Hubungan Agama dan Negara di Nusantara Sebelum Abad 19
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Jauh sebelum abad ke-19, naskah Negara Kretagama kerap digunakan untuk melacak bagaimana hubungan agama dengan negara. Khususnya sebelum kekuatan Islam bercokol di Nusantara.
Dalam naskah Negara Kretagama pupuh 42 bait 3 dijelaskan rakyat harus mematuhi raja. Sebaliknya raja harus mampu menjaga dan melindungi rakyatnya.
Menurut budayawan Islam, Ngatawi Al Zastrouw situasi ini dibungkus dengan kekuatan moral spiritual sehingga integrasi antara raja dan rakyat terjadi. Dalam ajaran Negara Kretagama menjelaskan raja berkewajiban menjaga rumah-rumah ibadah.
“Sehingga rumah-rumah ibadah yang ada di Negara Kretagama dilindungi oleh kerajaan. Hal ini yang membedakan antara sistem pemerintahan sekuler dengan sistem pemerintahan di Nusantara. Di mana di negara sekuler, agama benar-benar dilepas oleh penguasa,” jelasnya dikutip Rabu (17/2/2021).
Hubungan agama dan negara seperti ini pun kemudian tetap berlanjut setelah masuknya Islam di Nusantara. Hal itu dapat kita lihat pada periode pemerintahan kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah.
Menurut Ahmad Baso dalam bukunya “Islam Nusantara” menjelaskan bahwa hubungan urusan agama dan negara tidak dicampuradukkan. Dimasa Raden Patah, urusan kerajaan dipercayakan kepada Raja, sedangkan urusan agama sepenuhnya dipasrahkan kepada Wali Songo.
Dengan kata lain, dalam melihat hubungan agama dan negara sebelum abad ke-19. Apa yang terjadi di era Majapahit (abad ke-14) dengan di era Demak (abad ke-15) tidak banyak mengalami banyak perubahan.
Di mana terdapat struktur hubungan agama dengan negara layaknya seperti konsep trias politica-nya Montesquieu (abad ke-18). Hal itu nampak pada struktur sosial yang terbentuk kala itu.
Yakni untuk legislatif diisi oleh wali songo/resi, kemudian di wilayah yudikatifnya diisi oleh Raja. Di ranah masyarakat sipilnya terdapat umat muslim/umat hindu. Hubungan ini yang menjadi agama dan negara bisa berjalan harmonis di Nusantara.