Hubungan Buruh dan Majikan dalam Islam
HIDAYATUNA.COM – Persoalan perburuhan seperti riuh gelombang yang pasang surut pasca zaman perbudakan. Bahkan sempat menemukan titik puncaknya ketika revolusi industri di Eropa. Industrialisasi dalam berbagai sector menjadikan persoalan perburuhan kian bertambah dan harus dicarikan solusi. Hubungan majikan (pemilik modal) dan buruh juga harus mendapat perhatian. Sebab umumnya persoalan disebabkan kurang harmonisnya hubungan kedua belah pihak.
Mengenai fenomena ini apakah Islam yang diyakini sebagai agama universal tidak memiliki solusi atau jawaban?. Bukankah Islam mengatur segala aspek kehidupan dari bangun tidur sampai tidur lagi?. Jelas saja Islam memiliki solusi dan tersendiri mengenai sistem perburuhan dan melihat hubungan majikan-buruh. berbada dengan pandangan sosialis yang menjadikan pemilik modal sebagai musuh yang harus dilawan. Cara pandang Islam juga berbeda juga dengan sistem kapitalis yang mengedepankan persaingan bebas, yang jelas sistem demikian akan merugikan buruh.
Sesunguhnya Allah menyukai harmoni termasuk terjalinnya hubungan baik antara buruh dan majikan. Saling merugikan satu sama lain sangatlah dilarang dalam Islam dan acamannya sangat berat. Rasulullah Saw pernah bersabda:
قال الله تعالى : ثلاثة اناخصمهم يوم القيامة, رجل أعطى بى ثم غدر, ورجل باع حرا فاكل ثمته, ورجل اسبتأجراجيرا فاستوفى منه ولم يعطه اجره
Artinya: “Allah Ta’ala berfirman: tiga orang yang menjadi musuhku di hari kiamat nanti. Orang yang bersumpah atas nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual manusia merdeka kemudia ia memakan uangnya, dan orang yang memperkerjakan buruh, lalu setelah buruh bekerja tidak diberikan upahnya.” (HR. Abu Hurairah)
Islam memposisikan buruh sejajar dengan pemilik modal (majikan) karena hakikatnya kedua pihak saling mebutuhkan. Pemilik modal membutuhkan tenaga, sedangkan buruh membutuhkan upah sesuai dengan hasil kerjanya. Lebih jauh lagi, Islam menyebutkan buruh sebagai saudara bagi majikan sebagaimana sabda Nabi berikut:
“Mereka (para pekerja) adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu”(HR. Ahmad)
Penghargaan Islam kepada orang yang mau bekerja termasuk buruh sangatlah besar. Tidak adanya status sosial tinggi rendah, sebab yang membedakan adalah tingkat ketakwaan. Melimpahnya harta atau tingginya kedudukan dalam relasi kerja tidak dibenarkan. Buruh diposisikan setara dengan yang mempekerjakannya.
Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Demikianlah Islam sangat menjunjung tinggi kesetaraan dan harkat martabat tiap manusia. Buruh atau majikan hanya sekedar status saja, pada hakikatnya semua harus terus berusaha meningkatkan ketakwaan semata.
Mengenai kedudukan perburuhan dalam fikih digolongkan dalam ijarah yaitu jaula beli, namuan dalam praktek perburuhan objaknya adalah jasa. Sebagai sebuah bentuk akad ijarah ketentuan kontrak dan sebaginya berdasarkan kesepakatan. Artinya majikan (perusahaan) tidak boleh semerta-merta memberi beban kerja berat dan memberikan upah minim. Semua harus disepakati bersama antara majikan dan buruh dengan demikian perjanjian kerja akan menjadi patokan mengikat kedua belah pihak.
Islam sangat mengedepankan terpenuhi hak buruh dan melarang berlaku zalim terhadapnya. Bukti Islam memuliakan buruh penekanan bahwa upah buruh dibayarkan sebelum kringatnya kering. Nabi Muhammad Saw bersabda:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya: “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah).
Menunda gaji saja sangat dilarang dalam Islam. Sungguh Islam mengedepankan kemaslahatan semua pihak baik majikan atau buruh.
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Artinya: “Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. Bukhari dan Muslim)