau Hujr Al-Khair. Ayahnya mendapat julukan Al-Adbar karena ia pernah dipukul pantatnya dengan pedang.

Hujr datang kepada Rasulullah sebagai delegasi bersama saudaranya, Hani’ bin Adi dan akhirnya masuk Islam. Ketika terjadi perang Jamal dan perang Shifin, ia berada di pihak Ali bin Abi Thalib, bahkan ia menjadi syi’ahnya.

Dari Penjara hingga Meninggal di Pancungan

Kesalahan terbesar Hujr bin ‘Adi di mata Mu’awiyah adalah tuduhan atas keterlibatannya dalam kerusuhan dan kritiknya terhadap kebijakan-kebijakan ‘Usman bin ‘Affan, serta keterpihakannya kepada Ali bin Abi Thalib. Sebagai hukumannya, Hujr ditangkap lalu dijebloskan ke penjara.

Di penjara, kewalian Hujr bin Adi terbongkar. Banyak dari para napi memohon do’a keberkahan kepadanya. Mereka tau betul bahwa do’a Hujr sangat manjur dan tidak mungkin tertolak.

Suatu hari, para napi yang bersamanya memohon kepada Hujr untuk berdo’a agar mereka bisa bersama-sama keluar dari penjara. Namun Hujr menolaknya seraya berkata, “Aku senang tetap berada di penjara, karena itu adalah kehendak dan qudrah Allah.”

Walhasil, ketika Hujr telah dibawa di hadapkan Mu’awiyyah, ia dan beberapa orang yang menyertainya diberi dua opsi; meninggalkan dan melaknat Ali atau mati. Beberapa orang suruhan Mu’awiyah mengatakan, “Jika kamu mau meninggalkan Ali dan melaknatnya, kamu akan selamat. Jika menolak, kamu akan mati.”

Ancaman itu sama sekali tidak membuat Hujr bin ‘Adi dan beberapa orang yang menyertainya gentar. Bahkan dengan lantangnya mereka mengatakan, “Sabar menghadapi tajamnya pedang kalian, lebih ringan dibanding melakukan apa yang kalian perintahkan. Bertemu dengan Allah, Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib lebih kami sukai daripada harus masuk neraka.”

Salatnya Hujr Ketika Hendak Dipenggal Kepalanya

Jawaban itu membuat Mu’awiyyah murka. Ia langsung menyuruh anak buahnya untuk memenggal kepala Hujr. Namun sebelum dibunuh, Hujr meminta satu permohonan agar ia diberi izin untuk mengerjakan salat dua rakaat.

Salat dua rakaat yang dikerjakannya menurut musuh-musuhnya terlalu lama. Maka, meraka bertanya, “Lama sekali kamu salat. Apakah kamu takut menghadapi kematian?”

Hujr berdiri dan menjawab pertanyaan mereka, “Percayalah, salat dua rakaat tadi adalah salat paling cepat yang pernah aku kerjakan. Aku tidak akan takut meskipun telah kulihat pedang yang telah terhunus, kain kafan yang telah terbentang dan kubur yang telah tergali.”

Sebelum dieksekusi, Hujr sempat berdo’a, “Ya Allah, kami memohon pertolonganmu atas umat kami. Sesungguhnya penduduk Irak mati syahid bersama kami, sementara penduduk Syam membunuh kami.”

Kemudian dikatakan kepada Hujr, “Ulurkan lehermu!.” Hujr menjawab, “Ini adalah darah, sungguh aku tidak akan membantu pembunuhan terhadap diriku.” Laki-laki dari dari Himyar (Syam) berdiri dan memenggal leher Hujr. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Penyesalah Mu’awiyah atas Kesyahidan Hujr bin ‘Adi

Ada penyesalan dalam diri Mu’awiyah pasca kesyahidan Hujr bin ‘Adi. Penyesalan itu terbaca dari pernyataannya, “Seandainya ada di antara orang-orangku seperti Hujr bin ‘Adi, maka wilayah koloni bani Mu’awiyah akan meluas ke seluruh dunia. Bagaimana aku bisa menemukan kembali orang seperti Hujr bin ‘Adi yang mengorbankan diri demi keyakinannya.”

Kesyahidan Hujr bin ‘Adi juga membuat Mu’awiyah shok. Pasalnya, ketika ia bertemu dengan Sayyidah Aisyah di Madinah, ia dicela karena perbuatannya membunuh Hujr bin ‘Adi dan Ahl al-Adzra’ lainnya. Ketika ia ditanya mengenai alasan pembunuhan itu, ia berkelah bahwa demi keutuhan dan kemaslahatan umat.

Setelah itu, Sayyidah Aisyah lantas berkata, “Aku mendengar Rasululllah Saw. bersabda, ‘Di lembah Adzra 7 orang akan terbunuh, yang membuat Allah dan seluruh (isi) langit murka kepadanya.” Mendengar hadis itu, Mu’awiyah merasa bersalah dan menyesali perbuatannya.

Beberapa kali ia mengatakan, “Tidaklah aku membunuh seseorang, kecuali aku mengerti alasanku membunuhnya dan apa yang akan aku lakukan terhadapnya, selain kepada Hujr.” Dalam satu riwayat disebutkan, “Apa yang akan aku persiapkan untuk diriku setelah aku membunuh Hujr dan kawan-kawannya.”

Sebelum pedang algojo menebas lehernya, Hujr berwasiat kepada keluarganya, “Jangan lepaskan rantai besi ini, juga jangan kalian bersihkan darahku, karena sesungguhnya aku akan bertemu Mu’awiyyah untuk melaporkan penentanganku padanya.” Tidak lama setelah wasiat itu diucapkan, algojo memenggal kepalanya. Peristiwa itu terjadi pada 51 Hijriyyah.

 

Referensi:

Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Kairo: Markaz Hijr li al-Buhus wa al-Dirasat al-Arabiyyah wa al-Islamiyyah, 2008.

Ibnu Sa’ad, Thabaqat al-Kubra, (Beirut: Dar al-Shadir, 1968).

Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah wa Ma’rifatu Ahwali Shahib al-Syari’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988.

Ibnu Abdi al-Barri, Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.

Shalahuddin al-Shafadi, al-Wafi bi al-Wafiyyat. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010.

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *