Hud [11]: 6: Seperti halnya Rezeki, Jodoh Juga Harus Dijemput Tuntas!
HIDAYATUNA.COM — Dunia ini dipenuhi oleh isyarat-isyarat cinta, persoalannya adalah sejauhmana kita mampu untuk menangkapnya”, begitu kurang lebih yang disampaikan dosen saya. Saya khusnudzon saja. Pepatah itu barangkali bertujuan untuk menguatkan saya sekaligus mengisyaratkan agar tidak larut dalam keadaan “psikis yang tergores” dan bangkit untuk menangkap isyarat cinta yang datang dari “dik-dik yang lain”.
Gambaran di atas adalah bagian kecil dari persoalan yang lebih luas. Ya, persoalan ini sangat berhubungan dengan rezeki. Alquran telah mencatat secara rapih arahan yang cukup menenangkan terkait hal ini. Catatan tersebut terdapat dalam QS. Hud [11]: 6:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Tidak satu pun binatang melata pun yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)”.
***
Imam Jalāluddīn al-Maḥallī dan Imam Jalāluddīn as-Suyuṭī dalam Tafsīr Jalālain memberikan catatan singkat terkait ayat ini. Disebutkan bahwa pada dasarnya lafaz wa mā (dan tidak ada) merupakan ziyādah (tambahan) untuk min dābbatin fil ardh (suatu binatang melata pun di bumi) melainkan Allah-lah yang memberi rezeki.
Dialah yang menanggung rezeki ciptaan-Nya di mana pun ia berada, bahkan pada tulang ṣulbi (tulang yang terletak di bagian bawah ruas tulang belakang manusia) sekali pun sebagai bentuk karunia-Nya. Semua ini telah tercatat di Lauḥ Maḥfūż.
Terkait dengan redaksi “binatang melata”, Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (Tafsir Kemenag) memberikan sebuah penjelasan. Bahwa, “Binatang melata” dalam konteks ini meliputi binatang yang hidup di bumi, yang merayap, merangkak, maupun yang berjalan dengan kedua kakinya.
Meskipun sudah dijamin rezekinya, binatang-binatang itu tetap diberi-Nya naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan fitrah kejadiannya.
Semuanya, dengan nikmat dan kebijaksaan-Nya, telah diatur untuk menjaga keserasian dan keseimbangan. Sebab, jika tidak demikian, dikhawatirkan suatu saat ada binatang yang berkembang biak terlalu cepat sehingga mengganggu keberlangsungan binatang yang lain. Atau binatang yang mati terlalu banyak, yang pada akhirnya mengganggu keseimbangan lingkungan.
***
Sementara itu, dalam penjelasan lain, yang cenderung lebih detail datang dari Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Lafadz dābbatin yang seringkali dimaknai sebagai “binatang melata” pada dasarnya berangkat dari kata dabba-yadubbu yang berarti bergerak dan merangkak. Kata ini memiliki makna dasar yang mencakup tidak hanya “binatang” melainkan juga “manusia”.
Pemilihan kata tersebut, lanjut Quraish Shihab, sekaligus menegaskan bahwa rezeki yang dijamin Allah Swt. itu menuntut setiap dābbatin untuk menjalankan fungsinya sebagaimana namanya, yakni bergerak dan merangkak. Artinya, setiap dābbatin tidak tinggal diam menanti rezeki, tetapi agar mereka harus bergerak guna memperoleh rezeki yang disediakan Allah Swt. itu.
Dalam sebuah kesempatan, Quraish Shihab memberikan penjelasan yang menarik terkait apa yang disebut dengan rezeki. Rezeki, tegas Quraish Shihab, adalah “apa yang anda peroleh baik dari usaha sendiri maupun usaha orang lain yang anda peroleh selama perolehan anda itu anda dapat manfaatkan dengan positif”.
Sebagaimana termaktub dalam ayat tersebut, pada dasarnya rezeki tidak hanya terkait dengan hal-hal yang bersifat material, melainkan juga meliputi teman baik, keluarga, anak, ketenangan batin, juga termasuk dengan jodoh.
Lebih lanjut, teruntuk pembaca yang budiman, pada dasarnya hubungannya rezeki dengan ayat tersebut terletak pada redaksi “bergerak”. Tegasnya, jika setiap dābbatin tidak bergerak, Allah Swt. tidak menjamin rezekinya tersebut.
Karenanya, dear “cah kae”, sesungguhnya teori tentang Al-Hadid [57]: 23 yang berbunyi: “tidak bersedih jika kalah, tidak sombong jika menang” dan aplikasi menurutmu, “diputus tidak bersedih, dapet yang baru tidak sombong”, juga harus berpedom pada “seperti halnya rezeki, jodoh (dik kae) juga harus dijemput tuntas!”. Cari nomer telpon “dik kae”, hubungi dia, temui orang tuanya, lalu? Sudah tidak usah kakean fafifu. Wallahu’alam.