Hubungan Alam dan Manusia, Relasi Untuk Berkomunikasi

 Hubungan Alam dan Manusia, Relasi Untuk Berkomunikasi

Meneladani Rasulullah sebagai Pejuang Agraria Sejati (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sistem beji (sendang) yang ada di hampir setiap desa pada masa lalu memiliki fungsi yang menarik. Salah satu fungsi tersebut adalah dalam bidang pengairan, baik untuk kepentingan pertanian atau untuk kepentingan perairan.

Tetapi yang menarik, hampir di semua beji memiliki cerita mistis. Cerita-cerita tersebut membuat warga di sekitarnya menghormati beji tersebut. Konsep inilah yang kemudian memunculkan sakralitas dalam beji.

Sakral, dalam arti luas adalah suatu hal yang terlindungi, jauh dari pelanggaran, pengacauan, dan tidak terjadi pencemaran. Maka dari itulah, sesuatu yang sakral biasanya akan dijaga dengan sepenuh hati, dan tidak boleh sampai rusak.

Oleh sebab itu, sesuatu yang sakral pasti akan terjaga dan jarang sekali mengalami kerusakan. Obrolan itu tiba pada kesimpulan bahwa beji harus dihidupkan kembali, lengkap dengan cerita-cerita mistis agar beji tersebut tetap terjaga dan tidak hilang sehingga masalah air yang langka tidak terjadi lagi.

Sakralitas alam sebagai metode menjaga kelesatrian alam

Konsep tentang sakralitas alam sebenarnya terjadi tidak hanya pada kasus beji, tetapi kita bisa menemui di pegunungan, area hutan dan lainnya. Ketika sakralitas dihubungkan dengan pegunungan, maka kemudian pegunungan tersebut menjadi terjaga, tidak terjadi eksploitasi terhadap pegunungan untuk mencari pasirnya, kayunya, atau lainnya.

Sakralitas pada hutan juga sering terjadi, kita sering mendengar hutan A adalah tempat Semar sehingga tidak boleh untuk ditebangi kayunya. Sebab hal ini akan menyebabkan Semar marah, dan masih banyak cerita lainnya.

Tetapi pemahaman tersebut (konsep sakralitas pada alam) tidak akan pernah berhasil jika manusianya masih berpikir untuk mengeksploitasi alam. Pada masa lalu sakralitas tersebut berhasil, pertama memang cara berfikir nenek moyang kita masih mistik, dan juga pemahaman mereka atas alam sangat baik.

Contohnya adalah, kepercayaan adanya ibu bumi, nenek moyang kita selalu menghormati yang namanya ibu bumi tersebut. Dengan demikian, ketika akan memulai musim tanam mereka memberikan penghormatan pada ibu bumi melalui slametan.

Hal ini juga dilakukan ketika musim panen tiba, mereka akan bersyukur pada ibu bumi karena sudah menumbuhkan tanamannya.

Konsep pemahaman adanya hubungan yang terikat antara manusia dan alam (yang dilambangkan dengan ibu bumi) membuat nenek moyang kita lebih menjaga kelestarian alam. Mereka (nenek moyang) tidak menebang pohon sembarangan, ketika ingin membuka lahan maka harus meminta restu dari ibu bumi.

Konsep inilah yang kemudian menjadi pertalian antara manusia dengan alam, ketika dihubungkan dengan agama maka akan muncul istilah hablu minal alam. Hubungan semacam ini sebenarnya sudah dilakukan pada zaman dahulu, bahkan sebelum Islam berkembang.

Nabi Daud dan gambaran gunung bisa berkomunikasi

Hubungan manusia dengan Alam ini digambarkan secara gamblang dalam penyebaran awal Agama Islam. Di dalam Alquran sendiri, Tuhan telah melarang manusia agar mereka tidak merusak alam disekitar lingkungannya.

Jika pembaca ingat terkait kisah Nabi Daud dengan gunung-gunung, tumbuhan, dan hewan-hewan. Maka dalam kisah tersebut digambarkan jika semua hal tadi (gunung, tumbuhan dan hewan) berzikir pada Allah dengan cara mereka sendiri.

Oleh karena dasar tersebutlah maka sudah semestinya ketika kita ingin memanfaatkan semua hal yang ada di alam semesta harus izin terlebih dahulu. Izin tersebut tentu pada Allah dan kemudian mengajak berbicara pada sesuatu yang akan dimanfaatkan tersebut.

Misal kita akan memanfaatkan sebidang tanah untuk pembangunan, misal membangun rumah. Maka sebagai orang Islam kita harus paham bahwa tanah lapang yang akan kita bangun tersebut harus kita ajak berbicara, agar pembangunan bisa lancar dan tidak ada kendala.

Konsep berbicara ini bukan berarti kita menyembah pada tanah tersebut, tetapi dalam konteks perbicaraan seperti halnya ketika ada orang yang ingin menempati suatu rumah. Maka si pendatang baru tersebut harus mengenalkan diri pada masyarakat sekitarnya, agar tidak diperbincangkan sebagai manusia individualis.

Itulah batasan kita berbicara pada alam, berhubungan pada alam bukan berarti menyembah alam. Harus dipahami metode berbicaranya bisa kita lakukan, misal dengan gaya selametan (syukuran) atau lainnya.

Tetapi pertanyaannya adalah, apakah manusia modern bisa menerima konsep keterkaitan antara manusia dan alam? Jika konsep ini tidak bisa diterima maka konsep awal (beji/sendang) juga tidak akan tercapai dengan maksimal.

Lohanna Wibbi Assiddi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *